Selasa, 09 Desember 2014

Berpikir Dengan Template Sebagai Teknik Inovasi

Terus terang, saat saya menyelesaikan tulisan berjudul “Teruslah Berpikir Dalam Kotak”, masih ada sedikit keraguan bahwa kita bisa mengembangkan inovasi dengan menggunakan pola yang baku, atau sebuah template. Saya masih terpengaruh oleh gencarnya wacana untuk berpikir secara bebas tanpa dikekang oleh pola-pola tertentu. Memang, sebuah pola sering kali menjadikan seseorang kehilangan kadar kreativitasnya, karena yang dilakukan hanyalah sekedar mengikuti pola yang ada. Coba lihat seorang mahasiswa yang menulis skripsi, apapun yang dilakukan hanyalah mengikuti petunjuk yang ada dalam buku pedoman penulisan skripsi, sehingga metodologi dan sistematika penulisannya menjadi begitu seragam dan kurang menunjukkan keragaman cara berpikir dan cara menyelesaikan permasalahan.

Namun seiring dengan perjalanan pemikiran saya untuk menemukan dan mengembangkan model-model inovasi, tanpa sengaja saya justru menjurus kepada perlunya penggunaan template untuk mempermudah melakukan inovasi. Saya baru bisa membenarkan pernyataan Boyd dan Goldenberg dalam bukunya “Inside the Box: The Creative Method that Works for Everyone” (London: Profile Books, 2014), yang menyatakan bahwa penggunaan template dapat menuntun kita pada hasil yang tidak biasa, bahkan mengejutkan.

Awalnya saya memikirkan cara melakukan inovasi terhadap pasar tradisional. Pasar tradisional saat ini semakin terpinggirkan dan kalah bersaing dengan mal-mal atau mini-market seperti Indomaret atau Alfamart. Pasar tradisional juga semakin melekat image buruk seperti kumuh, banyak pencopet dan pengemis, timbangan yang tidak cocok, parkiran yang tidak teratur, dan seterusnya. Pasar tradisional ibarat etalase kemiskinan kota yang ingin dihindari oleh semua orang kecuali orang miskin. Maka, untuk mengubah kondisi seperti itu, sebuah langkah inovasi mutlak dibutuhkan. Namun pertanyaannya, bagaimana menginovasi pasar tradisional?

Dengan menggunakan teknik combination atau task unification, saya berpikir bahwa menggabungkan aktivitas perdagangan dengan pelestarian lingkungan hidup adalah sebuah inovasi. Jadilah konsep “pasar tradisional yang ramah lingkungan”, yakni melalui penanaman pepohonan di dalam maupun disekitar pasar tersebut. Kemudian saya lakukan lagi kombinasi dengan upaya melestarikan warisan budaya dan nilai-nilai luhur nenek moyang, sehingga jadilah konsep “pasar tradisional yang ramah lingkungan dengan kandungan kearifan lokal”. Caranya adalah dengan menanam pohon Waru. Mengapa harus pohon Waru?

Pertama, pasar dan Waru adalah konsep kearifan lokal yang melekat pada masyarakat di Indonesia (terutama Jawa) sejak masa lalu. Dengan adanya Waru ini, maka wajah pasar menjadi lebih sejuk dan teduh, bisa menjadi tempat berteduh, serta menghasilkan oksigen dan dapat mengurangi polusi. Kedua, Dengan banyaknya pohon Waru, maka pedagang dapat memanfaatkan daun Waru sebagai pembungkus belanjaan menggantikan kantong-kantong plastik. Hal ini akan menekan penggunaan plastik yang membahayakan lingkungan karena tidak bisa diurai. Nah, dengan mempertahankan kearifan lokal seperti ini, maka pasar akan sangat potensial untuk dikembangkan menjadi "Traditional Market Tourism". Yang dibutuhkan kemudian adalah upaya pemerintah daerah untuk menciptakan kampanye "Belanja ke Pasar" karena pasar bukan hanya potensi ekonomi bagi Pemda, namun juga modal sosial dan kultural yang harus terus dilestarikan.

Dari proses berpikir diatas, lantas muncul pengetahuan baru dalam diri saya bahwa setiap kebijakan yang berpihak pada pelestarian lingkungan, adalah inovasi dalam lapangan administrasi negara. Demikian pula, setiap kebijakan yang memperkuat local wisdom, adalah sebuah inovasi. inilah template atau pola yang bisa digunakan untuk menciptakan inovasi di bidang-bidang yang berbeda. Sebagai contoh, sekolah yang ramah lingkungan, atau gedung-gedung pemerintah yang penuh dengan penghijauan, atau puskesmas dan gudang-gudang yang mengintegrasikan dengan semangat pelestarian lingkungan, adalah inovasi. Demikian pula, industri kerajinan, pengelolaan obyek wisata, maupun penggunaan simbol-simbol budaya lokal (wayang, batik, seni tradisional) dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tertentu, adalah inovasi.

Dengan beranalogi pada kedua bentuk template tadi, maka yang perlu dilakukan adalah menemukan sebanyak mungkin template agar dapat digunakan untuk merancang inovasi sebanyak mungkin juga. Beberapa template yang mungkin dapat dipertimbangkan antara lain: segala sesuatu yang ramah anak dan ramah pengguna (children and user friendly), segala sesuatu yang menghilangkan fragmentasi dan menyatukan sistem yang bertentangan menjadi satu (integrasi sistem), segala sesuatu yang mempercepat proses tertentu melalui pemanfaatan teknologi informasi, dan seterusnya.

Tentu saja, template ini hanya alat bantu terhadap keterbatasan otak manusia. Namun sepanjang otak kita bisa diajak kompromi untuk melakukan aktivitas pikir dengan kecepatan diatas kecepatan suara, maka berpikir diluar kotak (tanpa template) akan selalu lebih unik dan mengejutkan. Minimal, untuk tahap awal, inovasi berdasarkan template akan sangat membantu melahirkan ide-ide kreatif. Dan bagi saya, berinovasi dengan template ini masih lebih tinggi derajat analisisnya dibanding berinovasi dengan teknik adopsi.

Jakarta, 9 Desember 2014

*di ruang kerja setelah vakum lama tidak menulis karena disertasi dan darah tinggi”

Tidak ada komentar: