Oleh: Tri Widodo W. Utomo
TOLERANSI sering kita dengar
dalam konteks hubungan antar umat beragama, dimana umat agama tertentu wajib
menghormati adanya perbedaan keyakinan, tradisi, cara pandang terhadap sesuatu,
maupun praktik-praktik perilaku dari penganut agama yang lain. Toleransi dalam
kehidupan agama bahkan merupakan sebuah kebutuhan untuk mewujudkan hubungan
yang rukun, bersahabat, dan damai.
Namun, bagaimanakah toleransi
dalam bidang hukum? Apakah toleransi juga menjadi sebuah pilihan yang baik
untuk mewujudkan penegakan hukum yang memenuhi rasa keadilan masyarakat? Jika
kita menyimak dari berbagai ungkapan seperti tegakkan keadilan meski langit runtuh (fiat justitia ruat caelum), zero
tolerance, pemerintah tidak akan pandang bulu terhadap pelanggar hukum, dan
sebagainya, maka nampaknya “toleransi” menjadi kata yang tabu dalam rezim
hukum, baik pidana maupun administrasi negara. Dunia hukum publik kita
nampaknya hanya akrab dengan bunyi undang-undang dan tidak terbiasa dengan
dialog, musyawarah, atau konsensus untuk mencari kompromi terhadap sebuah
situasi atau polemik.
Dengan cara berpikir ini pula, seorang penasehat
KPK tidak memberi toleransi terhadap pemakaian kendaraan dinas untuk keperluan
pribadi. "Apapun itu, jika menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan
pribadi apalagi mudik berarti korupsi," ujar Abdullah Hehamahua kepada
wartawan, usai acara pemberian paket sembako di kantor KPK (15/8/2012). “Imbauan
penghalalan pemakaian mobil dinas itu merupakan imbauan yang salah kaprah, karena
hal itu jelas menyalahi semangat pemerintah yang sedang menggalakkan program
pemberantasan korupsi”, sambungnya. Wilayah publik nampaknya menjadi sangat
dikotomis dan tidak boleh saling bercampur dengan wilayah privat atau pribadi.
Faktanya, praktek pemakaian kendaraan dinas atau fasilitas negara yang lain untuk kepentingan pribadi,
selama ini cenderung masuk wilayah abu-abu. Artinya, tidak ada aturan tertulis
yang melarangnya (yang ada hanya sekedar himbauan), namun juga tidak ada dasar
legalitas yang membenarkannya. Pemakaian fasilitas publik (negara) untuk
kepentingan pribadi lebih dimaknakan sebagai perbuatan yang tidak etis, namun
bukan pelanggaran hukum. Ketika sebuah aturan tidak mengatur secara tegas
tentang larangan atau kewajiban untuk berbuat sesuatu, maka muncullah toleransi
itu. Sebagai contoh, ditengah kelatahan instansi pemerintah melarang pemakaian
kendaraan dinas untuk mudik, Gubernur Jambi dan Walikota Jambi justru
membolehkan jajarannya menggunakan mobil dinas untuk angkutan mudik lebaran,
dengan catatan tidak menggunakan uang dinas untuk keperluan minyak dan servis
kendaraan, serta jika terjadi kerusakan menjadi tanggung jawab pribadi (Jambi Ekspres, 07/08/2012). Hal yang
sama terjadi di Pemkab Semarang yang tidak membatasi penggunaan kendaraan dinas
sepanjang mematuhi peraturan dan ketentuan pembatasan bahan bakar bersubsidi,
serta menjaga dan merawat kendaraan tersebut dengan baik (Republika, 03/08/2012). Jika dicermati secara jujur, masih banyak
lagi instansi pemerintah pusat maupun daerah yang bersikap lebih lunak dan
mendiamkan pemakaian mobil dinas untuk mudik karyawannya.
Apakah dengan demikian bisa dikatakan bahwa Gubernur
Jambi, Walikota Jambi, dan Bupati Semarang telah menyetujui, bahkan
menganjurkan perbuatan korupsi di lingkungannya masing-masing? Jika jawabannya
ya, tentu saja KPK tidak boleh tinggal diam melihat fakta seperti ini. Diamnya
KPK secara tidak langsung menyiratkan bahwa KPK-pun menerapkan toleransi dalam
praktek/kasus seperti ini. Toleransi disini dimaknakan sebagai suatu perbuatan
yang tidak ideal namun masih dinilai dalam batas-batas kewajaran. Dengan kata
lain, meskipun improper use of government
property merupakan perbuatan yang kurang etis, namun fairness adalah salah satu prinsip dasar dari etika.
Itulah sebabnya, kebijakan Gubernur Jambi,
Walikota Jambi, dan Bupati Semarang dapat dilihat sebagai bentuk toleransi
untuk mengkompromikan situasi bernilai ganda. Disisi lain, apa yang dilakukan
oleh ketiga Kepala Daerah tersebut justru menimbulkan keseimbangan antara
kepentingan organisasi dengan kepentingan pribadi karyawan. Paparan dibawah ini
memberi penjelasan bagaimana kepentingan publik dan privat tersebut dapat
diselaraskan, dan bukannya dikontradiksikan.
Baru-baru ini Microsoft melakukan survey yang
hasilnya mengejutkan. Karyawan yang kelihatan tekun ternyata banyak
menghabiskan jam kerjanya untuk melakukan kegiatan yang tidak terkait
pekerjaan, seperti online shopping
atau chating di berbagai media
sosial. Ternyata, penelitian ini juga menemukan bahwa karyawan ini juga
menjawab email, mengerjakan proyek, menyelesaikan laporan, serta menghubungi
pelanggan dari rumah. Sebanyak 75% orang menggunakan computer kantor tidak
hanya untuk mengerjakan tugas kantor, tetapi juga untuk keperluan pribadi.
Sebaliknya, 64% karyawan mengerjakan tugas-tugas kantor di rumah. Hal ini
menunjukkan bahwa batasan waktu dan tempat antara kehidupan kerja dan kehidupan
pribadi semakin memudar. Istilah yang sedang hits untuk situasi ini adalah having
it all atau blurring work and
personal life (Eileen Rachman dan Sylvina Savitri, “Work Life Mix”, Kompas, 11/08/2012).
Kehidupan manusia Indonesia, terutama yang
tinggal di perkotaan, juga tidak terlepas dari fenomena Work Life Mix tersebut. Banyak pegawai yang menenteng laptop pribadi berisi dokumen-dokumen
kerja. Komunikasi kedinasan-pun teramat sering dilakukan dengan pulsa yang
dibayar sendiri, sehingga menghemat pemakaian telepon kantor. Tidak jarang pula
pegawai secara sukarela mengumpulkan dana untuk membangun tempat ibadah di
lingkungan kantor, karena memang tidak ada anggaran pembangunan masjid. Masih
banyak lagi perilaku altruism pegawai
terhadap organisasinya. Hal-hal seperti inilah yang selayaknya juga menjadi
pertimbangan dalam memberikan toleransi ketika seorang pegawai menikmati
fasilitas publik untuk keperluan pribadinya.
Lagi pula, dalam hukum administrasi negara
sesungguhnya juga dikenal mekanisme toleransi yang berwujud lembaga dispendasi
dan lembaga pemutihan. Keduanya adalah instrumen kebijakan yang mengubah tindakan
hukum yang semula illegal menjadi legal atau menjadi hilang unsur pelanggaran
hukumnya. Contoh
dari dispensasi adalah dalam kasus perkawinan. Menurut UU No. 1/1970, seseorang
dapat melakukan pernikahan jika sudah mencapai umur tertentu. Jika ternyata
orang tadi belum memenuhi syarat umur minimal, maka harus ada dispensasi
terlebih dahulu, baru dapat melangsungkan pernikahan. Adapun contoh pemutihan
adalah pemutihan IMB. Orang yang tidak memiliki IMB atas bangunan yang dimilikinya, dianggap
tidak melanggar hukum sampai dengan saat dilakukannya pemutihan tersebut. Bedanya, dispensasi diberikan sebelum suatu tindakan hukum dilakukan, sedangkan
pemutihan diberikan sesudah terjadinya suatu tindakan hukum.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa toleransi sesungguhnya merupakan urat nadi dalam interaksi bermasyarakat
maupun bernegara, termasuk di bidang hukum. Penegakan hukum dan pemberantasan
korupsi seyogyanya tidak dilakukan secara “hitam-putih” atau “benar-salah”,
namun lebih menyelami lebih dalam semangat kebatinan yang berkembang dalam hati
sanubari masyarakat.
Penulis
adalah Ahli Peneliti Utama Bidang Administrasi Publik; Kepala Pusat Kajian
Manajemen Kebijakan LAN-RI