MESKIPUN sedikit mereda, namun polemik tentang DIY nampaknya
masih belum akan berakhir. Menurut rencana, pada tanggal 2 Februari 2011 yang
akan datang, DPR akan mulai menggelar rapat dengar pendapat umum untuk menerima
masukan dari masyarakat, dan akan dilanjutkan setiap hari Rabu. Sayangnya, sikap
pemerintah yang cenderung keukeuh RUU
Keistimewaan DIY (RUUK-DIY) dan kegigihan warga Yogya untuk mempertahankan keistimewaan
daerahnya, mempersulit tercapainya titik temu atas permasalahan ini.
Jika kita pelajari secara lebih jernih,
sesungguhnya konsep yang tertuang dalam RUUK-DIY sudah cukup bagus dan telah
berusaha mengakomodir berbagai aspirasi untuk mempertahankan hak-hak istimewa
bagi DIY. Bahkan kalangan akademisi di Yogya-pun banyak yang mendukung konsep
versi pemerintah ini. Disisi lain, banyak warga Yogya yang tidak bisa
menjelaskan secara rasional fanatisme mereka mendukung daerahnya. Bagi mereka,
harga mati tidak hanya berlaku untuk NKRI, namun terlebih lagi keistimewaan
Yogya itu sendiri. Dan ketika seseorang sudah menjadikan “harga mati” sebagai
basis argumen, maka sesungguhnya dia sedang berpikir irrasional, karena
rasionalitas apapun akan ditolak secara mentah-mentah.
Namun, selalu ada rasionalisasi terhadap
irrasionalitas. Demikian pula, terhadap fenomena reaksi warga Yogya yang
terkesan irrasional-pun, terdapat logika tertentu yang dapat menjelaskannya.
Dalam hal ini, penulis melihat dari suasana kebatinan masyarakat dan kaitannya
dengan paham konstitusionalisme dalam interaksi negara dengan warganya.
Manunggaling
kawula gusti
Dalam historiografi tradisional, kedudukan Raja adalah adalah sebagai pusat mikrokosmos (dunia
manusia) dan puncak hirarki status dalam negara. Mikrokosmos ini sejajar dan
membentuk kesatuan dengan makrokosmos (dunia supra
manusia). Itulah sebabnya, Raja Jawa (khususnya masa Hindu) sebagai representasi
mikrokosmos disamakan dengan Dewa (biasanya Wisnu) sebagai representasi
makrokosmos. Selain konsep kemanunggalan penguasa dengan dewa dalam satu sosok
Raja ini, terdapat pula konsep kemanunggalan penguasa dengan rakyatnya, yang
termanifestasikan dalam ungkapan manunggaling Kawula-Gusti.
Konsep ini sesungguhnya adalah refleksi paham
demokrasi pada masa kerajaan, dimana rakyat dan rajanya tidak dipecah-pecah
dalam struktur kasta sosial, namun melebur menjadi satu konsep yang integral
(manunggal). Dalam konsep kemanggulan tadi terdapat sebuah belief system dikalangan rakyat jelata bahwa raja adalah manusia
yang suci, sakral, dan keramat, sedangkan rakyat adalah kelompok profan.
Meskipun demikian, Raja tidak semata-mata simbol negara, melainkan juga pemimpin
nyata baik dalam lapangan sosial, keagamaan, maupun pemerintahan.
Dalam konteks semangat kebatinan seperti itu, maka
tidak dapat dihindari lahirnya RUUK-DIY yang memisahkan jabatan Sultan dengan
Gubernur, menimbulkan resistensi fundamental dari rakyat Yogya, karena
dikhawatirkan memecah-belah kemanunggalan
raja dan rakyat (Kawula-Gusti). “Gusti”
yang sebelumnya adalah Raja (merangkap Gubernur), menjadi bergeser ke sosok
Gubernur yang bukan Sultan. Selain itu, “perceraian” antara raja dengan rakyat-nya
juga menyebabkan status raja tidak lagi sakral dan keramat, namun menjadi profan
atau turun derajatnya menjadi manusia biasa. Sekali lagi, hal ini dikhawatirkan
merusak
struktur ideologis-sosiologis masyarakat Yogya.
Meskipun kemudian dalam RUUK-DIY muncul konstruksi baru tentang Gubernur Utama
atau Paradya yang memiliki hak veto dan hak-hak khusus lainnya, tetap saja mendapatkan
penolakan. Sebab, konstruksi ini tidak lagi mendudukan Raja sebagai Kepala
Pemerintahan (Daerah), namun lebih sebagai simbol dari entitas budaya dan
sejarah.
Pertanyaan menarik selanjutnya adalah, masih relevankah mempertahankan
warisan filsafat sejarah tradisional seperti itu di jaman globalisasi dan
demokrasi? Apakah semangat kebatinan itu tidak bertentangan dengan semangat
konstitusi modern?
Paham
Konstitusionalisme
Secara konseptual, terdapat perbedaan antara
konstitusi dengan konstitusionalisme. Konstitusi adalah dokumen politik dan
hukum yang berfungsi sebagai sertifikat kelahiran sebuah negara dan berisi aturan
pokok ketatanegaraan yang bersifat luhur dan kekal. Sedangkan
konstitusionalisme adalah paham kebangsaan yang menghendaki jaminan penggunaan
kekuasaan menurut hukum, adanya keseimbangan kekuasan, serta penghormatan
terhadap hak-hak dasar masyarakat. Atas dasar pemahaman tersebut, maka
implementasi konstitusionalisme dalam UUD 1945 termasuk penghormatan terhadap
hak asal-usul, otonomi bawaan, keragaman, keistimewaan daerah, dan belief
system masyarakat tradisional. Ketika konstitusi sudah memberi pengakuan dan
penghormatan, maka hal-hal tersebut tidak dapat dicabut kembali sekalipun oleh Konstitusi.
Secara tegas semangat konstitusionalisme tadi sudah tertuang dalam
Pasal 18 dan penjelasannya, yang kemudian diperjelas lagi dalam UU pembentukan
Provinsi DIY No. 3/1950. Pasal 4 ayat (4) UU ini menegaskan: “Urusan-urusan
rumah tangga dan kewajiban-kewajiban lain dari pada yang tersebut dalam ayat
(1) diatas, yang dikerjakan oleh DIY sebelum dibentuk menurut UU ini,
dilanjutkan sehingga ada ketetapan lain dengan UU”. Klausul seperti ini tidak
ada dalam UU pembentukan provinsi lain, sekaligus merupakan penegasan terhadap wewenang
untuk melanjutkan sistem pemerintahan yang telah berjalan sebelumnya di
Kasultanan Yogyakarta.
Pengakuan dan penegasan terhadap sistem pemerintahan
Kasultanan sendiri adalah hal yang sangat lumrah, mengingat pada tahun 1945
melalui Maklumat Sri Sultan dan Sri Paku Alam, Ngayogyakarta hanya menyerahkan
kedaulatan kepada NKRI namun kekuasaan lainnya masih dipegang dan
terus berlaku. Dalam
realitanya, pemerintah DIY secara perlahan menyerahkan kekuasaan tertentu
lainnya, misalnya kekuasan di bidang pertahanan/militer dan bidang hukum.
Sebagaimana diketahui, berdasarkan politiek contract antara Sri Sultan
HB IX dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda 18-03-1940 (Stb. 1941 No. 47),
Kasultanan masih memiliki kekuasaan antara lain: 1) peradilan sendiri sebagai
badan yudikatif yang berwenang mengadili perkara dari keturunan Sultan
Yogyakarta mulai graad 1 s/d 4; dan 2) kelompok prajurit bersenjata sebanyak
1000 orang (100 orang x 10 Bregada). Selain itu, kekuasaan bidang pertanahan
juga dikembalikan kepada pemerintah pusat, yang ditandai lahirnya Keputusan
Presiden No. 33/1984 yang memberlakukan UU No. 5/1960 (UU Pokok Agraria) di
seluruh wilayah DIY.
Dengan demikian dapat disimak bahwa peralihan kekuasaan dari pemerintah
Kasultanan kepada pemerintah RI adalah secara bottom up melalui penyerahan,
dan bukan secara top down melalui penarikan. Dan diantara berbagai
kekuasaan yang ada, kekuasaan pemilihan pimpinan daerah adalah kekuasaan yang
belum diserahkan. Maka wajarlah jika muncul reaksi keras dari bawah ketika RUUK-DIY terkesan akan
menarik kekuasaan tersebut melalui ketentuan pemilukada langsung bagi Gubernur
DIY.
Tawaran
Solusi
Konsep yang ditawarkan RUUK-DIY saat ini secara esensial ingin tetap
mempertahankan keistimewaan bagi Yogyakarta. Oleh sebab itu, penulis mendukung
upaya mengokohkan paham konstitusionalisme dalam UUD 1945 dengan memperkuat
segala jenis keistimewaan Yogya yang masih tersisa. Jika kemudian
muncul ekses berupa tuntutan pemberian keistimewaan kepada wilayah eks kerajaan
seperti Bone, Luwu, dan Gowa di Sulawesi, atau
Kutai, Bulungan, Pontianak, dan Banjar di Kalimantan, dan seterusnya,
justru harus dijadikan sebagai momentum untuk mengembalikan kekayaan budaya dan
warisan sejarah bangsa masa silam. Hal ini bukanlah
sesuatu yang patut ditakuti, apalagi dicurigai sebagai ancaman terhadap NKRI.
Selain itu, sudah saatnya pemerintah
mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh penerapan desentralisasi asimetris sesuai
dengan fakta historis dan kebutuhan aktual masing-masing daerah. Saat inipun
Aceh, Papua dan DKI telah merasakan desentralisasi asimetris tersebut, sehingga
berlebihan jika peluang bagi daerah lain tertutup dalam mengembangkan kekhasan
masing-masing berdasarkan warisan sejarah, budaya, maupun nilai-nilai filosofis
dan kebatinan yang berkembang. Meminjam analisis Krabbe & Leon Duguit,
desentralisasi asimetris memiliki korelasi positif dengan semangat
konstitusionalisme karena ditujukan untuk memenuhi rasa keadilan (rechtsgefuhl)
dan keinsyafan keadilan (rechtsbewustzijn) yang hidup pada sanubari
rakyat. Oleh karena itu, pemberian desentralisasi asimetris justru akan
semakin menjamin tegaknya NKRI yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
Penulis adalah wong Yogya, saat ini
Kepala Pusat
Kajian Manajemen Kebijakan, LAN-RI.
2 komentar:
Samlekum Sensei,
Status otsus bagi Tanah Papua,tak juga dapat meredam aspirasi ”Papua Merdeka”. Hal ini tentunya sangat mengancam stabilitas NKRI...
Mohon pencerahannya, Sir
The Dreamer syb,
Makasih komennya. Issu ini memang sgt sensitif utk karakter unitary state spt negara kita. Tarik-menarik bandul antara kesatuan vs keragaman; dan antara sentralisasi vs desentralisasi, tidak akan pernah berhenti, sekalipun Papua merdeka. Ini debat abadi dlm sistem negara modern, Broer!
Tapi kalau boleh mengusulkan, saya tetap menganggap desentralisasi yg asimetris adalah jalan keluar terbaik. Mungkin desain Otsus yg ada saat ini belum sesuai dg harapan warga Papua. So, sesuaikan saja dengan kemauan mrk, asal mrk tetap komit utk mempertahankan kesatuan republik.
Btw, aga kareba?
Posting Komentar