Karena
saya merasa tarif tersebut kurang realistis dan tidak masuk akal, saya mencoba
membaca rincian kuitansi yang saya terima. Dari sinilah saya bertanya-tanya,
bagaimanakah sesungguhnya cara lembaga pelayanan menentukan tarifnya?
Jangan-jangan tidak ada standar teoretik atau rujukan normatif yang digunakan,
sehingga tarif ditetapkan asal-asalan. Saya juga berpraduga bahwa unit-unit
pelayanan di Indonesia belum memahami hakikat pelayanan publik, serta memandang
pelanggan sebagai sumber keuntungan finansial belaka, bukan sebagai mitra
institusi yang harus diposisikan diatas kepentingan jangka pendek.
Jika
benar dugaan saya bahwa tarif pelayanan publik belum dikalkulasi secara
rasional dan obyektif, maka wajarlah jika biaya pelayanan publik di Indonesia
saat ini masih teramat mahal. Bukan hanya pelayanan RS, pelayanan di sektor
lain seperti pendidikan, air bersih, listrik, bahkan pelayanan Akta
Kependudukan sekalipun masih relatif mahal.
Dalam
konteks pelayanan rumah sakit, saya memiliki sebuah hipotesis bahwa mahalnya
biaya rumah sakit terjadi karena adanya indikasi pungutan ganda (double tariff). Sejak awal saya percaya
bahwa tarif haruslah bersifat tunggal, yakni hanya untuk membiayai suatu jenis
layanan tertentu. Sebagai contoh, ketika melakukan kontrol rutin atas kehamilan
istri saya, tarif resmi adalah Rp 150 ribu untuk dokter dan Rp 30 ribu untuk
biaya administrasi. Obat-obatan (jika ada) akan dibayar secara terpisah. Apakah
dokter akan menggunakan USG 2 dimensi maupun sekedar konsultasi lisan, tarifnya
sama.
Nah,
saat saya membaca rincian kuitansi tadi, terperanjatlah saya dengan adanya item-item
tarif “sewa” seperti sewa selimut, sewa alat resusitasi, biaya penggunaan
ruangan operasi, dan pungutan lain yang sejenis. Dalam pemahaman saya,
pengadaan alat-alat kesehatan seperti selimut atau alat resusitasi adalah
bentuk investasi rumah sakit. Demikian pula pembangunan gedung atau ruangan,
adalah modal awal agar rumah sakit tersebut dapat menjalankan fungsinya dengan
baik. Investasi ini diambilkan dari bagian keuntungan yang diperoleh dari
penjualan jasa kesehatan RS kepada pasien/pelanggannya. Oleh karena itu,
menurut akal sehat saya, pelanggan (pasien) tidak boleh dibebani tarif ganda,
yakni tarif terhadap pelayanan kesehatan sekaligus tarif untuk menyewa
alat-alat kesehatan atau sewa ruangan.
Sekedar
analogi, dalam pelayanan jalan tol oleh PT Jasa Marga tidak ada tarif apapun
selain tarif resmi penggunaan jalan tol tersebut. Investasi dalam bentuk
pelebaran jalan, pemasangan marka dan rambu jalan, patroli, dan sebagainya,
tidak lagi dibebankan kepada pengguna jasa. Demikian pula jika mobil pelanggan
macet di tengah jalan tol, maka diberikan layanan derek mobil secara gratis.
Bahkan jika terjadi kecelakaan, pihak PT Jasa Marga masih memberikan santunan
kepada korban. Analogi lain yang lebih sederhana, jika kita membeli Pizza Hut
melalui delivery service, kita cukup
membayar harga Pizza Hut yang kita pesan dan tidak ada tambahan ongkos sewa
kendaraan yang digunakan untuk mengantar pesanan kita ke rumah. Pelayanan
penyambungan jaringan listrik oleh PLN juga tidak ada komponen sewa tiang
listrik.
Jika
dugaan saya tentang adanya tarif ganda ini benar, maka sesungguhnya telah
terjadi praktek Pungli (pungutan liar) di RS ini. Ironisnya, hal seperti ini
nampaknya sudah berlangsung sejak lama dan mungkin pemerintah (cq. Kementerian
Kesehatan) juga tidak menyadarinya dengan berdalih bahwa wewenang menetapkan
tarif berada pada manajemen RS yang bersangkutan. Dan lebih ironis lagi, aparat
pemeriksa keuangan sekelas BPK ternyata juga tidak memiliki wewenang untuk
melakukan audit terhadap institusi swasta. Manajemen swasta nampaknya masih
begitu “merdeka” untuk menetapkan tarif tanpa disertai dengan transparansi dan
akuntabilitas yang memadai.
Dalam
situasi seperti ini, kembali rakyat yang dirugikan, dan entah kapan rakyat kita
benar-benar “merdeka” dari praktek eksploitasi yang tidak kentara (disguise exploitation). Di era reformasi
ketika – katanya – pelayanan publik adalah segala-galanya, dan dikala peraturan
perundang-undangan di bidang pelayanan publik atau perlindungan konsumen telah
berjalan, tetap saja rakyat masih terengah-engah memperjuangkan haknya untuk
dilayani. Perlukah kita membentuk Public
Service Watch meski sudah ada YLKI atau Komisi Ombudsman? Entahlah … gelap
rasanya melihat praktek pelayanan publik saat ini … L
Tidak ada komentar:
Posting Komentar