Kamis, 20 September 2012

Toleransi Dalam Perspektif Hukum Publik (Kasus Penggunaan Mobil Dinas Untuk Keperluan Pribadi)


Oleh: Tri Widodo W. Utomo 

TOLERANSI sering kita dengar dalam konteks hubungan antar umat beragama, dimana umat agama tertentu wajib menghormati adanya perbedaan keyakinan, tradisi, cara pandang terhadap sesuatu, maupun praktik-praktik perilaku dari penganut agama yang lain. Toleransi dalam kehidupan agama bahkan merupakan sebuah kebutuhan untuk mewujudkan hubungan yang rukun, bersahabat, dan damai. 

Namun, bagaimanakah toleransi dalam bidang hukum? Apakah toleransi juga menjadi sebuah pilihan yang baik untuk mewujudkan penegakan hukum yang memenuhi rasa keadilan masyarakat? Jika kita menyimak dari berbagai ungkapan seperti tegakkan keadilan meski langit runtuh (fiat justitia ruat caelum), zero tolerance, pemerintah tidak akan pandang bulu terhadap pelanggar hukum, dan sebagainya, maka nampaknya “toleransi” menjadi kata yang tabu dalam rezim hukum, baik pidana maupun administrasi negara. Dunia hukum publik kita nampaknya hanya akrab dengan bunyi undang-undang dan tidak terbiasa dengan dialog, musyawarah, atau konsensus untuk mencari kompromi terhadap sebuah situasi atau polemik. 

Dengan cara berpikir ini pula, seorang penasehat KPK tidak memberi toleransi terhadap pemakaian kendaraan dinas untuk keperluan pribadi. "Apapun itu, jika menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi apalagi mudik berarti korupsi," ujar Abdullah Hehamahua kepada wartawan, usai acara pemberian paket sembako di kantor KPK (15/8/2012). “Imbauan penghalalan pemakaian mobil dinas itu merupakan imbauan yang salah kaprah, karena hal itu jelas menyalahi semangat pemerintah yang sedang menggalakkan program pemberantasan korupsi”, sambungnya. Wilayah publik nampaknya menjadi sangat dikotomis dan tidak boleh saling bercampur dengan wilayah privat atau pribadi. 

Faktanya, praktek pemakaian kendaraan dinas atau fasilitas negara yang lain untuk kepentingan pribadi, selama ini cenderung masuk wilayah abu-abu. Artinya, tidak ada aturan tertulis yang melarangnya (yang ada hanya sekedar himbauan), namun juga tidak ada dasar legalitas yang membenarkannya. Pemakaian fasilitas publik (negara) untuk kepentingan pribadi lebih dimaknakan sebagai perbuatan yang tidak etis, namun bukan pelanggaran hukum. Ketika sebuah aturan tidak mengatur secara tegas tentang larangan atau kewajiban untuk berbuat sesuatu, maka muncullah toleransi itu. Sebagai contoh, ditengah kelatahan instansi pemerintah melarang pemakaian kendaraan dinas untuk mudik, Gubernur Jambi dan Walikota Jambi justru membolehkan jajarannya menggunakan mobil dinas untuk angkutan mudik lebaran, dengan catatan tidak menggunakan uang dinas untuk keperluan minyak dan servis kendaraan, serta jika terjadi kerusakan menjadi tanggung jawab pribadi (Jambi Ekspres, 07/08/2012). Hal yang sama terjadi di Pemkab Semarang yang tidak membatasi penggunaan kendaraan dinas sepanjang mematuhi peraturan dan ketentuan pembatasan bahan bakar bersubsidi, serta menjaga dan merawat kendaraan tersebut dengan baik (Republika, 03/08/2012). Jika dicermati secara jujur, masih banyak lagi instansi pemerintah pusat maupun daerah yang bersikap lebih lunak dan mendiamkan pemakaian mobil dinas untuk mudik karyawannya. 

Apakah dengan demikian bisa dikatakan bahwa Gubernur Jambi, Walikota Jambi, dan Bupati Semarang telah menyetujui, bahkan menganjurkan perbuatan korupsi di lingkungannya masing-masing? Jika jawabannya ya, tentu saja KPK tidak boleh tinggal diam melihat fakta seperti ini. Diamnya KPK secara tidak langsung menyiratkan bahwa KPK-pun menerapkan toleransi dalam praktek/kasus seperti ini. Toleransi disini dimaknakan sebagai suatu perbuatan yang tidak ideal namun masih dinilai dalam batas-batas kewajaran. Dengan kata lain, meskipun improper use of government property merupakan perbuatan yang kurang etis, namun fairness adalah salah satu prinsip dasar dari etika. 

Itulah sebabnya, kebijakan Gubernur Jambi, Walikota Jambi, dan Bupati Semarang dapat dilihat sebagai bentuk toleransi untuk mengkompromikan situasi bernilai ganda. Disisi lain, apa yang dilakukan oleh ketiga Kepala Daerah tersebut justru menimbulkan keseimbangan antara kepentingan organisasi dengan kepentingan pribadi karyawan. Paparan dibawah ini memberi penjelasan bagaimana kepentingan publik dan privat tersebut dapat diselaraskan, dan bukannya dikontradiksikan. 

Baru-baru ini Microsoft melakukan survey yang hasilnya mengejutkan. Karyawan yang kelihatan tekun ternyata banyak menghabiskan jam kerjanya untuk melakukan kegiatan yang tidak terkait pekerjaan, seperti online shopping atau chating di berbagai media sosial. Ternyata, penelitian ini juga menemukan bahwa karyawan ini juga menjawab email, mengerjakan proyek, menyelesaikan laporan, serta menghubungi pelanggan dari rumah. Sebanyak 75% orang menggunakan computer kantor tidak hanya untuk mengerjakan tugas kantor, tetapi juga untuk keperluan pribadi. Sebaliknya, 64% karyawan mengerjakan tugas-tugas kantor di rumah. Hal ini menunjukkan bahwa batasan waktu dan tempat antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi semakin memudar. Istilah yang sedang hits untuk situasi ini adalah having it all atau blurring work and personal life (Eileen Rachman dan Sylvina Savitri, “Work Life Mix”, Kompas, 11/08/2012). 

Kehidupan manusia Indonesia, terutama yang tinggal di perkotaan, juga tidak terlepas dari fenomena Work Life Mix tersebut. Banyak pegawai yang menenteng laptop pribadi berisi dokumen-dokumen kerja. Komunikasi kedinasan-pun teramat sering dilakukan dengan pulsa yang dibayar sendiri, sehingga menghemat pemakaian telepon kantor. Tidak jarang pula pegawai secara sukarela mengumpulkan dana untuk membangun tempat ibadah di lingkungan kantor, karena memang tidak ada anggaran pembangunan masjid. Masih banyak lagi perilaku altruism pegawai terhadap organisasinya. Hal-hal seperti inilah yang selayaknya juga menjadi pertimbangan dalam memberikan toleransi ketika seorang pegawai menikmati fasilitas publik untuk keperluan pribadinya. 

Lagi pula, dalam hukum administrasi negara sesungguhnya juga dikenal mekanisme toleransi yang berwujud lembaga dispendasi dan lembaga pemutihan. Keduanya adalah instrumen kebijakan yang mengubah tindakan hukum yang semula illegal menjadi legal atau menjadi hilang unsur pelanggaran hukumnya. Contoh dari dispensasi adalah dalam kasus perkawinan. Menurut UU No. 1/1970, seseorang dapat melakukan pernikahan jika sudah mencapai umur tertentu. Jika ternyata orang tadi belum memenuhi syarat umur minimal, maka harus ada dispensasi terlebih dahulu, baru dapat melangsungkan pernikahan. Adapun contoh pemutihan adalah pemutihan IMB. Orang yang tidak memiliki IMB atas bangunan yang dimilikinya, dianggap tidak melanggar hukum sampai dengan saat dilakukannya pemutihan tersebut. Bedanya, dispensasi diberikan sebelum suatu tindakan hukum dilakukan, sedangkan pemutihan diberikan sesudah terjadinya suatu tindakan hukum. 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa toleransi sesungguhnya merupakan urat nadi dalam interaksi bermasyarakat maupun bernegara, termasuk di bidang hukum. Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi seyogyanya tidak dilakukan secara “hitam-putih” atau “benar-salah”, namun lebih menyelami lebih dalam semangat kebatinan yang berkembang dalam hati sanubari masyarakat. 

Penulis adalah Ahli Peneliti Utama Bidang Administrasi Publik; Kepala Pusat Kajian Manajemen Kebijakan LAN-RI

Tidak ada komentar: