Jumat, 11 Oktober 2013

Menulis itu Seperti Shalat



Suatu ketika, saya merasa sangat malas untuk menulis. Mood saya terasa hilang, meski saya sadar bahwa kalau saya paksakan menulis, maka mood itu akan kembali. Ada saja alasan untuk tidak menulis: ngantuk lah, capek lah, bukan hal penting lah, buang-buang waktu lah … apapun, selagi malas sedang menyergap, maka manfaat yang menumpuk dari aktivitas menulis kita abaikan dan kita anggap remeh temeh. Kemalasan telah menutupi mata dan hati saya akan kemanfaatan dan kenikmatan saat menulis.

Sayapun seketika mengasosiasikan menulis dengan shalat. Saya juga sering terjangkiti penyakit malas untuk shalat. Bahkan saya juga dengar ari orang lain bahwa seorang alim, ustadz, atau kiai ada kalanya juga merasa malas. Tentu kemalasan mereka tidak sebanding dan tidak setitiknya dibandingkan kemalasan saya. Saya sering terlena dan tergoda untuk menunda shalat, yang meskipun rasio saya berkata shalat adalah hal sangat penting untuk kebaikan dunia akherat saya, namun hati kecil saya seperti meragukannya. Sering pula saya tidak dapat konsentrasi selama shalat. Tidak jarang saya lupa bacaan surat pendek atau lupa jumlah bilangan raka’at yang sudah saya kerjakan. Kemalasan telah menjadi tirai hitam yang menggelapkan pandangan mata dan menyesatkan hati saya terhadap keutamaan shalat.

Baik kemalasan menulis maupun kemalasan shalat, pada hakekatnya adalah bisikan kekuatan hitam yang tidak menginginkan diri kita maju serta menjadi pribadi yang baik dan berkualitas. Kemalasan adalah musuh yang nyata bagi kita. Kekuatan apapun harus kita kerahkan untuk melawan dan mengalahkan kekuatan jahat tersebut. Dan jika kita merasa kurang memiliki kekuatan untuk menaklukkan mereka, maka gunakan kekuatan bantuan. Apa dan dari mana sumber kekuatan untuk melawan rasa malas menulis dan rasa malas melakukan shalat itu? Jawabannya tidak lain adalah menulis itu sendiri, shalat itu sendiri. Artinya, saat kita malas menulis, yang bisa mengalahkan adalah menulis. Saat kita malas shalat, obat paling manjur adalah dengan menegakkan shalat. Demikian pula saat kita malas belajar/bekerja, segeralah belajar dan bekerja. Dengan kata lain, kuncinya hanya satu, yakni lakukan saja!

Dan benar. Saat kita sudah mengambil laptop atau pena kita, kemudian mulai menulis, perlahan-lahan mood dan kenikmatan datang. Kehangatan mulai merasuki rongga-rongga dada, pendaran ide mulai memenuhi ruang-ruang otak kita. Dan saat itulah, kita mulai kehilangan kesadaran dengan lingkungan luar. Kita mulai ogah meninggalkan atau memutus aktivitas menulis. Kita mulai lupa dengan makan, minum, atau istirahat. Yang diingat dan diinginkan hanyalah menulis, menulis, dan menulis. Kita sudah masuk dalam dunia lain yang “memabukkan”. Inilah puncak kenikmatan seorang penulis.

Demikian pula saat kita sudah mulai shalat. Ketika kita niatkan secara penuh hanya untuk “bertemu” dengan Sang Pencipta, maka timbullah rasa nikmat saat shalat. Terkadang kita merasa sayang untuk cepat-cepat selesai. Bacaanpun sering kita perlama atau kita pilih surat-surat pendek yang panjang seperti Al-Buruuj, Al-Fajr, dan lain-lain. Kita hanyut dalam “komunikasi” supranatural dengan Dzat yang Maha Segalanya. Kita juga sering merasa begitu emosional hingga tak tertahankan menetes bulir-bulir air mata, merasakan betapa dekatnya kita dengan Sang Kekasih, betapa besarnya dan tak terbatasnya nikmat Ilahi sementara kita begitu banyak menebar keburukan dan kesia-siaan di muka bumi. Saat-saat seperti itu, segalanya menjadi tidak penting dan tidak ada nilainya sama sekali. Yang ada hanya keinginan untuk melantunkan di sanubari terdalam kalimat tasbih, tahmid, takbir, istighfar, dan tahlil, bersaksi atas segala kebesaran-Nya dan kesucian-Nya. Kita sudah masuk dalam dunia lain yang begitu menenteramkan jiwa. Tidak ada keinginan lain selain bertemu Sang Khalik dan memperoleh ridha-Nya. Itulah situasi spiritual kebatinan tertinggi seorang manusia.

Jika shalat adalah penghambaan dan peribadahan paling dalam kepada Sang Penguasa dan Pengatur alam semesta, maka menulispun sesungguhnya adalah pengabdian seorang manusia kepada manusia lainnya dan kepada seluruh makhluk ciptaan Yang Maha Kuasa. Melalui untaian kata dan kalimat dalam tulisan, sesungguhnyalah kita sedang menyumbangkan pemikiran, kemampuan, niat baik, dan tenaga kita. Tulisan juga merupakan uluran silaturahmi virtual dengan orang yang jauh dari jangkauan fisik kita. Untuk itu, boleh saja nilai ekonomis sebuah tulisan amat kecil, namun nilai non-ekonomis mungkin tidak bisa dinilai dengan benda atau bentuk natura lainnya (termasuk uang).

Bayangkan ketika seseorang yang sudah patah semangat, kehilangan motivasi, dan tidak memiliki daya juang dalam hidup, tiba-tiba menjadi begitu gigih dalam berjuang mencapai cita-cita gara-gara membaca sebuah tulisan. Bayangkan pula seorang mahasiswa yang kebingungan saat menulis skripsi atau thesis, sekonyong-konyong berteriak “eureka … aha …” hanya karena membaca sebuah tulisan yang menjawab kebingungannya. Bayangkan lagi seseorang yang menemukan cara berbisnis yang murah, halal, namun memberikan keuntungan maksimal, atau seseorang yang mendapat informasi kehalalan makanan saat berada di negeri non-muslim, yang semuanya itu diperoleh dari tulisan orang lain. Apakah kita masih mengatakan tulisan itu tidak ada “harganya”? Bagi saya, orang-orang yang menulis dan menghasilkan pencerahan, penyadaran, atau hanya sekedar penambahan ilmu baru sesedikit apapun jumlahnya, adalah orang-orang yang mendapat limpahan pahala berlipat. Semakin khusyuk shalat seseorang, semakin besarlah pahalanya. Begitu pula, semakin banyak jumlah tulisan dan pembacanya, semakin besar pula pahala bagi si penulis.

Bila demikian, ketika kemalasan menyerang kita saat akan melakukan shalat dan menulis, lawanlah dengan segera shalat dan mulai menulis. Sesederhana itulah situasinya … J

Jakarta, 10 Oktober 2013

Tidak ada komentar: