Oleh: Tri Widodo W. Utomo
DALAM segmen Teropong, KOMPAS edisi 27/7/2012 membuat laporan investigasi yang
sangat menyentuh tentang konflik antar warga Kecamatan Balaesang Tanjung,
Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Konflik ini dipicu oleh dikeluarkannya
Ijin Usaha Pertambangan (IUP) untuk PT Cahaya Manunggal Abadi dengan luas areal
sekitar 5.000 hektar yang mencakup delapan desa. Bahkan Ijin Amdalnya keluar
tanpa sepengetahuan atau persetujuan warga.
Sikap sebagian besar warga
menolak rencana penambangan tersebut karena secara turun-menurun mereka telah
menyandarkan hidup dari hasil kebun dan ladang yang amat subur dan ditanami
dengan jenis komoditas kakao, cengkeh, kelapa, dan lainnya. Sayangnya,
penolakan mereka tidak pernah didengar oleh pemerintah. Potensi konflik semakin
meruncing saat muncul sebagian warga yang sepakat dengan rencana penambangan
tersebut. Meski sebagian warga yang mendukung rencana tersebut mengaku karena
terpaksa, tidak urung konflik kedua belah pihak telah menimbulkan korban jiwa
maupun korban material yang tidak sedikit.
Bukan
yang Pertama
Konflik sosial yang dipicu oleh
pemberian ijin pertambangan bukan sekali ini terjadi. Kasus Balaesang Tanjung
seakan menjadi pengulangan kasus-kasus yang terjadi d berbagai daerah. Rasanya
masih hangat dalam ingatan masyarakat terjadinya kerusuhan Bima yang terjadi
Desember 2011 silam.
Pemicu kerusuhanpun sama, yakni
dikeluarkannya Ijin Usaha Pertambangan (IUP) untuk PT Sumber Mineral Nusantara
dengan luas areal lebih dari 24 ribu hektar. Protes warga yang sudah berjalan
lebih dari setahun tidak digubris, termasuk rekomendasi Komnas HAM kepada
Bupati Bima. Puncaknya, pada tanggal 24/12/2011 massa memblokir Pelabuhan Sape
dan terjadilah peristiwa berdarah yang menewaskan 4 orang dan puluhan korban
hilang (Sumbawa News, 25/12/2011).
Selain kasus Balaesang Tanjung
maupun kasus Bima, masih banyak konflik sosial yang dipicu oleh kebijakan
pemerintah mengeluarkan perijinan. Scale-up,
sebuah LSM yang bergerak dalam bidang pembangunan sosial berkelanjutan,
misalnya, menyebut banyaknya tumpang tindih perijinan lahan di lapangan yang
memicu konflik sosial. Di Riau saja, terdapat 241 konflik sosial yang terjadi
dalam 4 tahun terakhir (http://scaleup.or.id).
Belum lagi konflik di daerah dan sektor lainnya.
Pengulangan berbagai konflik
sosial tersebut seolah memberikan gambaran kepada kita bahwa pemerintah tidak pernah
belajar dari kasus-kasus lama untuk mencegah agar kasus yang sama tidak
berulang di daerah lain. Praktek perijinan selalu saja penuh dengan kepentingan
kelompok tertentu dan merugikan kelompok lainnya. Proses pengambilan keputusan
hingga munculnya ijin tersebut nampaknya juga hanya mempertimbangkan sisi prosedural,
namun kurang mendalami aspek sosiologis dan psikologis warga yang terkena
kebijakan. Negara gagal mengelola perijinan sebagai instrumen negara
kesejahteraan (welfare state)
sekaligus memfungsikannya sebagai wahana rekayasa sosial.
Rekayasa
Sosial
Meski citra perijinan sekarang
sudah teramat buruk dimata publik karena praktek-praktek yang buruk, namun
harus disadari bahwa munculnya perijinan sebagai tindakan administratif
pemerintah justru dimaksudkan untuk mewujudkan perlindungan pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda warga negara. Secara lebih detil,
perijinan yang baik akan dapat mencapai tujuan-tujuan ideal sebagai berikut: 1)
mewujudkan tertib
sosial dan tertib hukum dalam masyarakat; 2) meningkatkan pemerataan dan
mengentaskan kemiskinan; 3) mendorong iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi
sektor riil di daerah; 4) mencegah pengelolaan sumber daya alam secara
ekstraktif eksploitatif; serta 5) menjadi sumber pendapatan daerah/negara
(Utomo, 2010).
Dengan kata lain, perijinan yang
benar mestinya dapat mendorong efek positif berupa pertumbuhan ekonomi,
sekaligus mencegah sejak dini kerusakan lingkungan alam maupun sosial. Namun
jika dikelola dengan kurang bijak, maka justru efek negatiflah yang akan terjadi.
Itulah sebabnya mengapa perijinan dikatakan sebagai sebuah instrumen rekayasa
pembangunan atau rekayasa sosial (social
reengineering). Rekayasa yang baik akan memberi hasil yang baik, sementara
rekayasa yang buruk akan memberi hasil buruk juga.
Bagaimana perijinan dapat menjadi
alat rekayasa sosial? Aliran utilitarianisme dalam khazanah hukum administrasi
negara menyatakan bahwa perijinan diperlukan bukan sekedar memberikan legalitas
terhadap aktivitas tertentu dari seorang warna negara, namun juga jaminan bahwa
aktivitas tersebut bermanfaat baik bagi dirinya, keluarganya, maupun orang
lain. Artinya, perijinan memiliki wajah ganda, yakni wajah kepastian hukum di
satu sisi dan kemanfaatan publik disisi lain.
Agar dua sisi tersebut bisa
berjalan seimbang, maka pemerintah berhak menetapkan persyaratan, kewajiban,
dan larangan yang melekat pada perijinan tertentu. Persyaratan adalah kondisi-kondisi yang harus dipenuhi pemohon ijin
seperti kelengkapan administratif, kualifikasi personal atau badan usaha, dan
lain-lain. Penetapan persyaratan ini pada hakekatnya merupakan upaya
pengendalian, yang berarti bahwa tidak setiap orang atau setiap badan usaha
dapat diberikan ijin tertentu. Kewajiban adalah
hal-hal yang harus dilakukan pemegang ijin seperti keharusan menjaga kelestarian
lingkungan, mempekerjakan penduduk sekitar, menggunakan bahan dasar lokal (local content), atau membayar retribusi/pajak
kepada pemerintah, yang apabila tidak dilakukan maka ijin yang telah diberikan
dapat dicabut kembali disertai ancaman sanksi. Jadi, penetapan kewajiban ini dimaksudkan
untuk menggaransi dampak positif dari pemberian ijin. Adapun larangan berisi pembatasan bagi pemegang
ijin untuk tidak menyelenggarakan aktivitas selain dari yang disebutkan dalam
ijin, atau larangan menggunakan bahan baku dari luar negeri, memproduksi barang
lebih dari ketentuan yang berlaku, dan sebagainya. Hal ini diperlukan untuk
mencegah kemungkinan dampak negatif dari pemberian ijin tersebut.
Dalam realitanya, sebuah ijin
jarang sekali menekankan aspek kewajiban dan larangan tersebut. Ijin cenderung
mudah dikeluarkan sepanjang persyaratan administratif sudah lengkap. Maka,
perijinan tidak pernah menjadi alat rekayasa sosial. Perijinan lebih banyak
dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan daerah semata, tanpa memperhatikan
fungsi perijinan yang lain secara seimbang. Akan lebih buruk lagi ketika
kepentingan politis masuk dalam rezim perijinan, maka potensi konflik sosial
akan semakin besar, seperti terlihat dalam berbagai kasus yang muncul belakangan
ini.
Dengan demikian, untuk mencegah
merebaknya konflik sosial di kemudian hari, pendekatan hukum saja sangat tidak
memadai. Pendekatan teknokratis-administratif dengan memperbaiki sistem
perijinan secara menyeluruh, diyakini menjadi pilihan solusi yang lebih jitu dan
cerdas untuk jangka panjang.
Penulis
adalah Ahli Peneliti Utama Bidang Administrasi Publik, LAN-RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar