Ketika menemani istri dirawat di
sebuah RS Swasta di wilayah Tangerang Selatan, saya memiliki kesan awal bahwa
RS ini telah memiliki paradigma yang berbeda dibanding RS yang lain, terutama
RS Pemerintah. Karena melihat gedung yang mentereng, serta pertimbangan biaya,
saya memilih Kelas III. Meskipun demikian, sekilas dapat diamati bahwa Kelas
III di RS ini nampaknya lebih baik dibanding Kelas VIP di RSUD. Ruangan yang
bersih dan indah, ditunjang fasilitas yang berfungsi optimal, memperkuat kesan
awal saya tersebut.
Namun, selama seminggu menempati
Kelas III membuat kesan tadi berubah cukup drastis. Soal keramahan, ketulusan dan
sikap/perilaku petugas, misalnya, masih ada petugas yang terkesan menjalankan
tugasnya sebagai beban atau kewajiban belaka, bukan sebagai bentuk pengabdian
atau ibadah. Masih ada sebagian petugas yang memancarkan aura ketidaktulusan
dan hawa kurang bersahabat. Beberapa hal diantaranya adalah:
a. Saat
istri saya dimandikan dengan cara wash-lap,
hanya dilakukan di bagian depan. Ketika diingatkan oleh istri saya bahwa bagian
belakang belum, dia hanya bilang “o iya,
lupa”. Kesan kami, dia sengaja melakukannya dan berharap istri saya tidak
mengingatkannya.
b.
Ketika
salah satu bayi saya kembalikan ke ruang bayi agar dibersihkan empup-nya, salah seorang petugas sedang
memberikan susu kepada bayi yang lain sehingga meminta temannya untuk
membersihkan empup, tapi dengan entengnya dia hanya menjawab “iya entar”. Meski akhirnya dilakukan juga,
terkesan oleh saya saat itu bahwa petugas ini sangat tidak rela membersihkan empup bayi orang lain.
c. Sesaat
setelah operasi, petugas kamar operasi memperlakukan istri saya secara kasar.
Ketika istri saya minta agar mereka sedikit lebih sabar dan pelan, malahan
kemudian mencubit kaki istri saya seraya bertanya: “coba apa yang saya lakukan
terhadap ibu”. Tentu saja istri saya menjawab: “mencubit”. Si petugas mengira
bahwa istri saya masih dalam pengaruh bius sehingga seenaknya memperlakukan
pasien. Dalam kasus ini, ada dua kesalahan sekaligus yang dilakukan si petugas
“brengsek” tadi, yaitu: 1) berbuat kasar dan tidak hati-hati yang mengakibatkan
munculnya rasa sakit baru bagi pasien; dan 2) tidak memiliki pengetahuan media
yang baik sehingga salah dalam membuat estimasi apakah pasien sudah lepas dari
pengaruh bius atau belum.
Selain
itu, soal kebersihan ternyata tidak seperti yang terlihat dalam pandangan mata.
Beberapa yang saya observasi diantaranya:
a. Entah
karena Kelas II atau karena memang perawatan kurang, kamar mandi menyebarkan
bau sangat menyengat yang bersumber dari sampah medik dan non-medik, atau
sumber lainnya. Tidak ada pengharum ruangan di dalam kamar mandi atau kamper sama
sekali. Frekuensi pembersihan-pun hanya dua kal –agi dan sore – yang menurut
saya sangat tidak cukup mengingat banyaknya pasien dan keluarganya yang
menggunakan kamar mandi tersebut. Mestinya, kamar mandi dibersihkan minimal
setiap 2 jam sekali.
b.
Lantai
ruangan juga sangat jarang dibersihkan, hanya pagi dan sore, itupun terkesan
sekedarnya dan asal-asalan. Pada saat terdapat noda dari betadine atau percikan
darah, sebagaimana yang kami alami di bed, juga tidak langsung dibersihkan,
namun menunggu hari berikutnya. Demikian pula untuk seprei yang terkena noda
atau percikan darah, tidak langsung diganti dan dibiarkan hingga hari
berikutnya.
c. Gordyn
sudah nampak sangat kusut yang menandakan sudah terlalu lama tidak diganti, dan
menimbulkan potensi menyimpan debu dan kotoran.
Hal
yang paling memprihatinkan adalah kenyataan bahwa RS ini masih menerapkan
prinsip ketidakpercayaan terhadap pasien dan keluarganya. Pasien dan
keluarganya masih diposisikan sebagai pihak yang membutuhkan RS, sedangkan RS
adalah pihak yang dibutuhkan. Itulah sebabnya, sentuhan kemanusiaan masih belum
terasa sama sekali. Hal ini nampak ketika dokter yang menangani istri saya sudah
mengijinkan pulang sekitar jam 10, yang disusul oleh dokter anak yang
mengijinkan kedua bayi saya untuk pulang sekitar jam 12.30. Namun saat itu,
istri dan kedua bayi saya masih belum bisa pulang karena saya masih harus
membereskan administrasi. Pada jam 13.00 saya sudah mendesak untuk membereskan
administrasi, namun diminta menunggu terus sampai pihak FO (Front Office) selesai membuat perincian.
Oleh karena kami sudah menunggu terlalu lama, dan pihak FO tidak juga
menyelesaikan tugasnya, maka menjelang jam 15.00 saya putuskan untuk mendatangi
FO.
Semestinya,
pada waktu tunggu tersebut, obat-obatan sudah diserahkan pasien/keluarganya dan
diberi penjelasan seperlunya. Faktanya, pihak RS baru akan menyerahkan obat dan
memberi penjelasan apabila saya sudah menyelesaikan administrasi. Dengan kata
lain, obat-obatan tersebut sengaja ditahan, sementara istri dan bayi saya juga
belum diperkenankan pulang (penghalusan dari kata “ditahan”) hanya karena
administrasi belum selesai. Padahal, kelambatan administrasi bukan karena saya
yang menunda atau minta penangguhan, tapi karena memang proses administrasi RS
yang sangat lambat dan melelahkan bagi pasien dan keluarganya dalam menunggu
proses tersebut. Lagi pula, sejak awal saya tidak sedikitpun menunjukkan itikad
akan minta dispensasi, atau minta penangguhan, apalagi pembebasan biaya. Bahkan
pada awal perawatan ketika saya mengurus Askes, sudah saya “tantang” kepada FO
jika perlu saya akan titip deposit.
Tindakan
RS “menahan” pasien inilah yang sangat menyakitkan dan sangat menyinggung
perasaan saya. Saya sangat tidak menyangka bahwa di era pelayanan prima
berbasis humanisme saat ini, praktek buruk seperti itu masih dipraktekkan di RS
yang bahkan pernah meng-claim diri
sebagai RS bertaraf internasional.
Contoh-contoh
diatas mengindikasikan bahwa Visi Misi RS belum sepenuhnya terinternalisasi
dalam operasionalisasi RS yang dijalankan para petugasnya. Masih banyak
dibutuhkan upaya pengembangan SDM berupa building
commitment, building shared-vision, building learning organization, dan
sebagainya. Jika proses seperti ini tidak dilakukan, saya khawatir RS ini akan
semakin kehilangan trust dari
pelanggannya. Upaya lain yang perlu dilakukan adalah dengan membuat survey
harapan pelanggan (costumer expectation
survey). Lembar feedback yang
diberikan pada saat pasien pulang, sangat tidak memadai karena tidak dapat
menampung sepenuhnya perasaan dan pengalaman pelanggan. Maka, diperlukan
mekanisme khusus dan instrumen (kuesioner) yang lebih komprehensif untuk
mengetahui harapan dan kebutuhan yang lebih mendasar dari pelanggan (what costumers really need and expect).
Sebagai keluarga pasien yang
emmang selalu berposisi lemah, saya sudah mencoba mengajukan pengaduan, namun
respon yang saya peroleh sangat dibawah harapan saya. Selain tidak ada
pihak/petugas yang secara khusus menangani pengaduan, atau tidak jelasnya
mekanisme dan saluran pengaduan, juga sikap petugas yang terkesan lari dari
tanggung jawab. Seolah-olah mereka kompak mengatakan bahwa “itu bukan urusan
dan tanggung jawab saya”. Bahkan alamat email untuk menampung keluhanpun tidak
mereka sediakan.
Akhirnya, saya hanya bisa pasrah.
Pasien Kelas III tetaplah Kelas III, jangan bermimpi laksana punguk yang merindukan bulan … itulah
potret buram dan menyedihkan pelayanan publik yang saya alami, semoga tidak
terjadi di RS lain dan pasien lain di seluruh wilayah Indonesia, khususnya di
Kota Tangerang Selatan L
Tidak ada komentar:
Posting Komentar