Kamis, 03 Februari 2011

Belajar Reformasi dari Korea Selatan


Kata “reformasi” dewasa ini telah menjadi mantra sakti yang paling sering dikumandangkan di berbagai forum dan media. Jika dihitung dari tonggak awal reformasi 12 tahun yang lalu, proses reformasi dapat dikatakan sangat lambat dan hasilnya-pun masih kurang signifikan. Pedoman umum program reformasi secara nasional baru terbit tahun 2008 melalui Permenpan No. 15/2008, sementara Perpres tentang Grand Design Reformasi Birokrasi dan Permenpan tentang Roadmap Reformasi Birokrasi belum juga terbit hingga saat ini, sementara disisi lain, visi pemerintah untuk menciptakan Birokrasi Kelas Dunia 2025 semakin dekat.

Kondisi diatas mensyaratkan pemerintah untuk lebih sungguh-sungguh menjalankan program reformasi sekaligus menemukan strategi percepatan reformasi birokrasi. Dan untuk memberikan pemikiran dan pengalaman alternatif, tidak ada salahnya pemerintah belajar dari proses serupa yang terjadi di Korea Selatan.

Program reformasi di Korsel sendiri didorong oleh adanya krisis moneter yang melanda Asia tahun 1997-1998. Krisis ini telah mengantarkan Korea dari rezim militer yang sentralistik dibawah Chun Do-hwan menjadi rezim demokratis dibawah Presiden Kim Dae-jung yang berasal dari sipil. Oleh Presiden Kim (1998-2003), krisis tadi dijadikan sebagai momentum untuk memulai reformasi secara fundamental dan sistemik. Belakangan terbukti bahwa komitmen total Presiden Kim merupakan faktor determinan yang mampu membuat Korea keluar dari krisis sekaligus mentransformasi Korea sebagai negara industri maju yang didukung oleh birokrasi yang sangat modern. Pada tahun 2010 ini, misalnya, Korea memperoleh penghargaan terbaik di dunia dalam bidang e-Government yang diberikan oleh PBB. Selain itu, Korea juga menduduki peringkat atas dalam industri semi-konduktor, otomotif, peralatan elektronik, serta industri perkapalan.

Apa yang telah ditempuh Presiden Kim hingga mampu mengubah wajah bangsanya? Dalam hal ini, reformasi di Korsel dibagi menjadi tiga bagian utama, yakni reformasi birokrasi (public sector reform) reformasi perekonomian (public company reform), serta reformasi regulasi (regulation reform). Ketiga bentuk reformasi tersebut difokuskan pada beberapa hal strategis, yakni perampingan kementerian dan penggabungan lembaga-lembaga pemerintah, outsourcing fungsi-fungsi tertentu, serta restrukturisasi dan privatisasi perusahaan milik negara.

Selain itu, reformasi regulasi juga diberi bobot/prioritas yang sangat tinggi, dimana Presiden Kim menginstruksikan dilakukannya pencabutan peraturan (deregulasi) sebesar 50% di seluruh kementerian atau sektor-sektor pembangunan, khususnya yang berkenaan dengan perijinan. Tujuan dari deregulasi ini adalah untuk menyederhanakan prosedur perijinan dan lebih memberikan kepastian hukum terhadap masyarakat, termasuk sektor bisnis. Reformasi regulasi juga dimaksudkan untuk menutup ruang-ruang kepatuhan semu dan potensi korupsi. Sebagai contoh, aturan tentang batas kecepatan maksimal kendaraan di jalan tol diubah dari 100 km/jam menjadi 130 km/jam. Dalam prakteknya, banyak kendaraan yang mematuhi aturan tersebut jika ada polisi, dan jika terdapat pelanggaran akan terjadi upaya ‘negosiasi’ sebagai model resolusinya.

Di Korea, kepemimpinan politik yang diperankan oleh Presiden adalah pimpinan reformasi nasional (first layer) yang memberi dukungan penuh terhadap kepemimpinan lapis kedua (second layer) yang dilakukan oleh lembaga khusus yang menangani program reformasi (reform-driving organization). Selanjutnya, grand design, roadmap, strategi, mekanisme maupun arah reformasi yang ditetapkan oleh reform-driving organization ini harus dilakukan setiap kementerian/lembaga/pemerintah daerah (third layer) yang akan melakukan reformasi insitusional.

Sebagaimana lazimnya sebuah perubahan, reformasi di Korea juga mendapat resistensi dari institusi yang akan direform. Banyak pihak yang khawatir bahwa roda reformasi akan berdampak pada hilangnya kenyamanan yang selama ini dinikmati. Bahkan seorang guru besar di Korea Development Institute, Jin Park, mengatakan bahwa every reform creates enemies. Namun, resistensi semacam ini relatif mudah diatasi karena ada komitmen yang kuat dan tegas dari pimpinan nasional. Sebagai contoh, ketika Tim Reformasi Birokrasi Kementerian Perencanaan dan Anggaran selaku reform-driving organization merencanakan penggabungan 2 (dua) BUMN, Menteri PU (Ministry of Construction) menolak dan melaporkan kepada Presiden. Dalam situasi munculnya perbedaan kepentingan seperti itu, Presiden Kim ternyata lebih mendukung langkah yang ditempuh Tim Reformasi. Presiden Kim menyediakan diri sebagai bumper terhadap kekuatan yang menginginkan status quo maupun yang resistance terhadap reformasi.

Namun, komitmen total dari Presiden saja tidaklah cukup. Presiden juga harus ditopang oleh lapis kedua yang sangat kuat. Selain harus memiliki perencanaan yang matang, reform-driving organization juga dituntut  memiliki jiwa pemburu (hunter) dari pada semangat petani (farmer). Artinya, institusi ini harus berani mengambil inisiatif untuk mengarahkan agenda reformasi di institusi lainnya, bahkan dapat memberi penalti berupa pengurangan anggaran untuk institusi yang tidak mengikuti program yang telah dirumuskan. Untuk dapat menjalankan peran yang sangat kuat seperti itu, maka Unit Reformasi Birokrasi hanya memiliki tanggungjawab tunggal untuk melakukan reformasi, dan relatif dilepaskan dari tetek-bengek administratif seperti penyusunan rencana anggaran, implementasi program, pelaporan kegiatan, dan sebagainya.

Bagaimana dengan Indonesia? Pada akhir dekade 1990-an, Indonesia juga mengalami krisis ekonomi yang sangat hebat. Indonesia juga mengalami peralihan dari rezim militer yang sentralistik ke rezim sipil yang lebih demokratis. Dengan demikian, Indonesia juga memiliki momentum ini sangat tepat untuk dijadikan sebagai golden chance dalam melakukan pembenahan total terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Sayangnya, proses reformasi di Indonesia nampaknya terhambat oleh transisi demokrasi yang ditandai oleh eforia berlebihan. Maka, yang terjadi kemudian bukan koreksi terhadap kesalahan-kesalahan pada rezim terdahulu, melainkan upaya untuk menonjolkan nafsu politik dan kepentingan individual seperti lahirnya sistem multi partai, munculnya daerah-daerah otonom baru, atau pembentukan lembaga-lembaga baru, sesuatu yang tidak pernah terjadi di Korea Selatan. Tanpa disadari, inflasi parpol, daerah otonom dan lembaga non struktural di tingkat pusat telah menjadikan proses reformasi birokrasi semakin sulit.

Kesalahan lainnya, reformasi di Indonesia diikuti oleh lahirnya rezim regulasi baru. Deregulasi bukan dimaknakan sebagai penghapusan aturan-aturan yang menghambat investasi dan ruang gerak masyarakat, namun justru dijadikan kesempatan membuat aturan tanpa kendali. Indikasinya jelas. Pada kurun 2003-2009, terdapat permohonan uji materi terhadap 325 Undang-Undang, dan 72 diantaranya dikabulkan MK (Refleksi Kinerja MK, 29/12/2009). Sementara di level daerah, dari periode 2001-2008 telah dibatalkan sebanyak 11.401 Perda (Kompas, 12/12/2008). Ternyata, di era reformasi kita masih saja asyik dengan hobby membuat aturan, bukan melaksanakan peraturan yang ada dengan konsisten.

Di lapis kedua, kondisi diatas diperparah dengan lemahnya reform-driving organization yang sangat tergantung pada komitmen pimpinan nasional disatu pihak, dan ketiadaan otoritas untuk memaksakan kementerian tertentu untuk menerapkan reformasi birokrasi dipihak lain. Antara Kementerian PAN, UKP4R, Tim Independen, Tim Quality Assurance dan instansi terkait lainnya (Keuangan, Bappenas, dll) nampaknya belum terbangun sebuah mekanisme koordinasi yang baik. Dengan status yang mengambang seperti ini, tidak aneh jika reformasi birokrasi tidak mampu menjelma menjadi program afirmasi nasional.

Sekarang, harus diakui bahwa Indonesia sudah tertinggal 10 tahun untuk memulai kembali reformasi yang sesungguhnya. Maka, yang harus dilakukan adalah percepatan reformasi. Beberapa hal berikut mungkin perlu dipertimbangkan untuk akselerasi reformasi tersebut.

Pertama, perlu adanya driving force di setiap level. Di tingkat nasional, Timnas RB Kantor Menpan misalnya yang diberi peran sebagai the driving force. Sedangkan di level kementerian/lembaga, dapat dipertimbangkan pembentukan unit khusus yang menangani perencanaan hingga implementasi RB untuk lingkup instansi masing-masing. Unit tersebut misalnya berupa Pusat Kebijakan Strategis, yang akan menjadi mitra bagi Timnas RB Kantor Menpan dalam menjamin terselenggaranya RB. Dalam waktu bersamaan, Pusat Kebijakan Strategis di setiap kementerian/lembaga ini perlu didukung dengan ahli/konsultan di bidang RB untuk menjamin obyektivitas pelaksanaan RB.

Kedua, perlu pula dibangun mekanisme koordinasi yang lebih baik antar kementerian/ lembaga agar terjadi efek pembelajaran lintas instansi dan mengurangi kemungkinan tingkat diskrepansi konseptual maupun metodologis penerapan RB di masing-masing instansi. Belajar dari Korea, maka koordinasi yang paling dipersyaratkan adalah antara Kementerian Keuangan dengan Bappenas. Ketiga, Perpres tentang Grand Strategy dan Permenpan tentang Road Map RB perlu dipercepat pengundangan dan diseminasinya sebagai bukti komitmen sekaligus sebagai pedoman bagi seluruh instansi yang akan menerapkan RB.

Penulis adalah Kepala Pusat Kajian Manajemen Kebijakan LAN dan peserta Bureaucratic Reform Leader’s Workshop di Korea International Cooperation Agency (KOICA) – Korea Productivity Center (KPC),
Seoul, 4-11 Desember 2010

Artikel ini dimuat di Media Indoesia, 22 Desember 2010

Tidak ada komentar: