Suatu ketika, saya merasa sangat
malas untuk menulis. Mood saya terasa
hilang, meski saya sadar bahwa kalau saya paksakan menulis, maka mood itu akan kembali. Ada saja alasan
untuk tidak menulis: ngantuk lah, capek lah, bukan hal penting lah, buang-buang
waktu lah … apapun, selagi malas sedang menyergap, maka manfaat yang menumpuk
dari aktivitas menulis kita abaikan dan kita anggap remeh temeh. Kemalasan telah menutupi mata dan hati saya akan
kemanfaatan dan kenikmatan saat menulis.
Sayapun seketika mengasosiasikan
menulis dengan shalat. Saya juga sering terjangkiti penyakit malas untuk
shalat. Bahkan saya juga dengar ari orang lain bahwa seorang alim, ustadz, atau
kiai ada kalanya juga merasa malas. Tentu kemalasan mereka tidak sebanding dan
tidak setitiknya dibandingkan kemalasan saya. Saya sering terlena dan tergoda
untuk menunda shalat, yang meskipun rasio saya berkata shalat adalah hal sangat
penting untuk kebaikan dunia akherat saya, namun hati kecil saya seperti
meragukannya. Sering pula saya tidak dapat konsentrasi selama shalat. Tidak
jarang saya lupa bacaan surat pendek atau lupa jumlah bilangan raka’at yang
sudah saya kerjakan. Kemalasan telah menjadi tirai hitam yang menggelapkan
pandangan mata dan menyesatkan hati saya terhadap keutamaan shalat.
Baik kemalasan menulis maupun
kemalasan shalat, pada hakekatnya adalah bisikan kekuatan hitam yang tidak
menginginkan diri kita maju serta menjadi pribadi yang baik dan berkualitas. Kemalasan
adalah musuh yang nyata bagi kita. Kekuatan apapun harus kita kerahkan untuk
melawan dan mengalahkan kekuatan jahat tersebut. Dan jika kita merasa kurang
memiliki kekuatan untuk menaklukkan mereka, maka gunakan kekuatan bantuan. Apa
dan dari mana sumber kekuatan untuk melawan rasa malas menulis dan rasa malas
melakukan shalat itu? Jawabannya tidak lain adalah menulis itu sendiri, shalat
itu sendiri. Artinya, saat kita malas menulis, yang bisa mengalahkan adalah
menulis. Saat kita malas shalat, obat paling manjur adalah dengan menegakkan
shalat. Demikian pula saat kita malas belajar/bekerja, segeralah belajar dan
bekerja. Dengan kata lain, kuncinya hanya satu, yakni lakukan saja!
Dan benar. Saat kita sudah mengambil
laptop atau pena kita, kemudian mulai
menulis, perlahan-lahan mood dan
kenikmatan datang. Kehangatan mulai merasuki rongga-rongga dada, pendaran ide
mulai memenuhi ruang-ruang otak kita. Dan saat itulah, kita mulai kehilangan
kesadaran dengan lingkungan luar. Kita mulai ogah meninggalkan atau memutus aktivitas menulis. Kita mulai lupa
dengan makan, minum, atau istirahat. Yang diingat dan diinginkan hanyalah menulis,
menulis, dan menulis. Kita sudah masuk dalam dunia lain yang “memabukkan”.
Inilah puncak kenikmatan seorang penulis.
Demikian pula saat kita sudah
mulai shalat. Ketika kita niatkan secara penuh hanya untuk “bertemu” dengan
Sang Pencipta, maka timbullah rasa nikmat saat shalat. Terkadang kita merasa
sayang untuk cepat-cepat selesai. Bacaanpun sering kita perlama atau kita pilih
surat-surat pendek yang panjang seperti Al-Buruuj, Al-Fajr, dan lain-lain. Kita
hanyut dalam “komunikasi” supranatural dengan Dzat yang Maha Segalanya. Kita
juga sering merasa begitu emosional hingga tak tertahankan menetes bulir-bulir
air mata, merasakan betapa dekatnya kita dengan Sang Kekasih, betapa besarnya
dan tak terbatasnya nikmat Ilahi sementara kita begitu banyak menebar keburukan
dan kesia-siaan di muka bumi. Saat-saat seperti itu, segalanya menjadi tidak
penting dan tidak ada nilainya sama sekali. Yang ada hanya keinginan untuk
melantunkan di sanubari terdalam kalimat tasbih, tahmid, takbir, istighfar, dan
tahlil, bersaksi atas segala kebesaran-Nya dan kesucian-Nya. Kita sudah masuk
dalam dunia lain yang begitu menenteramkan jiwa. Tidak ada keinginan lain
selain bertemu Sang Khalik dan memperoleh ridha-Nya. Itulah situasi spiritual
kebatinan tertinggi seorang manusia.
Jika shalat adalah penghambaan
dan peribadahan paling dalam kepada Sang Penguasa dan Pengatur alam semesta,
maka menulispun sesungguhnya adalah pengabdian seorang manusia kepada manusia
lainnya dan kepada seluruh makhluk ciptaan Yang Maha Kuasa. Melalui untaian
kata dan kalimat dalam tulisan, sesungguhnyalah kita sedang menyumbangkan
pemikiran, kemampuan, niat baik, dan tenaga kita. Tulisan juga merupakan uluran
silaturahmi virtual dengan orang yang jauh dari jangkauan fisik kita. Untuk
itu, boleh saja nilai ekonomis sebuah tulisan amat kecil, namun nilai
non-ekonomis mungkin tidak bisa dinilai dengan benda atau bentuk natura lainnya
(termasuk uang).
Bayangkan ketika seseorang yang
sudah patah semangat, kehilangan motivasi, dan tidak memiliki daya juang dalam
hidup, tiba-tiba menjadi begitu gigih dalam berjuang mencapai cita-cita
gara-gara membaca sebuah tulisan. Bayangkan pula seorang mahasiswa yang
kebingungan saat menulis skripsi atau thesis, sekonyong-konyong berteriak “eureka … aha …” hanya karena membaca
sebuah tulisan yang menjawab kebingungannya. Bayangkan lagi seseorang yang
menemukan cara berbisnis yang murah, halal, namun memberikan keuntungan
maksimal, atau seseorang yang mendapat informasi kehalalan makanan saat berada
di negeri non-muslim, yang semuanya itu diperoleh dari tulisan orang lain.
Apakah kita masih mengatakan tulisan itu tidak ada “harganya”? Bagi saya,
orang-orang yang menulis dan menghasilkan pencerahan, penyadaran, atau hanya
sekedar penambahan ilmu baru sesedikit apapun jumlahnya, adalah orang-orang
yang mendapat limpahan pahala berlipat. Semakin khusyuk shalat seseorang,
semakin besarlah pahalanya. Begitu pula, semakin banyak jumlah tulisan dan
pembacanya, semakin besar pula pahala bagi si penulis.
Bila demikian, ketika kemalasan
menyerang kita saat akan melakukan shalat dan menulis, lawanlah dengan segera
shalat dan mulai menulis. Sesederhana itulah situasinya … J
Jakarta, 10 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar