Jika ditanya
apa hubungan antara inovasi dengan reformasi birokasi, jawabannya justru
munculnya pertanyaan-pertanyaan baru. Bukankah reformasi itu adalah juga sebuah
inovasi? Apakah kita masih harus berinovasi pada saat yang sama kita sedang
melakukan reformasi? Jika ya, dalam hal apa kita dapat berinovasi dan dalam hal
apa reformasi perlu dijalankan? Apa yang membedakan inovasi dari reformasi,
atau sebaliknya? Mungkin masih banyak lagi pertanyaan yang bisa diajukan untuk
“menjawab” pertanyaan dasar diatas.
Saya pribadi
berpendapat bahwa perbedaan bahwa perbedaan istilah “reformai” dan inovasi”
sudah menunjukkan adanya perbedaan konsep dan makna keduanya. Oleh karena itu,
meskipun dalam sebuah reformasi terkandung adanya unsur inovasi, bukan berarti
tidak ada lagi ruang-ruang inovasi dalam kebijakan dan program reformasi.
Keduanya memang berbeda, namun memiliki filosofi yang sama untuk mendorong
perubahan dan pembaruan dalam sistem organisasi dimana kita berada. Inovasi dan
reformasi bisa saling melengkapi, saling membutuhkan, dan saling menguntungkan.
Tanpa adanya inovasi, reformasi akan terasa kering, kaku, dan terlalu formal, tidak
memiliki sentuhan seni dan kreativitas. Sebaliknya tanpa program reformasi
(birokrasi) yang terstruktur, inovasi menjadi kurang bertenaga karena tidak
didukung oleh kerangka kebijakan yang kuat.
Reformasi birokrasi (RB) sendiri adalah
program nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden No. 81/2010 tentang
Grand Design Reformasi Birokrasi. Sebagai sebuah program nasional, RB telah
memiliki skema pencapaian lima tahunan yang jelas (roadmap), area perubahan yang definitive, serta target yang-target
yang terukur. Dalam panjang panjang, RB ditargetkan dapat mewujudkan birokrasi
kelas dunia (world class bureaucracy),
sedangkan dalam kurun waktu lima tahun pertama semenjak Perpres diundangkan
(2010-2014), paling tidak ada tiga target besar yang harus dicapai, yakni
pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, peningkatan kualitas pelayanan publik,
serta peningkatan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Ketiga target
tersebut kemudian dirinci dalam satuan target yang lebih spesifik. Sayangnya,
hingga akhir periode roadmap 2010-2014
hampir semua target tidak tercapai, terutama target yang merupakan dampak dari
pelaksanaan RB, seperti Indeks Persepsi Korupsi, peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business), efektivitas
pemerintahan (government effectiveness
index), dan integritas pelayanan publik.
Kalaupun ada peningkatan pada indikator
daya saing (competitiveness index)
Indonesia atau indikator lainnya, tidak berarti ada perbaikan langsung dalam
masyarakat. Hal ini dikatakan oleh Wakil Ketua KADIN, Bambang Sujagad, bahwa kenaikan
peringkat daya saing Indonesia tidak mencerminkan realitas, karena kalangan
pengusaha di Indonesia tidak merasakan
perbaikan kualitas layanan pendukung industri dan perdagangan. RB
nampaknya masih lebih banyak dinikmati hasilnya oleh kalangan dalam atau para
PNS, yang diindikasikan dari besarnya ongkos untuk membayar belanja pegawai.
Gejala high cost bureaucracy ini bisa
dilihat dari proporsi belanja pegawai terhadap total APBD di 20 provinsi yang
lebih dari 50 persen. Sebaliknya, rasio belanja modal terhadap APBD di 21
provinsi rata-rata dibawah 25 persen, yang menyiratkan lemahnya fungsi
investasi di sektor publik.
Dengan demikian, meskipun RB telah
membawa perubahan terhadap pelayanan publik, namun kurang signifikan. Dalam hal
ini, harus disadari bahwa RB saja tidak cukup ampuh untuk mencapai
target-target besar yang telah ditetapkan. Mau tidak mau, harus ada “variabel”
lain yang harus didorong untuk dapat mengakselerasi RB, yakni inovasi.
Nah, cara kerja inovasi ini agak berbeda
dibanding kakaknya yang bernama reformasi. Jika reformasi telah memiliki delapan
area perubahan yang telah ditentukan, maka inovasi dapat terjadi di seluruh
aspek atau dimensi organisasi. Jika reformasi memiliki pedoman yang baku dengan
format-format yang cenderung kaku di setiap areanya, maka inovasi memberi
keleluasaan kepada setiap orang dan setiap instansi untuk melakukan perbaikan
sesuai dengan ide-ide kreatifnya. Jika reformasi hanya terjadi di dan untuk
instansi tertentu, maka inovasi menghendaki adanya replikasi sebuah inovasi ke
berbagai instansi lain. Sebagai contoh, jika instansi A memiliki keunggulan
atau best practice dalam bidang
pengelolaan informasi, maka keunggulan ini hendaknya bisa dikloning dan
ditanamkan ke instansi B hingga Z. Demikian pula, jika instansi C memiliki
inovasi tentang pelayanan, misalnya, maka seluruh instansi yang lain seyogyanya
tinggal mengadopsi untuk instansinya masing-masing. Dengan demikian, energi
instansi dapat dihemat untuk fokus memikirkan dan menggulirkan inovasi
tertentu, sementara inovasi dalam bidang lain cukup dilakukan dengan cara memodifikasi
dari inovasi instansi lainnya. Artinya, inovasi (begitu pula reformasi)
semestinya tidak selalu harus dimulai dari awal atau dari nol, sehingga proses
perubahan dapat berjalan dengan jauh lebih cepat, sementara manfaatnya lebih
luas bisa dirasakan orang banyak.
Mumpung
saat
ini pemerintah mulai memikirkan penyusunan roadmap
RB 2015-2019, alangkah baiknya jika spirit inovasi bisa dimasukkan sebagai pendongkrak
(leverage) reformasi agar lebih gesit
jalannya. Dalam hal ini, ketentuan yang kaku dan cenderung menghambat
kreativitas sebaiknya ditiadakan. Ruang-ruang inovasi atau area perubahan lebih
baik dibuka selebar-lebarnya sesuai kebutuhan instansi yang akan menjalankan
reformasi. Bentuk dokumen dan cara dokumentasi proses perubahan-pun tidak perlu
dibuah secara sama dalam bentuk template.
Proses monitoring dan evaluasipun sebaiknya tidak diseragamkan.
Reformasi yang memberi keleluasaan untuk
berkreasi itu sangat penting sebab esensi reformasi adalah perbaikan dan
pembaharuan. Oleh karena itu, jangan sampai ada inisiatif dan gagasan yang
brilian namun gagal berkembang karena terbentur aturan-aturan formal dan
artifisial. Pendekatan top down dalam
reformasi sudah saatnya diubah menajdi pendekatan bottom up. Kita harus belajar dari pengalaman lima tahun ke
belakang, dimana reformasi substansial terkerdilkan oleh reformasi dokumentasi
belaka. Betapa banyak dokumen RB sudah disiapkan dan betapa besar energi
(terutama biaya) yang dikeluarkan untuk menghasilkan berbagai dokumen tadi,
namun belum ada dampak singnifikan yang dirasakan oleh masyarakat.
Dengan demikian, reformasi tetaplah
sebuah kewajiban bagi setiap pegawai maupun instansi pemerintah, namun tidak
dilakukan dengan cara yang sama, format yang sama, tahapan yang sama, area yang
sama, ataupun hasil yang sama. Reformasi hanya akan menjadi proses yang
memenuhi harapan kita semua jika dilakukan secara kreatif dan inovatif. Penyeragaman
dalam format, tahapan, area, hasil atau dalam aspek lainnya hanya akan
mematikan inovasi, yang pada gilirannya akan memperlemah reformasi itu sendiri.
Inovasi adalah ruh dan bahan bakar untuk reformasi. Semakin murni dan bertenaga
ruh itu, serta semakin banyak bakar itu, maka akan semakin kencanglah
reformasi.
Jakarta, 8 September 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar