Segera setelah menjabat sebagai Kepala
LAN, pak Agus Dwiyanto melakukan sebuah inisiatif yang unique dan original yakni
melarang siapapun pegawai LAN memanggilnya “bapak Kepala LAN”. Beliau
mengatakan bahwa orang tuanya memberikan nama kepadanya “Agus Dwiyanto”,
sehingga dengan nama itu pulalah kami harus memanggilnya. Di awal-awal
kebijaksanaan beliau tadi, saya dan beberapa teman lain merasa kikuk atau kagok, karena menyebut jabatan seseorang itu dalam budaya birokrasi
selama ini sama artinya dengan menunjukkan rasa hormat dan menempatkan orang
tadi pada proporsinya. Tidak ada yang salah atau berlebihan memanggil “bapak
Menteri”, “bapak Deputi”, “bapak Direktur”, “bapak Karo”, dan seterusnya.
Rasa kikuk
atau kagok tadi muncul karena ada
perasaan takut bahwa memanggil nama asli akan terkesan menurunkan kewibawaan
jabatan. Namun uniknya lagi, pak Agus Dwiyanto tidak pernah merasakan wibawanya
merosot hanya karena stafnya memanggil beliau dengan nama aslinya. Bahkan
beliau memberlakukan denda, bagi siapapun yang lupa dan tetap memanggil beliau
dengan “bapak Kepala”, akan didenda Rp 50 ribu untuk sekali salah ucap. Waktu
itu, terkumpul hampir Rp 4 juta rupiah, yang berarti ada sekitar 80 kali salah
ucap dari para pegawai LAN.
Sekarang, setelah memanggil nama menjadi
kebiasaan, justru menjadi kikuk atau kagok ketika kita masih memanggil dengan
jabatan. Sekarang, tanpa perlu ada ancaman denda, tidak ada lagi pegawai yang
keliru memanggil seseorang dengan jabatannya, apakah itu Kepala LAN, Sestama,
Deputi, hingga Kepala Bagian. Artinya, “denda” tadi telah menjadi sarana
berlangsungnya perubahan budaya kerja dalam organisasi. Tanpa sadar, tradisi
kita memanggil orang dengan jabatannya selama ini telah melanggengkan budaya birokrasi
patrimonial yang menempatkan pimpinan sebagai orang mulia yang tidak pernah
salah, yang harus selalu diiyakan, serta berada di singgasana atau maqom yang terpisah dari para
bawahannya. Budaya paternalistik tadi telah membentuk birokrasi menjadi ladang
subur berkembangnya feodalisme yang anti demokrasi. Kesejajaran
pimpinan-bawahan menjadi barang mahal, sementara
diskriminasi dalam fasilitas dan hal-hal lain menjadi pemandangan biasa.
Kreativitas dan inovasi staf menjadi mandeg, sementara kinerja organisasi juga
stagnan karena segala sesuatu harus menunggu titah, dhawuh, instruksi, pentunjuk, dan arahan sang pemimpin.
Tentu, petunjuk atau instruksi itu masih
tetap dibutuhkan bagi staf agar dapat menjalankan tugas sejalan dengan visi
pimpinan. Namun ruang kebebasan yang dibuka lebih lebar dan pemberian
kepercayaan yang lebih besar, akan mampu mendorong iklim kerja yang lebih sehat
dan kompetitif. Saya pribadi memiliki pengalaman yang sangat berkesan soal
“arahan” ini. Ketika saya menerima disposisi pak Agus untuk mewakili beliau
memberi ceramah di Diklat Intelstrat BIN untuk materi Sistem Manajemen
Nasional, saya merasa wajib memohon arahan beliau agar tidak salah arah.
Ternyata, jawaban beliau sangat mengejutkan dan mencengangkan saya. Beliau
menjawab melalui email sebagai berikut: “Mas
Tri, dalam dunia ilmu pengetahuan tidak ada pimpinan karena pimpinan kita
adalah akal sehat dan kekayaan pengetahuan kita sendiri. Jadi tidak perlu
arahan, hehe … Sampaikan apa yang menurut mas Tri sebaiknya mereka fahami
tentang Sistem Manajemen Nasional”. Meski beliau menyatakan tidak perlu
arahan, tapi statement itu saya
anggap sebagai “arahan”, yakni arahan yang memberi tantangan besar buat saya
untuk tidak mengecewakan kepercayaan beliau. Dan alhamdulillah, hasil evaluasi
penyelenggara atas performa saya menurut salah seorang petugas adalah
memuaskan.
Dari sedikit uraian diatas dapat dilihat
bahwa transformasi kultural dalam sebuah organisasi dapat dilakukan melalui
pelepasan atribut-atribut jabatan (cq. nomenklatur jabatan), memberikan
delegasi tugas dan kepercayaan yang lebih besar kepada bawahan, serta
memperlakukan seseorang sebagai pegawai bukan sebagai pejabat agar terbongkar
sekat-sekat komunikasi dan melahirkan suasana yang lebih egaliter. Nah, untuk
mempercepat proses transformasi itu, penerapan sistem denda terbukti bisa sangat
membantu. Mungkin ada sebagian pegawai yang “terpaksa” memanggil pimpinan dengan
nama asli karena sayang harus membayar denda. Secara konseptual, denda memang
sebuah bentuk “hukuman” untuk menimbulkan rasa malu, takut, dan jera dalam melakukan
sesuatu. Namun secara perlahan, rasa malu dan takut tadi akan berubah menjadi
kebutuhan. Pada saat sudah menjadi kebutuhan, yang muncul justru rasa malu jika
kita masih saja memanggil pimpinan dengan jabatannya, bukan namanya.
Denda sebagai media transformasi budaya
ini juga terjadi dalam banyak kasus, misalnya larangan membuang sampah secara
sembarangan. Konon, Singapura bisa begitu bersih dan penduduknya disiplin untuk
tidak membuang sampah dimana saja, juga didahului oleh sistem penerapan denda
yang mahal dan cenderung memberatkan. Saat kebersihan itu sudah menjadi
kebutuhan, maka menjadi aib yang sangat memalukan bagi seseorang yang berani
membuang sampah di sembarang tempat.
Dengan dasar berpikir seperti iu,
menjadi logis jika pemberlakukan kebijakan sering dibarengi dengan penerapan
denda. Sebut saja di Banyuwangi, instansi yang tidak menyediakan ruang untuk
menyusui dikenakan denda Rp 5 juta. Kebijakan yang nampak sepele ini memiliki reasoning yang sangat fundamental, yakni
menciptakan generasi muda yang cerdas dengan menjamin hak bayi untuk
mendapatkan ASI eksklusif. Faktanya, banyak ibu-ibu yang bekerja terpaksa tidak
bisa memberi ASI eksklusif itu baik karena alasan jarak yang jauh antara rumah
dan temat bekerja, atau karena tidak adanya fasilitas khusus untuk ibu menyusui.
Dengan tersedianya ruang khusus bagi ibu menyusui, berbagai alasan itu bisa
dikurangi.
Masih di Jawa Timur, Kota Kediri memiliki
kebijakan bagi para pria hidung belang yang tidak memakai kondom akan didenda
Rp. 5 juta. Inipun kebijakan yang seperti “mencari-cari masalah”. Padahal,
kalau diselami lebih jauh, kebijakan ini bertujuan mulia yakni agar tidak
terjadi penyebaran / penularan penyakit seksual. Jadi, kebijakan ini bukan
untuk melegalkan perzinahan atau prostitusi. Sambil dilakukan pembinaan bagi
PSK dan penataan lokalisasi, pencegahan atas kemungkinan penularan penyakit
seksual juga harus dilakukan, termasuk dengan ancaman denda agar memiliki
kekuatan lebih besar melalui rasa takut, malu, dan jera.
Sementara di Jakarta yang terkenal
dengan kemacetan parah, mengaggas kebijakan untuk menerapkan denda sebesar Rp
500 ribu bagi pengendara kendaraan yang parkir sembarangan. Perilaku asal
berhenti seenaknya tanpa memikirkan pengguna jalan yang lain, adalah sebuah
kebebalan yang akan diruntuhkan dengan sistem denda tersebut. Demikian pula, di
lingkungan Monumen Nasional ada kebijakan untuk mengenakan denda sebesar Rp 200
ribu bagi pengunjung yang jajan sembarangan. Selain untuk menciptakan
kebersihan, juga untuk mencegah maraknya PKL liar yang tumbuh subur seperti jamur
di musim hujan.
Selain itu, ada juga kebijkan di
berbagai kota yang melarang merokok sembarang, dengan besaran denda bervariasi.
Di Medan, misalnya, orang yang merokok bukan di tempat yang disediakan terancam
denda sebesar Rp 10 juta. Kebijakan inipun tentu punya landasan filosofis yang
jelas, misalnya untuk menciptakan lingkungan yang bersih bebas dari polusi,
mencegah aneka ragam penyakit khususnya bagi perokok pasif, dan membersihkan
wajah kota dari puntung-puntung rokok yang menjijikkan.
Di luar negeri lebih unik lagi. Di China
ada larangan kencing sembarangan yang diancam dengan denda Rp 1 juta, sedangkan
di Sydney ada kebijakan penerapan denda sebesar Rp 5 juta bagi orang yang
memaki orang lain di tempat umum. Bahkan di Australia juga terjadi sebuah kasus
dimana seorang dari perusahaan listrik dituntut denda sebesar Rp 600 juta
karena mengetuk pintu warga yang ada peringatan berbunyi “Dilarang Mengetuk”.
Tanpa adanya denda tadi, maka tujuan
sebuah kebijakan tidak akn tercapai maksimal. Tanpa denda tadi, sebuah
perubahan sangat mungkin tidak akan terjadi, atau terjadi dengan sangat lambat.
Dengan demikian, denda bisa menjadi pemantik perubahan, akselerator
transformasi, dan media inovasi. Tentu saja, penetapan kebijakan tentang denda
tidak boleh dilakukan secara asal-asalan dan tanpa tujuan yang jelas. Namun
sepanjang output perubahan yang ingin diwujudkan konkrit dan terukut, maka
penetapan denda tersebut menjadi sebuah inovasi yang sangat perlu ditiru untuk
diterapkan pada konteks yang berbeda.
Jakarta, 5 September 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar