Kata
“reformasi” dewasa ini telah menjadi mantra sakti yang paling sering
dikumandangkan di berbagai forum dan media. Jika dihitung dari tonggak awal reformasi 12 tahun
yang lalu, proses reformasi dapat dikatakan sangat lambat dan hasilnya-pun
masih kurang signifikan. Pedoman umum program reformasi secara nasional baru
terbit tahun 2008 melalui Permenpan No. 15/2008, sementara Perpres tentang Grand Design Reformasi Birokrasi dan
Permenpan tentang Roadmap Reformasi
Birokrasi belum juga terbit hingga saat ini, sementara disisi lain, visi
pemerintah untuk menciptakan Birokrasi Kelas Dunia 2025 semakin dekat.
Kondisi
diatas mensyaratkan pemerintah untuk lebih sungguh-sungguh menjalankan program
reformasi sekaligus menemukan strategi percepatan reformasi birokrasi. Dan
untuk memberikan pemikiran dan pengalaman alternatif, tidak ada salahnya
pemerintah belajar dari proses serupa yang terjadi di Korea Selatan.
Program
reformasi di Korsel sendiri didorong oleh adanya krisis moneter yang melanda
Asia tahun 1997-1998. Krisis ini telah mengantarkan Korea dari rezim militer yang
sentralistik dibawah Chun Do-hwan menjadi rezim demokratis dibawah Presiden Kim
Dae-jung yang berasal dari sipil. Oleh Presiden Kim (1998-2003), krisis tadi dijadikan
sebagai momentum untuk memulai reformasi secara fundamental dan sistemik.
Belakangan terbukti bahwa komitmen total Presiden Kim merupakan faktor
determinan yang mampu membuat Korea keluar dari krisis sekaligus
mentransformasi Korea sebagai negara industri maju yang didukung oleh birokrasi
yang sangat modern. Pada tahun 2010 ini, misalnya, Korea memperoleh penghargaan
terbaik di dunia dalam bidang e-Government
yang diberikan oleh PBB. Selain itu, Korea juga menduduki peringkat atas
dalam industri semi-konduktor, otomotif, peralatan elektronik, serta industri
perkapalan.
Apa yang
telah ditempuh Presiden Kim hingga mampu mengubah wajah bangsanya? Dalam hal
ini, reformasi di Korsel dibagi menjadi tiga bagian utama, yakni reformasi
birokrasi (public sector reform)
reformasi perekonomian (public company
reform), serta reformasi regulasi (regulation
reform). Ketiga bentuk reformasi tersebut difokuskan pada beberapa hal
strategis, yakni perampingan kementerian dan penggabungan lembaga-lembaga
pemerintah, outsourcing fungsi-fungsi
tertentu, serta restrukturisasi dan privatisasi perusahaan milik negara.
Selain
itu, reformasi regulasi juga diberi bobot/prioritas yang sangat tinggi, dimana
Presiden Kim menginstruksikan dilakukannya pencabutan peraturan (deregulasi)
sebesar 50% di seluruh kementerian atau sektor-sektor pembangunan, khususnya
yang berkenaan dengan perijinan. Tujuan dari deregulasi ini adalah untuk
menyederhanakan prosedur perijinan dan lebih memberikan kepastian hukum
terhadap masyarakat, termasuk sektor bisnis. Reformasi regulasi juga
dimaksudkan untuk menutup ruang-ruang kepatuhan semu dan potensi korupsi.
Sebagai contoh, aturan tentang batas kecepatan maksimal kendaraan di jalan tol
diubah dari 100 km/jam menjadi 130 km/jam. Dalam prakteknya, banyak kendaraan
yang mematuhi aturan tersebut jika ada polisi, dan jika terdapat pelanggaran
akan terjadi upaya ‘negosiasi’ sebagai model resolusinya.
Di
Korea, kepemimpinan politik yang diperankan oleh Presiden adalah pimpinan
reformasi nasional (first layer) yang
memberi dukungan penuh terhadap kepemimpinan lapis kedua (second layer) yang dilakukan oleh lembaga khusus yang menangani
program reformasi (reform-driving
organization). Selanjutnya, grand
design, roadmap, strategi, mekanisme maupun arah reformasi yang ditetapkan
oleh reform-driving organization ini
harus dilakukan setiap kementerian/lembaga/pemerintah daerah (third layer) yang akan melakukan reformasi
insitusional.
Sebagaimana lazimnya sebuah perubahan,
reformasi di Korea juga mendapat resistensi dari institusi yang akan direform.
Banyak pihak yang khawatir bahwa roda reformasi akan berdampak pada hilangnya
kenyamanan yang selama ini dinikmati. Bahkan seorang guru besar di Korea
Development Institute, Jin Park, mengatakan bahwa every reform creates enemies. Namun, resistensi semacam ini relatif
mudah diatasi karena ada komitmen yang kuat dan tegas dari pimpinan nasional.
Sebagai contoh, ketika Tim Reformasi Birokrasi Kementerian Perencanaan dan
Anggaran selaku reform-driving
organization merencanakan penggabungan 2 (dua) BUMN, Menteri PU (Ministry of Construction) menolak dan
melaporkan kepada Presiden. Dalam situasi munculnya perbedaan kepentingan
seperti itu, Presiden Kim ternyata lebih mendukung langkah yang ditempuh Tim
Reformasi. Presiden Kim menyediakan diri sebagai bumper terhadap kekuatan yang menginginkan status quo maupun yang resistance
terhadap reformasi.
Namun, komitmen
total dari Presiden saja tidaklah cukup. Presiden juga harus ditopang oleh
lapis kedua yang sangat kuat. Selain harus memiliki perencanaan yang matang, reform-driving organization juga
dituntut memiliki jiwa pemburu (hunter) dari pada semangat petani (farmer). Artinya, institusi ini harus berani
mengambil inisiatif untuk mengarahkan agenda reformasi di institusi lainnya,
bahkan dapat memberi penalti berupa pengurangan anggaran untuk institusi yang
tidak mengikuti program yang telah dirumuskan. Untuk dapat menjalankan peran
yang sangat kuat seperti itu, maka Unit Reformasi Birokrasi hanya memiliki
tanggungjawab tunggal untuk melakukan reformasi, dan relatif dilepaskan dari tetek-bengek administratif seperti
penyusunan rencana anggaran, implementasi program, pelaporan kegiatan, dan
sebagainya.
Bagaimana
dengan Indonesia? Pada akhir dekade 1990-an, Indonesia juga mengalami krisis
ekonomi yang sangat hebat. Indonesia juga mengalami peralihan dari rezim
militer yang sentralistik ke rezim sipil yang lebih demokratis. Dengan
demikian, Indonesia juga memiliki momentum ini sangat tepat untuk dijadikan
sebagai golden chance dalam melakukan
pembenahan total terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan
publik. Sayangnya, proses reformasi di Indonesia nampaknya terhambat oleh
transisi demokrasi yang ditandai oleh eforia berlebihan. Maka, yang terjadi
kemudian bukan koreksi terhadap kesalahan-kesalahan pada rezim terdahulu,
melainkan upaya untuk menonjolkan nafsu politik dan kepentingan individual
seperti lahirnya sistem multi partai, munculnya daerah-daerah otonom baru, atau
pembentukan lembaga-lembaga baru, sesuatu yang tidak pernah terjadi di Korea
Selatan. Tanpa disadari, inflasi parpol, daerah otonom dan lembaga non
struktural di tingkat pusat telah menjadikan proses reformasi birokrasi semakin
sulit.
Kesalahan
lainnya, reformasi di Indonesia diikuti oleh lahirnya rezim regulasi baru.
Deregulasi bukan dimaknakan sebagai penghapusan aturan-aturan yang menghambat
investasi dan ruang gerak masyarakat, namun justru dijadikan kesempatan membuat
aturan tanpa kendali. Indikasinya jelas. Pada kurun 2003-2009, terdapat
permohonan uji materi terhadap 325 Undang-Undang, dan 72 diantaranya dikabulkan
MK (Refleksi Kinerja MK,
29/12/2009). Sementara
di level daerah, dari periode 2001-2008 telah dibatalkan sebanyak 11.401 Perda
(Kompas, 12/12/2008). Ternyata, di era reformasi kita masih saja asyik dengan hobby membuat aturan, bukan melaksanakan peraturan yang ada dengan
konsisten.
Di lapis
kedua, kondisi diatas diperparah dengan lemahnya reform-driving organization yang sangat tergantung pada komitmen pimpinan nasional disatu pihak, dan
ketiadaan otoritas untuk memaksakan kementerian tertentu untuk menerapkan
reformasi birokrasi dipihak lain. Antara Kementerian PAN, UKP4R, Tim Independen,
Tim Quality Assurance dan instansi
terkait lainnya (Keuangan, Bappenas, dll) nampaknya belum terbangun sebuah
mekanisme koordinasi yang baik. Dengan status yang mengambang seperti ini, tidak
aneh jika reformasi birokrasi tidak mampu menjelma menjadi program afirmasi nasional.
Sekarang,
harus diakui bahwa Indonesia sudah tertinggal 10 tahun untuk memulai kembali
reformasi yang sesungguhnya. Maka, yang harus dilakukan adalah percepatan
reformasi. Beberapa hal berikut mungkin perlu dipertimbangkan untuk akselerasi
reformasi tersebut.
Pertama, perlu adanya driving force di
setiap level. Di tingkat nasional, Timnas RB Kantor Menpan misalnya yang diberi
peran sebagai the driving force. Sedangkan di level kementerian/lembaga,
dapat dipertimbangkan pembentukan unit khusus yang menangani perencanaan hingga
implementasi RB untuk lingkup instansi masing-masing. Unit tersebut misalnya
berupa Pusat Kebijakan Strategis, yang akan menjadi mitra bagi Timnas RB Kantor
Menpan dalam menjamin terselenggaranya RB. Dalam waktu bersamaan, Pusat
Kebijakan Strategis di setiap kementerian/lembaga ini perlu didukung dengan
ahli/konsultan di bidang RB untuk menjamin obyektivitas pelaksanaan RB.
Kedua, perlu pula dibangun mekanisme koordinasi yang
lebih baik antar kementerian/ lembaga agar terjadi efek pembelajaran lintas
instansi dan mengurangi kemungkinan tingkat diskrepansi konseptual maupun
metodologis penerapan RB di masing-masing instansi. Belajar dari Korea, maka
koordinasi yang paling dipersyaratkan adalah antara Kementerian Keuangan dengan
Bappenas. Ketiga, Perpres tentang Grand
Strategy dan Permenpan tentang Road Map RB perlu dipercepat
pengundangan dan diseminasinya sebagai bukti komitmen sekaligus sebagai pedoman
bagi seluruh instansi yang akan menerapkan RB.
Penulis adalah
Kepala Pusat Kajian Manajemen Kebijakan LAN dan peserta Bureaucratic Reform Leader’s Workshop di Korea International
Cooperation Agency (KOICA) – Korea Productivity Center (KPC),
Seoul, 4-11 Desember 2010
Artikel ini dimuat di Media Indoesia, 22 Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar