Apa yang kita pikirkan ketika
kita hanya memiliki setetes air di padang pasir yang terik dan tandus? Atau,
apa sikap kita saat menyadari bahwa kita hanya mempunyai sepercik api ditengah
dingin dan gelap gulitanya malam?
Sangat mungkin sekali kita
menjadi pesimis dan putus asa, menganggap segalanya adalah akhir yang
mengenaskan. Tidaklah mungkin setetes air akan menghilangkan dahaga kita,
sebagaimana setitik api yang tidak mungkin memberikan penerangan dan
kehangatan. Ditengah kesulitan yang sedemikian besar sementara kita tidak cukup
memiliki sumber daya, sangatlah wajar jika pesimisme yang muncul. Saat
pesimisme dan putus asa mengiringi kesulitan hidup dan keterbatasan sumber
daya, maka yang terjadi sesungguhnya adalah kematian.
Padahal, selalu ada harapan
dibalik perjuangan panjang dan menyakitkan sekalipun. Selalu ada jalan dibalik
berbagai kebuntuan, dan akan selalu muncul kemudahan dibalik setiap kesulitan. Meski
hanya setetes air, bisa jadi akan dapat memperpanjang nafas kita untuk mencari
sumber air yang berlimpah. Meski hanya setitik api, akan dapat dikobarkan jika
kita mampu menemukan bahan bakar yang cukup.
Ilustrasi diatas dapat
dianalogikan dengan upaya memberantas korupsi. Ketika dihadapkan pada sebuah
sistem kenegaraan dan tata hubungan kemasyarakatan yang sarat dengan praktik
penyimpangan, mungkin membuat kita miriss. Korupsi seolah-olah telah menjadi
bagian dari budaya dan gaya hidup manusia Indonesia, sehingga hampir mustahil
untuk menghapus korupsi dari bumi Indonesia. Dari kacamata pesimisme, kasus
korupsi yang menggurita hingga ke pori-pori dan urat nadi bangsa akan membuat
kita menyerah. KPK dan alat penegak hukum lainnya mulai diragukan, pendidikan
moral dan budi pekerti tidak lagi mempan, dan niat berbuat baikpun seringkali dilecehkan.
Maka, dibutuhkan adanya cara
berpikir yang positif disertai dengan optimisme bahwa mewujudkan bangsa
Indonesia yang bersih, jujur, dan berkeadaban adalah sebuah kemungkinan, yang
meskipun teramat kecil namun terbuka peluang untuk menjadikannya makin besar
dan semakin besar. Bagaimanapun kinerja aparat dan institusi hukum saat ini,
selalu ada harapan untuk perbaikan. Seburuk apapun perilaku politisi, birokrat
dan pelaku usaha, selalu terbersit harapan untuk perubahan yang mengarah pada
kebaikan. Sebanyak apapun kasus korupsi dan sebesar apapun kerugian negara yang
ditimbulkan, selalu tersisa ruang untuk membuat perbaikan.
Untuk melakukan perubahan
tersebut, syarat awal yang dibutuhkan adalah asa atau harapan tentang kondisi
ideal yang ingin dicapai dimasa depan. Tanpa sebuah asa, maka segala sesuatu
tak mungkin bertenaga. Bukankah seorang petani yang rajin menyiangi sawahnya
senantiasa memendam asa akan masa panen yang berlimpah dimasa depan? Bukankah
seorang ibu yang menyusui bayinya siang malah disemangati oleh asa bahwa
anaknya akan menjadi manusia berguna dikemudian hari? Maka, kita wajib memupuk
harapan akan sebuah negara yang bersih dan bebas KKN pada suatu hari nanti.
Selanjutnya, asa tadi harus diperkuat dengan kepercayaan diri bahwa harapan itu
bukanlah hal yang hampa, namun sebuah kenyataan yang belum diraih. Terakhir,
harapan yang kuat dan konfidensi yang tinggi akan efektif jika ditopang oleh
aksi yang cerdas dan konkrit. Tiga prakondisi inilah (harapan, konfidensi, dan
aksi) yang menurut saya akan menjadi kunci mewujudkan visi sebuah organisasi
atau sebuah bangsa.
Dengan perspektif seperti ini,
tidak ada sesuatu yang sia-sia. Termasuk adanya training PRIMA yang
dilaksanakan oleh KPK, adalah sebuah aksi yang mungkin kecil, namun bisa
menghasilkan efek perubahan yang besar jika dikelola dengan baik. Pengelolaan
training ini dimulai sejak rekrutmen calon peserta yang harus benar-benar
menghasilkan kader-kader pilihan yang berintegritas bulat dan memiliki optimisme
tinggi untuk terwujudnya Indonesia yang unggul dimasa depan. Selanjutnya, pasca-training
juga harus disiapkan dengan program-program nyata yang kontinyu dan terukur.
Minimal, alumni training harus menjadi agent
of change atau penggerak perubahan dan dinamisator lingkungan kerja yang
positif.
Saya sendiri sangat berharap
dapat memerankan perubahan seperti itu. Atau paling tidak, saya ingin menjadi role model tentang sosok seorang
aparatur yang berintegritas dalam pengabdian bukan hanya kepada organisasi,
namun kepada Ibu Pertiwi. Keberadaan seorang warga belumlah berarti sampai ia
memberikan sumbangsihnya yang utama untuk Tanah Air tercinta.
(Catatan ini disiapkan untuk
syarat wawancara mengikuti seleksi Training PRIMA KPK)
Jakarta, 24 September 2011