Tulisan ini sebenarnya saya
siapkan sebagai pidato lisan pada kegiatan launching
rencana inovasi di Kabupaten Pakpak Bharat, tanggal 11 Oktober 2016.
Estimasi waktu yang dialokasikan cukup lama yakni setengah jam, mulai jam
10.00-10.30 wib. Namun karena bupati ada rapat penting dengan Forkompimda
terkait persiapan Pilkades serentak bulan depan, acara baru bisa dimulai pada
pukul 13.00 wib, sementara paling lambat pukul 14.00 wib saya sudah harus
mengejar pesawat pukul 20.00 wib. Maka, saya hanya memberi sambutan tidak lebih
dari lima menit saja, sedangkan pointers yang
sudah saya siapkan menjadi sia-sia. Nah … agar tidak menjadi sia-sia,
“terpaksalah” knowledge verbal harus
saya tuangkan dalam bentuk naskah, sehingga pesan-pesan yang ingin saya
sampaikan dapat diterima dengan lebih mudah.
Kesan pertama saya terhadap
Pakpak Bharat adalah daerah yang begitu tenang dan damai, subur makmur, sangat
alami, dan teramat indah. Dari Sidikalang (Ibukota kabupaten Dairi, tempat kami
bermalam) ke Salak (Ibukota Pakpak Bharat), jalanan relatif mulus meski agak
sempit, diapit oleh hutan rimba yang masih perawan. Tidak nampak ada
deforestrasi sama sekali atau aktivitas perusakan hutan. Tidak nampak juga enclave atau pemukiman liar penduduk di
wilayah hutan. Benar-benar sebuah hutan konservasi yang terjaga kelestariannya.
Pikiran saya langsung terkoneksi
dengan dua hal. Pertama, lagu Koes Plus berjudul “Kolam Susu”, yang
mendendangkan syair “Orang bilang tanah
kita tanah surga … Tongkat kayu dan batu jadi tanaman …”. Kedua, semboyan
para pendiri bangsa bahwa Indonesia adalah negeri gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja, ibarat untaian
zamrud di sepanjang khatulistiwa. Kedua hal tersebut, begitu cocok untuk
mendeskripsikan Pakpak Bharat.
Angan saya kemudian melayang
lebih jauh. Saya membayangkan situasi puluhan atau ratusan tahun yang lalu,
siapa dan apa motivasi manusia pertama yang memilih tinggal di daerah ini? Saya
yakin tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan saya ini, bahkan oleh penduduk
aslinya. Oleh karena itu, saya mencari analogi yang paling mendekati dengan
situasi Pakpak Bharat. Analogi saya jatuh pada Alas (hutan) Mentaok, sebuah rimba belantara di tlatah Mataram (sekarang Yogyakarta).
Hutan ini adalah area yang dihadiahkan oleh Sultan Hadiwijaya, Raja Pajang,
kepada Ki Ageng Pemanahan, atas jasanya mengatasi “pemberontakan” Ario
Penangsang. Tanah ini dinamakan tanah Perdikan,
dimana pemiliknya dibebaskan dari kewajiban membayar upeti (baca: pajak bumi)
atas jasanya kepada negara. Pembebasan pajak ini boleh jadi merupakan bentuk
inovasi pada masa pemerintahan kerajaan tempo dulu. Karena tidak perlu membayar
pajak, maka Alas Mentaok itu mengundang minat banyak pendatang untuk tinggal
dan berusaha di daerah tersebut, sehingga lama kelamaan semakin ramai dan
makmur. Dan kita lihat sekarang, Alas
Mentaok telah menjadi kota pelajar, kota budaya, kota wisata, dan juga kota
perdagangan, yakni Kota Yogyakarta.
Alas Mentaok adalah
contoh keberhasilan transformasi dari wilayah hutan menjadi perkotaan modern yang
sarat dengan fasilitas layanan umum. Namun sebaliknya, ada situasi dimana
kota-kota yang sudah relatif maju justru mengalami kemunduran yang sangat
drastis sehingga ditinggalkan oleh penduduknya akibat mis-management atau karena sumber daya yang ada terkuras habis. Contoh
abandoned cities ini antara lain Humberstone
di Chili. Kota ini mencapai masa kemegahan pada periode 1920-1940an karena
kekayaan tambangnya. Namun kota ini sudah tidak berpenghuni pada tahun 1961.
Demikian pula kota Wittenoom di
Australia. Pernah berpenghuni lebih dari 20 ribu jiwa
namun sekarang hanya dihuni oleh beberapa orang saja. Kasus kota Gary, Indiana,
di sisi selatan Chicago, juga bernasib sama. Pada tahun 1906 mengalami kejayaan
terdorong oleh industri baja, namun tahun 1960-an mengalami depresi dan tidak
mampu bangkit lagi hingga sekarang. Masih banyak lagi contoh kota-kota yang
ditinggalkan karena alasan yang berbeda-beda, misalnya kota Ruby di Arizona,
Eerie City of Agdam di Azerbaijan, dan seterusnya (http://weburbanist.com/2008/07/06/20-abandoned-cities-and-towns/, http://www.touropia.com/lost-cities/).
Bagaimana dengan Pakpak Bharat, akankah
kawasan ini menjelma menjadi pusat pertumbuhan dan pusat kemakmuran baru,
ataukah justru akan ditinggalkan setelah sumber daya alam habis tersedot atau
karena salah urus? Keduanya memiliki probabilitas yang sama besar. Dalam hal
ini, faktor yang akan menentukan arah Pakpak Bharat kedepan dan mampu membuat
perbedaan adalah aparaturnya. Akankah aparatur disini mampu berpikir kreatif
dan visioner, didukung kemampuan melakukan terobosan-terobosan dalam manajemen
pemerintahan; ataukah mereka terjebak pada kebiasaan rutin (business as usual), nyaman dalam zona
yang tidak kompetitif (comfort zone),
dan enggan untuk berubah (resistance to
change).
Untuk sementara, dapat ditarik
hipotesa bahwa aparatur di Pakpak Bharat telah memiliki kemauan yang tinggi
untuk menjadikan daerahnya lebih maju dan berkembang, serta memiliki kapasitas
yang cukup baik untuk melakukan terobosan-terobosan dalam manajemen pemerintahan.
Hal ini dapat diamati dari lahirnya 48 rencana inovasi yang diluncurkan, dari
168 ide inovasi yang sempat diverifikasi di tahap sebelumnya.
Banyak diantara 48 rencana
inovasi itu yang bersifat unique dengan
kadar originalitas yang tinggi. Sebagai contoh, Dinas Pendidikan dan Dinas
Kesehatan memiliki inovasi untuk memberdayakan pemuda dalam bentuk inisatif
“Pemuda Pelopor Pembangunan” dan “Bamu Petik” (Barisan Muda Pembasmi Jentik). Meskipun
terkesan sederhana, namun boleh jadi gagasan seperti ini merupakan penjabaran
pidato Bung Karno yang mengatakan “Berikan
aku 10 orang tua, maka akan kupindahkan gunung. Berikan aku 10 anak muda, maka
akan kuguncang dunia”. Maka, gagasan Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan
untuk memberdayakan pemuda atau kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini
kurang optimal kontribusinya bagi daerah, adalah sebuah inovasi. Dinas
Pendidikan masih memiliki ide inovasi yang unique
seperti “One Village One PAUD”, “One
School One Sport Club”, dan “Sweeping Buta Aksara”. Sementara DPPKAD dan Dinas
Kesehatan memiliki orientasi kepublikan yang kuat dengan inovasinya untuk
membalikkan proses pelayanan dari masyarakat mendatangi aparat, menjadi aparat
mendatangi masyarakat. Inovasi mereka adalah “PBB Door to Door” dan “Layanan Laboratorium Keliling”.
Inovasi yang menarik ditunjukkan juga oleh Kantor Perpustakaan, Arsip dan
Dokumentasi melalui inisiatif “Gerakan Pakpak Bharat
Ayo Membaca Selama 30 Menit Setiap Hari” dan
“Pakpak Bharat Sejuta Foto”.
Berbagai inisiatif diatas menunjukkan
kreativitas kebijakan di Pakpak Bharat semakin baik, yang ditopang oleh
aparatur yang inovatif. Namun, itu semua tidaklah cukup. Ada dua hal lagi yang
dibutuhkan. Pertama, memastikan
gagasan dan rencana inovasi tersebut dapat diimplementasikan hingga memberikan
hasil positif berupa kemanfaatan bagi stakeholders.
Kedua, memikirkan dan menemukan
inovasi-inovasi baru yang lebih berbasis pada karakteristik lokal dan
keunggulan komparatif daerah.
Dalam hal ini, saya melihat bahwa
Pakpak Bharat memiliki potensi yang tidak dimiliki banyak daerah. Salah satunya
adalah lokasinya di ketinggian, udara sejuk, dan alam yang bebas polusi. Setiap
pagi saat matahari mulai bersinar, terbentanglah pemandangan yang begitu indah.
Sepanjang mata memandang, kabut yang tebal terlihat disekeliling kita. Seketika
terbersit dalam pikiran saya bahwa Pakpak Bharat laksana kahyangan atau negeri diatas awan. Sebagaimana layaknya dalam
dongeng pengantar tidur, negeri atas awan adalah tujuan yang paling diimpikan,
yang menjadi akhir dari perjalanan panjang para pengelana. Maka, jika saya
adalah aparat di Pakpak Bharat, akan saya munculkan program “Wisata Kabut”.
Harapannya, ratusan bahkan ribuan pelancong akan bergerak dari Sidikalang
sebelum subuh (maklumlah fasilitas hotel dan akomodasi belum berkembang di
Pakpak Bharat), tiba di Salak menjelang matahari terbit. dan menyaksikan
semburat matahari diantara kabut-kabut nan menawan.
Inovasi tadi akan saya
integrasikan dengan program “Forest Track”.
Setelah puas menikmati indahnya kabut, pelancong kita tuntut menyusuri jalan
setapak yang sengaja diciptakan untuk menikmati lebatnya belantara yang
menghijau. Selain untuk mendukung promosi wisata, program ini juga menjadi
bagian dari pendidikan di alam terbuka, meningkatkan pengetahuan dan kecintaan
terhadap kekayaan flora fauna, dan tentu saja, mendatangkan PAD.
Sebagai daerah yang sangat subur
dan berlokasi di dataran tinggi, saya agak heran karena tidak menemukan sentra
sayuran dan buah-buahan di Pakpak Bharat, sebagaimana lazimnya wilayah dataran tinggi
lain seperti Puncak (Bogor), Lembang (Bandung), Tawangmangu (Karanganyar), Kaliurang
(Yogyakarta), dan lain-lain. Bagi saya, ini adalah sebuah peluang yang terbuang
sia-sia. Oleh karena itu, gagasan mengembangkan “Garden City”, misalnya, adalah sebuah inisiatif yang tidak sulit
untuk dilakukan. Setiap warga juga bisa diajak mendukung program ini dengan
menyediakan “10 tanaman bunga untuk setiap rumah tinggal”.
Selain peluang yang gagal diraih,
ada kecenderungan potensi yang ada kurang dioptimalkan. Sebagai contoh Gambir,
tanaman khas Pakpak Bharat yang tidak mudah ditemukan di daerah lain. Saat ini
sudah dikembangkan produk turunan Gambir menjadi The Gambir. Namun sayangnya
belum terjadi diversifikasi produk yang lebih variatif, misalnya dalam bentuk
dodol, keripik, jus, atau kue Gambir. Untuk itu, saya mengimpikan ada program
inovatif berupa “Festival Gambir” setahun sekali. Acara ini bukan hanya ajang
untuk menjual produk-produk turunan Gambir, namun juga menjadikan Gambir
sebagai salah satu maskot Pakpak Bharat. Faktanya, sangat sedikit yang
mengetahui bentuk pohon Gambir, buah Gambir, cara membudidayakan, dan
seterusnya. Gambir harus dijadikan media untuk mengenalkan Pakpak Bharat ke
panggung dunia yang lebih luas.
Inovasi berbasis potensi lokal
lain yang ditumbuhkan antara lain dengan mengubah 5 hari kerja menjadi 6 hari
kerja. Bagaimana maksudnya? Menurut pengakuan salah seorang pejabat setempat,
kurang lebih 50 persen dari pegawai Pakpak Bharat masih berdomisili di Dairi,
dan bekerja secara komuter. Akibatnya, kota Salak menjadi jauh lebih sepi pada
sore hari dibanding siang hari. Pada hari Sabtu-Minggu kondisinya semakin parah
karena makin banyak penduduk yang keluar kota. Implikasi lebih jauh, aktivitas
perekonomian dan kemasyarakatan kurang berkembang di Pakpak Bharat. Itulah
sebabnya, harus ada upaya untuk mencegah orang meninggalkan wilayah Pakpak
Bharat, atau menahan selama mungkin untuk tinggal. Nah, salah satu upaya yang
paling mudah adalah dengan mengatur hari kerja menjadi 6 hari.
Lantas, apa yang harus dilakukan
oleh para pegawai pada siang hari setelah bekerja? disinilah kreativitas dan
upaya me-link-kan dengan potensi
lokal menjadi penting. Saya melihat kantor Bupati dikelilingi oleh bukit-bukit
yang kurang produktif karena hanya ditumbuhi oleh rumput dan semak-semak. Seandainya
bisa dibuat kavling kecil-kecil, kemudian diserahkan pengelolaannya kepada para
pegawai, akan diperoleh manfaat ganda: bagi pegawai merupakan sumber pemasukan
alternatif; sedangkan bagi pemerintah daerah menjadi terobosan dalam
pengelolaan lingkungan, menghidupkan sektor perekonomian sekaligus mendorong
kesejahteraan masyarakat. Program ini bisa dikaitkan dengan inovasi lain
misalnya pembangunan perumahan pegawai yang dicicil dari hasil kebun yang
diolah oleh para pegawai.
Masih banyak sekali ide-ide segar
yang bisa diformulasikan dari daerah berudara segar ini. Satu hal yang pasti,
harus ada semangat untuk mengejar ketertinggalan dari daerah induknya, jika
perlu melampaui. Kesempatan membangun daerah dari “nol” (pemekaran), sebaiknya
dijadikan momentum meletakkan visi besar daerah hingga jangga panjang. Inovasi
akan menjadi keyword untuk memastikan
visi besar tadi menjadi kenyataan.