Terus terang,
saat saya menyelesaikan tulisan berjudul “Teruslah Berpikir Dalam Kotak”, masih
ada sedikit keraguan bahwa kita bisa mengembangkan inovasi dengan menggunakan
pola yang baku, atau sebuah template.
Saya masih terpengaruh oleh gencarnya wacana untuk berpikir secara bebas tanpa
dikekang oleh pola-pola tertentu. Memang, sebuah pola sering kali menjadikan
seseorang kehilangan kadar kreativitasnya, karena yang dilakukan hanyalah
sekedar mengikuti pola yang ada. Coba lihat seorang mahasiswa yang menulis
skripsi, apapun yang dilakukan hanyalah mengikuti petunjuk yang ada dalam buku
pedoman penulisan skripsi, sehingga metodologi dan sistematika penulisannya
menjadi begitu seragam dan kurang menunjukkan keragaman cara berpikir dan cara
menyelesaikan permasalahan.
Namun seiring
dengan perjalanan pemikiran saya untuk menemukan dan mengembangkan model-model
inovasi, tanpa sengaja saya justru menjurus kepada perlunya penggunaan template untuk mempermudah melakukan
inovasi. Saya baru bisa membenarkan pernyataan Boyd dan
Goldenberg dalam bukunya “Inside the Box:
The Creative Method that Works for Everyone” (London: Profile Books, 2014),
yang menyatakan bahwa penggunaan template
dapat menuntun kita pada hasil yang tidak biasa, bahkan mengejutkan.
Awalnya saya memikirkan cara melakukan
inovasi terhadap pasar tradisional. Pasar tradisional saat ini semakin
terpinggirkan dan kalah bersaing dengan mal-mal atau mini-market seperti
Indomaret atau Alfamart. Pasar tradisional juga semakin melekat image buruk seperti kumuh, banyak
pencopet dan pengemis, timbangan yang tidak cocok, parkiran yang tidak teratur,
dan seterusnya. Pasar tradisional ibarat etalase kemiskinan kota yang ingin
dihindari oleh semua orang kecuali orang miskin. Maka, untuk mengubah kondisi
seperti itu, sebuah langkah inovasi mutlak dibutuhkan. Namun pertanyaannya,
bagaimana menginovasi pasar tradisional?
Dengan menggunakan teknik combination atau task unification, saya berpikir bahwa menggabungkan aktivitas
perdagangan dengan pelestarian lingkungan hidup adalah sebuah inovasi. Jadilah
konsep “pasar tradisional yang ramah lingkungan”, yakni melalui penanaman pepohonan
di dalam maupun disekitar pasar tersebut. Kemudian saya lakukan lagi kombinasi dengan
upaya melestarikan warisan budaya dan nilai-nilai luhur nenek moyang, sehingga
jadilah konsep “pasar tradisional yang ramah lingkungan dengan kandungan
kearifan lokal”. Caranya adalah dengan menanam pohon Waru. Mengapa harus pohon
Waru?
Pertama,
pasar dan Waru adalah konsep kearifan lokal yang melekat pada masyarakat di
Indonesia (terutama Jawa) sejak masa lalu. Dengan adanya Waru ini, maka wajah
pasar menjadi lebih sejuk dan teduh, bisa menjadi tempat berteduh, serta
menghasilkan oksigen dan dapat mengurangi polusi. Kedua, Dengan banyaknya pohon Waru, maka pedagang dapat
memanfaatkan daun Waru sebagai pembungkus belanjaan menggantikan
kantong-kantong plastik. Hal ini akan menekan penggunaan plastik yang
membahayakan lingkungan karena tidak bisa diurai. Nah, dengan mempertahankan
kearifan lokal seperti ini, maka pasar akan sangat potensial untuk dikembangkan
menjadi "Traditional Market Tourism".
Yang dibutuhkan kemudian adalah upaya pemerintah daerah untuk menciptakan
kampanye "Belanja ke Pasar" karena pasar bukan hanya potensi ekonomi
bagi Pemda, namun juga modal sosial dan kultural yang harus terus dilestarikan.
Dari proses berpikir diatas, lantas muncul
pengetahuan baru dalam diri saya bahwa setiap kebijakan yang berpihak pada
pelestarian lingkungan, adalah inovasi dalam lapangan administrasi negara. Demikian pula, setiap kebijakan yang memperkuat local wisdom, adalah sebuah inovasi. inilah template
atau pola yang bisa digunakan untuk menciptakan inovasi di bidang-bidang yang
berbeda. Sebagai contoh, sekolah yang ramah lingkungan, atau gedung-gedung
pemerintah yang penuh dengan penghijauan, atau puskesmas dan gudang-gudang yang
mengintegrasikan dengan semangat pelestarian lingkungan, adalah inovasi.
Demikian pula, industri kerajinan, pengelolaan obyek wisata, maupun penggunaan
simbol-simbol budaya lokal (wayang, batik, seni tradisional) dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan tertentu, adalah inovasi.
Dengan beranalogi pada kedua bentuk template tadi, maka yang perlu dilakukan
adalah menemukan sebanyak mungkin template
agar dapat digunakan untuk merancang inovasi sebanyak mungkin juga. Beberapa template yang mungkin dapat
dipertimbangkan antara lain: segala sesuatu yang ramah anak dan ramah pengguna
(children and user friendly), segala
sesuatu yang menghilangkan fragmentasi dan menyatukan sistem yang bertentangan
menjadi satu (integrasi sistem), segala sesuatu yang mempercepat proses
tertentu melalui pemanfaatan teknologi informasi, dan seterusnya.
Tentu saja, template
ini hanya alat bantu terhadap keterbatasan otak manusia. Namun sepanjang
otak kita bisa diajak kompromi untuk melakukan aktivitas pikir dengan kecepatan
diatas kecepatan suara, maka berpikir diluar kotak (tanpa template) akan selalu lebih unik dan mengejutkan. Minimal, untuk
tahap awal, inovasi berdasarkan template akan
sangat membantu melahirkan ide-ide kreatif. Dan bagi saya, berinovasi dengan template ini masih lebih tinggi derajat analisisnya
dibanding berinovasi dengan teknik adopsi.
Jakarta, 9 Desember 2014
*di ruang kerja setelah vakum lama tidak
menulis karena disertasi dan darah tinggi”