China, siapa yang tidak
mengaguminya? China boleh dikata sebagai fenomena paling menonjol abad ini. Hal
ini bukan hanya karena warisan leluhurnya yang sangat dahsyat seperti tembok
besar (the great wall) atau perguruan
Shaolin yang melahirkan
pendekar-pendekar Kung-fu kelas wahid. Bukan pula hanya karena kehebatannya di
dunia olahraga yang selalu mendominasi semua cabang mulai level Asian Games
hingga Olimpiade. Lebih dari lagi semua, China hebat karena kemampuannya
mengelola negara, sehingga meskipun memiliki beban teramat besar berupa jumlah
penduduk yang lebih dari 1 milyar jiwa, tidak menjadikan negeri ini mengalami
ketergantungan pasokan bahan pangan dari luar negeri. Pendapatan perkapita yang
mencapai 30 ribu USD dan tingkat kesejahteraan rakyat juga jauh lebih tinggi
dibanding banyak negara dengan jumlah penduduk yang hanya seperempat atau
bahkan sepersepuluh penduduk China. Kawasan pantai timur China juga tumbuh
menjadi kawasan-kawasan termodern di dunia seperti Shanghai, Beijing, Guangzhou,
dan yang lainnya, yang ditandai dengan munculnya ratusan gedung pencakar langit
baru.
Nah, ketika saya mendapat
kesempatan berkunjung untuk pertama kalinya ke China daratan, tepatnya
Shanghai, saya merasa begitu antusias. Mengunjungi China adalah salah satu
obsesi bawah sadar saya selama ini, yang terstimulasi oleh setting berpikir sebagaimana saya gambarkan diatas. Saya
membayangkan bahwa saya akan mengalami proses mutasi ke dunia baru yang tidak
terbayangkan sebelumnya, yang serba mencengangkan, yang tidak akan saya
lewatkan untuk menikmatinya meski sekejap mata sekalipun.
Walaupun saya akui bahwa
infrastruktur perkotaan sangat maju, namun ekspektasi saya terhadap negeri ini
nampaknya terlalu tinggi. Sejak hari pertamapun, sudah banyak peristiwa yang
meruntuhkan mimpi-mimpi indah saya tentang negeri tirai bambu ini. Saat saya check-in di hotel, misalnya, begitu saya
masuk ke kamar, ternyata kamar itu masih dihuni oleh tamu yang lain. Dalam
kasus seperti itu, wajar seandainya saya dan penghuni kamar itu marah dan
komplain kepada manajemen hotel. Namun saya tidak protes sedikitpun, hanya
meminta kamar baru, namun kesan pertama saya menjadi sangat berubah tentang
China. Bukannya saya bermutasi ke dunia dongeng yang penuh dengan fantasi, yang
saya alami justru peristiwa yang di negara belum berkembangpun rasanya tidak
akan pernah terjadi.
Saya mencoba melupakan kejadian
“sepele” ini, dan melanjutkan upaya menikmati Shanghai apa adanya. Waktu saya
masuk kamar hotel untuk pertama kali, saya senang karena setiap kamar
dilengkapi dengan personal computer,
yang tersambung ke internet. Saya pikir, inilah cara mereka melayani tamu untuk
mengakses internet, karena memang mereka tidak menyediakan fasilitas wi-fi di kamar. Namun ketika saya mulai
menggunakan PC tersebut, ternyata banyak sekali situs yang tidak bisa diakses,
terutama media sosial. Jika di Indonesia atau negara lain ada jutaan pengguna
Google, Facebook, Twitter, Slideshare, Youtube, atau Academia, maka semua itu
tidak dikenal disini karena diblok oleh otoritas negara. Mesin pencari yang
disediakan adalah Baidu (www.baidu.com),
yang ketika saya masukkan frasa “strategic
management”, misalnya, 90% item yang muncul adalah informasi/sumber
berbahasa China. Kebiasaan mengunduh film pendek di Youtube, atau mengeksplor
artikel/jurnal ilmiah melalui Google, atau mencari bahan paparan / paper di
Slideshare/Academia sebagai referensi menyusun bahan ajar, secara serta-merta tidak
dapat dilakukan disini. Demikian pula, aplikasi Line di smart-phone tidak
bisa dipakai di China, hanya Whatsapp yang
tersedia. Entahlah, apa kesalahan Lee Hae Jin, pendiri/pembuat Line sehingga diperlakukan secara
diskriminatif dibanding Jan Koum, penemu Whatsapp?
Semua itu sempat membuat saya mengalami
perasaan kembali ke “jaman batu”, dimana keberadaan seseorang atau suatu bangsa
dipisahkan secara tegas oleh batas-batas teritorial. Konsep borderless world yang sering saya
dengar, sepertinya tidak terlalu cocok di China. Saya merasa terputus dari
dunia luar. Kebutuhan saya tentang informasi tidak dapat terpenuhi secara bebas,
karena tertutupnya media belajar melalui internet. Pastilah pemerintah China
memiliki alasan mengapa mereka menutup akses terhadap beberapa situs internet
tadi. Hanya saja, saya berpikir lain. Seandainya Google, Slideshare, Youtube, atau
Academia diperkenankan, bukankah akan terjadi efek pembelajaran yang luar biasa
bagi rakyat China? Bukankah instansi pemerintah juga lebih mudah berinteraksi
langsung dengan masyarakat yang dilayaninya dengan menggunakan media sosial
tadi? Memang tidak semua orang akan memanfaatkan untuk hal-hal positif, namun
kemungkinan buruk seperti itu mestinya tidak menutup kesempatan bagi
kemanfaatan yang lebih besar. Fungsi regulasi pemerintah dalam hal ini akan
lebih indah jika tidak diarahkan dalam bentuk pelarangan (prohibition), namun lebih pada pembatasan (limitation). Gara-gara saya tidak bisa mengakses Google, Slideshare
dan Youtube, dengan terpaksa saya harus menolak permintaan mengajar Strategic Management bagi pejabat Eselon
I dan II Kementerian Perdagangan Pemerintah Timor Leste.
Observasi saya masih terus
berlanjut tentang negeri ini. Ketika saya mengambil master di Jepang tahun
2002-2004 yang lalu, ada stigmatisasi untuk orang China dan Indonesia sebagai
bangsa yang suka membuang sampah sembarangan. Dengan modal positive thinking, saya membuang jauh-jauh stigma itu saat datang
di Shanghai. Sayangnya, saya harus membenarkan stigma yang saya dengar sejak 13
tahun yang lalu. Baik di lingkungan kampus maupun di jalan-jalan raya, bukan
sekali dua kali saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, begitu mudahnya
orang membuat puntung rokok atau sampah-sampah kecil. Saya yang orang asing-pun
menyayangkan tindakan mereka, namun mereka malah tidak sayang dengan kotanya
yang begitu modern. Tidak sampai disitu, saya juga kerap merasa jengah dengan
bau asap rokok dimana-mana. Semenjak keluar bandara, lorong-lorong pertokoan,
hingga di loby hotel, saya sering terperangkap dalam asap rokok. Bahkan, saya
hampir pingsan ketika masuk lift di lantai 1 yang begitu pekat dengan bau asap
rokok, sementara saya akan menuju ke kamar saya di lantai 17. Bayangkan, dari
lantai 1 hingga 17 itu saya mencoba menahan nafas dan menutupi hidung dengan
lengan baju saya. Sungguh ini pengalaman paling mengerikan yang saya temui di
China, dan belum pernah saya temui di belahan planet bumi yang lain.
Satu lagi yang membuat saya tidak
suka pada pengalaman pertama di China adalah soal taksi. Perilaku sopir taksi
yang kami naiki di Shanghai mirip sekali dengan sopir angkot di Indonesia yang
mengejar setoran. Mereka tidak menjaga jarak aman dengan kendaraan di depannya,
memotong jalur tanpa malu-malu, sesukanya membunyikan klakson meski tahu
jalanan macet, dan tidak ada ramahnya sedikitpun kepada penumpang. Meskipun
baru naik taksi 2 kali sampai saat tulisan ini saya buat, namun kesan taksi
ugal-ugalan sulit sekali saya hindari. Mungkin saja hal seperti ini sudah
menjadi sesuatu yang biasa disini, namun bagi saya hal seperti ini dapat
merusak citra bangsa China. Untungnya, para sopir taksi disini tidak suka
berputar-putar agar tarifnya membengkak. Meskipun tidak nyaman karena perilaku
yang kurang bersahabat dan karena kendala bahasa, minimal kita yakin bahwa para
sopir taksi di China tidak suka ngibulin penumpangnya.
Itulah beberapa pengalaman
pertama yang saya temui pada kunjungan pertama saya di China. Ternyata, negeri
sendiri selalu lebih indah dan lebih enak untuk dinikmati. Saya berharap bahwa
kejadian atau pengalaman yang saya dapatkan di kunjungan pertama di Shanghai
ini hanyalah sebuah kebetulan semata, dan bukan cerminan budaya bangsa China
secara utuh. Saya berharap, ketika suatu hari kelak saya berkunjung lagi ke
China, bukan pengalaman ini yang saya dapatkan kembali, melainkan China yang
ada dalam alam mimpi dan fantasi saya selama ini. Meskipun saya tahu bahwa the world is not perfect, tidak ada
salahnya untuk terus memelihara mimpi dan fantasi. Ketika kita menemukan fakta
yang bertolak belakang denagn mimpi kita, yang harus kita lakukan begitu
sederhana: rajutlah mimpi baru. Tidak perlu kecewa ketika realita berkata lain.
Mimpi itu butuh keberanian, maka jangan pernah takut untuk terus bermimpi
indah. Ke China lagi? Siapa takut, hehehe … :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar