Senin, 19 September 2011

Seri Pelayanan Publik 1: Kebijakan Penetapan Tarif (Pricing)

Belum lama ini saya menggunakan jasa sebuah rumah sakit swasta yang cukup besar dan mewah di wilayah Tangerang Selatan. Jasa layanan yang saya gunakan memang agak berat, yakni pengobatan anemia (kurang darah) sekaligus persalinan istri saya yang mengandung bayi kembar sehingga harus dilakukan secara Cesar. Meski saya menyadari bahwa biaya yang harus saya keluarkan cukup besar, namun tetap saja membuat saya sangat terkejut ketika tagihan yang disodorkan kepada saya mencapai Rp. 30 juta lebih untuk jangka perawatan selama 1 minggu. 

Karena saya merasa tarif tersebut kurang realistis dan tidak masuk akal, saya mencoba membaca rincian kuitansi yang saya terima. Dari sinilah saya bertanya-tanya, bagaimanakah sesungguhnya cara lembaga pelayanan menentukan tarifnya? Jangan-jangan tidak ada standar teoretik atau rujukan normatif yang digunakan, sehingga tarif ditetapkan asal-asalan. Saya juga berpraduga bahwa unit-unit pelayanan di Indonesia belum memahami hakikat pelayanan publik, serta memandang pelanggan sebagai sumber keuntungan finansial belaka, bukan sebagai mitra institusi yang harus diposisikan diatas kepentingan jangka pendek.

Jika benar dugaan saya bahwa tarif pelayanan publik belum dikalkulasi secara rasional dan obyektif, maka wajarlah jika biaya pelayanan publik di Indonesia saat ini masih teramat mahal. Bukan hanya pelayanan RS, pelayanan di sektor lain seperti pendidikan, air bersih, listrik, bahkan pelayanan Akta Kependudukan sekalipun masih relatif mahal.  

Dalam konteks pelayanan rumah sakit, saya memiliki sebuah hipotesis bahwa mahalnya biaya rumah sakit terjadi karena adanya indikasi pungutan ganda (double tariff). Sejak awal saya percaya bahwa tarif haruslah bersifat tunggal, yakni hanya untuk membiayai suatu jenis layanan tertentu. Sebagai contoh, ketika melakukan kontrol rutin atas kehamilan istri saya, tarif resmi adalah Rp 150 ribu untuk dokter dan Rp 30 ribu untuk biaya administrasi. Obat-obatan (jika ada) akan dibayar secara terpisah. Apakah dokter akan menggunakan USG 2 dimensi maupun sekedar konsultasi lisan, tarifnya sama.  

Nah, saat saya membaca rincian kuitansi tadi, terperanjatlah saya dengan adanya item-item tarif “sewa” seperti sewa selimut, sewa alat resusitasi, biaya penggunaan ruangan operasi, dan pungutan lain yang sejenis. Dalam pemahaman saya, pengadaan alat-alat kesehatan seperti selimut atau alat resusitasi adalah bentuk investasi rumah sakit. Demikian pula pembangunan gedung atau ruangan, adalah modal awal agar rumah sakit tersebut dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Investasi ini diambilkan dari bagian keuntungan yang diperoleh dari penjualan jasa kesehatan RS kepada pasien/pelanggannya. Oleh karena itu, menurut akal sehat saya, pelanggan (pasien) tidak boleh dibebani tarif ganda, yakni tarif terhadap pelayanan kesehatan sekaligus tarif untuk menyewa alat-alat kesehatan atau sewa ruangan.  

Sekedar analogi, dalam pelayanan jalan tol oleh PT Jasa Marga tidak ada tarif apapun selain tarif resmi penggunaan jalan tol tersebut. Investasi dalam bentuk pelebaran jalan, pemasangan marka dan rambu jalan, patroli, dan sebagainya, tidak lagi dibebankan kepada pengguna jasa. Demikian pula jika mobil pelanggan macet di tengah jalan tol, maka diberikan layanan derek mobil secara gratis. Bahkan jika terjadi kecelakaan, pihak PT Jasa Marga masih memberikan santunan kepada korban. Analogi lain yang lebih sederhana, jika kita membeli Pizza Hut melalui delivery service, kita cukup membayar harga Pizza Hut yang kita pesan dan tidak ada tambahan ongkos sewa kendaraan yang digunakan untuk mengantar pesanan kita ke rumah. Pelayanan penyambungan jaringan listrik oleh PLN juga tidak ada komponen sewa tiang listrik. 

Jika dugaan saya tentang adanya tarif ganda ini benar, maka sesungguhnya telah terjadi praktek Pungli (pungutan liar) di RS ini. Ironisnya, hal seperti ini nampaknya sudah berlangsung sejak lama dan mungkin pemerintah (cq. Kementerian Kesehatan) juga tidak menyadarinya dengan berdalih bahwa wewenang menetapkan tarif berada pada manajemen RS yang bersangkutan. Dan lebih ironis lagi, aparat pemeriksa keuangan sekelas BPK ternyata juga tidak memiliki wewenang untuk melakukan audit terhadap institusi swasta. Manajemen swasta nampaknya masih begitu “merdeka” untuk menetapkan tarif tanpa disertai dengan transparansi dan akuntabilitas yang memadai.  

Dalam situasi seperti ini, kembali rakyat yang dirugikan, dan entah kapan rakyat kita benar-benar “merdeka” dari praktek eksploitasi yang tidak kentara (disguise exploitation). Di era reformasi ketika – katanya – pelayanan publik adalah segala-galanya, dan dikala peraturan perundang-undangan di bidang pelayanan publik atau perlindungan konsumen telah berjalan, tetap saja rakyat masih terengah-engah memperjuangkan haknya untuk dilayani. Perlukah kita membentuk Public Service Watch meski sudah ada YLKI atau Komisi Ombudsman? Entahlah … gelap rasanya melihat praktek pelayanan publik saat ini … L

Tidak ada komentar: