Saya beruntung mendapat
kesempatan mengikuti konferensi EROPA (Eastern Regional Organization for Public
Administration) di Shanghai, 17-21 Oktober 2015 di Shanghai, China. Beruntung karena
peluang seperti ini belum tentu bisa diperoleh dalam kurun 2-3 tahun. Lebih beruntung
lagi karena momentum konferensi seperti ini selalu membuka wawasan tentang dunia
yang baru, sistem sosial-politik-ekonomi-pemerintahan yang berbeda, praktek
manajemen yang berlainan, dan sebagainya. Meskipun kesan “gado-gado” tidak bisa
terhindarkan, dan meskipun tidak semua presentasi bisa kita ikuti, namun tetap
saja banyak insights baru atau
inspirasi yang bisa dipetik. Diantara banyak kasus yang dipaparkan, saya
menaruh perhatian khusus terhadap geliat China yang begitu progresif. Dari
forum ini saya berharap bisa menemukan kata kunci dari keberhasilan China di
berbagai bidang. Dan meskipun pada akhirnya kata kunci itu tidak saya temukan,
minimal ada sedikit pembelajaran dari negeri raksasa ekonomi dunia ini.
Selama ini, China terkenal
sebagai negeri komunis yang sangat otoriter dan cenderung menutup diti dari
gerakan perubahan, terutama di bidang politik. Demokrasi, kapitalisme, hak
asasi manusia, kebebasan, dan konsep-konsep sejenisnya, merupakan hal yang asing
atau sengaja diasingkan. Masih kita ingat kasus demonstrasi massa di lapangan
Tiananmen tahun 1989 yang berakhir tragis karena
menuntut keran demokrasi yang lebih luas di China.
Namun dalam bidang ekonomi dan
administrasi publik, cukup banyak program reformasi yang telah dijalankan dan memberi
hasil cukup signifikan. Proses transformasi yang telah diinisiasi sejak tiga
dekade ini menurut Gao Xiaoping, Wakil Presiden dan Sekjen Chinese Public
Administration Society (2015) telah menghasilkan 3 (tiga) perubahan besar,
yakni:
1. Pemerintah
menggeser fokusnya dari penyelenggaraan tugas-tugas mikro menjadi manajemen
makro, pelayanan publik, perumusan kebijakan, dan pemeliharaan ketertiban (from micro invention to macro management,
public services, rule formulation, and justice preserving). Implikasi dari perubahan
orientasi ini adalah berkurangnya jumlah persetujuan administratif yang
diberikan, dari 5.000 menjadi hanya 1.000.[1]
2. Kelembagaan
pemerintah juga berubah dari kondisi sebelumnya yang berlebihan jumlah
pegawainya serta saling tumpang tindih, menjadi kelembagaan yang lebih ramping,
terpadu, dan teratur (from overstaffed and redundant to simplified,
integrated, and regulated government
institution). Hasil dari perubahan ini adalah berkurangnya jumlah kementerian
dari 52 menjadi hanya 25 saja.[2]
3. Perilaku
dan budaya kerja pegawai berubah dari sebelumnya tertutup, inefisien, dan tidak
terorganisir dengan baik menjadi lebih tertata, transparan dan efisien (from
disordered, closed, inefficient to well-ordered, transparent, and
highly-efficient). Salah satu wujud perubahan ini adalah
terbentuknya pusat layanan pemerintah sebanyak 3.000 buah, dari sebelumnya
tidak ada sama sekali.[3]
Ada beberapa logika atau dasar
pemikiran dari dilakukan transformasi diatas, diantaranya adalah: 1)
menciptakan hubungan yang lebih baik antara pemerintah, pasar, dan masyarakat
madani; 2) pemerintah yang mengatur pasar, dan pasar yang akan mengelola
perusahaan; 3) pemerintah mengelola organisasi sosial, dan organisasi sosial
itu yang akan mengelola warga masyarakat. Ketiga logika ini mengilustrasikan
bahwa pemerintah China ingin membangun interaksi yang lebih seimbang dan
sinergis antar pilar government,
business/market, dan society.
Selanjutnya, dalam model baru interaksi
antar pilar tadi didorong terciptanya 8 (delapan) prinsip kombinasi untuk
menciptakan keseimbangan, yakni antara keterbukaan dengan efisiensi (balance
between openness and efficiency); antara kepemimpinan CPC (Partai Komunis China) dan pemerintah
dengan elemen lain dalam pengambilan keputusan yang menyangkut urusan publik (combine
the leadership of the Party and the government with participation of multiple
subjects in decision-making on public affairs); antara kebebasan berpikir dan berusaha dengan menjaga kohesi
sosial (combine freeing minds, liberating productive forces, and stimulating
social vitality);
antara desain tingkat tinggi dengan upaya bertahap dari bawah (combine
top-level design with step-by-step advancing); antara reformasi dan pembangunan dengan stabilitas (combine
reform, development, and stability); antara peran pasar, masyarakat
dan kepastian hukum dalam kebijakan alokasi sumber daya dengan fungsi
pemerintah yang semakin baik (combine the decisive role of market, society
and rule by law in resource allocation with better functioning of the
government); antara
kehidupan modern yang bersumber dari sistem hukum dengan nilai-nilai tradisional
yang bersumber dari budaya dan kearifan lokal (combine modern rule by law with
traditional rule by virtue, combine decentralization with strengthening
management); serta
antara manajemen rutin dan manajemen resiko dengan manajemen krisis (combine
routine management, risk management, and crisis management).
Adanya keseimbangan antar nilai
diatas menunjukkan bahwa China sudah mulai terbuka terhadap aneka ragam
perubahan, namun pada saat yang sama mereka ingin mempertahankan keunggulan
yang sudah dimiliki sebelumnya seperti peran pemimpin nasional, stabilitas
politik, nilai-nilai budaya, dan seterusnya. Dengan adanya jaminan bahwa setiap
perubahan harus dalam koridor keseimbangan inilah, maka tidak terjadi gejolak
yang mengganggu proses pembangunan secara umum. Dalam bidang politik, peristiwa
16 tahun lalu di Tiananmen bisa disebut sebagai kerusuhan politik yang terakhir
di China (kecuali kasus provinsi Xinjiang dimana sebagian etnis Uighur ingin
memisahkan diri). Sementara di bidang ekonomi, meski pertumbuhan ekonomi akhir-akhir
mengalami penurunan, namun tidak terjadi depresiasi atas nilai tukar mereka,
tidak muncul inflasi yang tidak terkendali, tidak melonjak angka kemiskinan dan
pengangguran, dan seterusnya. Bahkan, China masih bisa terus melakukan
ekspansinya dalam investasi di luar negeri, termasuk rencana pembangunan
infrastruktur Kereta Api Cepat di Indonesia.
Dari pengalaman China ini saya
melihat bahwa keseimbangan adalah kata kunci dalam manajemen perubahan. Tanpa memperhatikan
kemungkinan munculnya gangguan terhadap keseimbangan, perubahan akan berjalan
secara tidak efektif. Barangkali model rekrutmen terbuka untuk JPT ASN dapat ditunjuk sebagai salah
satu contoh kecil. Tidak dapat disangkal bahwa ini merupakan cara baru yang sangat
ampuh untuk mencari kandidat terbaik dalam mengisi sebuah jabatan tinggi. Cara ini
juga mampu menekan politisasi birokrasi yang selama ini marak di berbagai
daerah atau instansi. Singkatnya, prinsip meritokrasi akan diperkuat melalui open bidding ini. Namun faktanya, tetap
saja banyak pelanggaran yang dilakukan para Kepala Daerah atau para Pejabat
Pembina Kepegawaian di berbagai instansi. Resistensi juga muncul dari para JPT incumbent yang merasa bahwa kader
internal selalu lebih baik dibanding yang berasal dari luar. Selain itu, semakin
hari semakin menguat praduga bahwa pembentukan panitia seleksi dan pelaksanaan
seleksi terbuka ini hanyalah sandiwara belaka, mengingat pemenangnya dengan
mudah sudah dapat diprediksi sejak awal mulainya proses tersebut.
Mengapa hal seperti ini terjadi? Saya
menduga karena kita terlalu fokus pada upaya menghilangkan politisasi untuk
alasan meritokrasi, namun kurang menggarap sisi lain yang amat penting yakni kewenangan
yang melekat pada Pejabat Pembina Kepegawaian, kekompakan antara pimpinan dan
bawahan, serta upaya menumbuhkan kesadaran semua pihak untuk bersama-sama
menjaga prinsip meritokrasi tanpa harus dipaksa-paksa dari luar. Ketika perubahan
terkesan sebagai sesuatu yang sipaksanak dari luar sehingga membuat seseorang
menjadi terpaksa melakukannya, maka dapat dipastikan bahwa perubahan itu
tidaklah sepenuh hati. Maka, menjaga birokrasi yang netral namun kompeten idealnya
tumbuh dari tanggungjawab moral seorang pejabat, bukan karena takut akan teguran
atau ancaman dari lembaga yang secara hukum berwenang melakukan pengawasan.
Kembali ke proses perubahan di
China, administrasi negara memegang peran penting dalam proses transisi dari sistem
sosialis murni yang diajarkan oleh Karl Marx ke sistem yang lebih terbuka, yang
mereka sebut sebagai socialist market
economy, yang dicetuskan pertama kali oleh Deng Xiaoping pada tahun 1992. Menurut
Dong Zhichao (2015), ada empat karakteristik
utama sistem socialist market economy
yang membedakannya dengan sistem sosialis murni, yakni:
§ The
socialist market economic system is a leap in the ownership structure. private ownership coexist with the main body
of the public ownership as a variety of ownership;
§ The
system of socialist market economy is a leap from fully freedom economy to government macro-control economy;
§ The
socialist market economy is a leap from
equalitarianism of "eating from the
same big pot” to economic efficiency priority, fairness, and gradually move
toward common prosperity;
§ The
socialist market economy is a leap from
the area of protection, administrative monopoly, and isolation to openness and
equal competition.
Masih menurut Zhichao, masa
transisi dari sistem sosialis kepada socialist
market economy tadi membawa implikasi munculnya banyak kontradiksi, bahkan
konflik sosial, misalnya dalam bentuk merebaknya korupsi, semakin tajamnya
kesenjangan antara si kaya dan si miskin, struktur penduduk yang menua (aging population), meningkatnya polusi
lingkungan, dan seterusnya. Dalam rangka menjaga keseimbangan, menjamin
keadilan sosial bagi semua komponen bangsa, dan melanjutkan proses reformasi
itulah, peran administrasi negara menjadi sangat penting. Adapun bentuk nyata reformasi
administrasi yang dilakukan antara lain meliputi: desentralisasi yang lebih
luas kepada daerah, reformasi perusahaan milik negara, pemberlakuan kawasan
perdagangan bebas, serta pembentukan zona pembangunan ekonomi regional (Zhichao,
2015)[4]. Sejalan
dengan pemikiran Zhichao, Zhiyong Lan
(2015) juga menyebutkan bahwa saat ini pemerinrah China terus mendorong
kebijakan open door dengan memperkuat
kerjasama dengan WTO atau negara-negara OECD, memperbaiki kebijakan bidang
keuangan dan ketenagakerjaan, serta meningkatkan reformasi perijinan
administratif dengan memberi ruang dan peran yang lebih besar kepada swasta
melalui skema public-private partnership.
Beragam
langkah reformasi tadi semakin kokoh semenjak Xi Jinping terpilih sebagai
Sekjen PKC (Partai Komunis China) pada bulan November 2012, dan selanjutnya terpilih
menjadi Presiden China menggantikan Hu Jintao pada bulan Maret 2013. Pada pidato
pertamanya selaku Sekjen PKC, Jinping bertekad untuk mewujudkan the great renaissance of the Chinese nation.
Dia memperkenalkan semboyan baru yakni Chinese
Dream, sebuah visi untuk membangun bangsa China yang lebih kuat dengan
berbasis pada the Chinese path, the Chinese spirit, dan the Chinese strength. Selain itu,
Jinping bertekad mengangkat kaum miskin menjadi kaum menengah yang
benar-benar merasakan dampak positif perkembangan ekonomi China.
Untuk
mewujudkan janjinya tersebut, Xi Jinping fokus pada upaya memberantas perilaku
tidak pantas seperti korupsi, menerima suap, tidak melayani rakyat dengan baik,
dan memberi porsi berlebih untuk hal-hal yang sifatnya formalitas dan
birokratis. Jinping juga bersumpah untuk menindak pemborosan (extravagance) dan korupsi dari level “macan”
hingga “lalat”. Dia juga melakukan prombakan kabinet, antara lain penghapusan
Kementrian Perkeretaapian dan menggabungkan dua badan regulasi media cetak dan
televisi menjadi satu regulator media super, serta menggabungkan Kementerian
Kesehatan dengan komisi yang mengurusi kebijakan satu anak. Artinya,
janjinya untuk menekan pemborosan dan meningkatkan efisiensi birokrasi
dilaksanakan dengan konsisten. Dengan komitmen yang luar biasa dari
pimpinan negara, China terus tumbuh menjadi raksasa ekonomi dunia. GDP terus
meningkat secara signifikan setiap tahun, bahkan diramalkan dalam waktu dekat China
akan menggeser Amerika Serikat (AS) dan Eropa sebagai pusat ekonomi dunia.
Paparan
singkat diatas diharapkan dapat menjadi pembanding atas proses perubahan
kebijakan strategis yang terjadi di Indonesia dan peran peran administrasi
negara dalam mengawal perubahan besar tersebut.
Shanghai, 22 Oktober 2015.
[1] Tidak
ada informasi lebih rinci terkait jenis perijinan/persetujuan yang diberikan,
institusi baru yang menangani perijinan tersebut seiring dengan beralihnya
fokus pemerintah beserta evaluasi kinerjanya, dan seterusnya.
[2] Sebagaimana
point sebelumnya, dalam hal kelembagaan juga tidak ada data yang lebih terinci
tentang kapan perubahan itu terjadi, apakah terjadi secara bertahap ataukah
serentak, kementerian apa saja yang dihapus/dilebur, instansi apa yang melaksanakan
fungsi kementerian yang dihapus/dilebur, dan seterusnya.
[3]
Terhadap
perubahan inipun tidak ditemukan data pendukung yang lebih konkrit tentang distribusi
3.000 pusat layanan baik secara geografis maupun berdasarkan jenis layanannya.
[4] Tulisan
ini tidak mengelaborasi tentang keempat bentuk reformasi administrasi diatas
karena ketiadaan referensi yang memadai.