Belum lama ini, masyarakat diramaikan
dengan berita tentang mobil murah. Mobil murah ini diyakini sebagai sebuah
inovasi yang memungkinkan kelompok ekonomi menengah kebawah memiliki mobil,
ditengah merosotnya nilai tukar rupiah, naiknya inflasi, dan mahalnya harga-harga
barang apalagi yang mengandung muatan impor. Hak orang untuk memiliki mobil dan
menggunakan jalan raya yang dibangun dengan pajak rakyat, memang tidak bisa
ditahan. Dan dengan alasan ini, tidak mungkin kita menahan arus produksi massal
mobil murah.
Namun, apakah benar ada mobil
murah itu? Dan apakah benar mobil murah itu adalah sebuah inovasi? Bagi saya,
inovasi itu adalah menghasilkan barang yang sama secara kualitas dan kuantitas
dengan biaya yang lebih sedikit; atau memanfaatkan input yang sama namun
menghasilkan output/outcomes yang
lebih banyak atau lebih baik; atau menghasilkan barang yang sama secara kualitas
dan kuantitas, sama pula biayanya, namun dengan tampilan yang berbeda (lebih
baik tentunya), atau dengan nilai tambah yang berbeda (lebih mudah diperoleh,
lebih banyak outlet pelayanan, masa
garansi lebih lama, dan sebagainya).
Nah, dengan menggunakan kriteris
inovasi yang sederhana seperti itu, mobil murah seperti Agya dan Ayla itu agak
sulit dikatakan sebagai sebuah inovasi. Harga yang murah ternyata harus dibayar
dengan teknologi yang lebih rendah, fitur yang lebih sedikit, dan kualitas yang
lebih buruk. Seorang tetangga saya bercerita bahwa dia baru saja melihat mobil
murah di dealer Toyota. Kesan pertama dia, mobil murah tadi jauh sekali
dibandingkan mobil yang sebenarnya masuk kelas yang sama seperti Avanza. Dia mengilustrasikan
jok Avanza ibarat spring bed,
sedangkan jok mobil murah seperti kasur busa. Begitu pula komponen dashboard, kaca spion, dan lain-lain,
tidak menimbulkan ketertarikan karena rendahnya kadar inovasi yang dibawa oleh
mobil murah ini.
Jika demikian adanya, maka mobil
murah ini justru merupakan produksi yang jauh dari semangat inovasi. Maka,
tidak aneh jika banyak pihak yang sinis dengan kehadiran mobil murah, yang
dinilai semata-mata adalah strategi dagang yang berorientasi profit maximization belaka. Jika memang
pemerintah beserta produsen mobil murah benar-benar ingin menciptakan inovasi
dalam sistem transportasi publik, maka semestinya lebih fokus membangun MRT
yang murah (terjangkau), berkualitas, mampu mengangkut penumpang dalam jumlah
fantastis, serta menjadi solusi nyata bagi kemacetan lalu lintas. Dan memang,
logikanya mobil murah akan semakin membuat problem kemacetan tambah parah,
perilaku konsumtif makin menjadi-jadi, dan daftar korban akibat kecelakaan
semakin panjang.
Masih mending kalau mobil murah tadi adalah 100 persen komponen lokal dan
100 persen produksi anak negeri, sehingga menjadi simbol kebangkitan nasional. Dalam
hal ini, ada national dignity karena
kemandirian bangsa menciptakan brand nasional.
Dan jika setiap warga negara memiliki kesadaran yang sama dan kebanggaan yang
besar terhadap brand nasional tadi, dengan
hanya membeli produk dalam negeri, bukan tidak mungkin produk-produk impor akan
mati di negeri ini, atau minimal dapat menurunkan standar harga mereka. Brand nasional ini sekaligus akan
menjadi pendorong menguatnya daya saing bangsa yang selama ini terengah-engah
dalam percaturan negara-negara ASEAN sekalipun. Namun jika ternyata mobil murah
inipun tidak menguatkan semangat kebangsaan, apa lagi yang diharapkan dari
produk seperti ini?
Kesimpulannya, jika murahnya
harga mobil dianggap sebagai nilai tambah, maka nilai tambah ini tidak dapat
dinilai sebagai inovasi jika tidak dibarengi dengan nilai tambah yang lain,
bahkan mengurangi nilai tambah pada aspek yang lainnya. Istilah orang Jawa, ana rega ana rupa, yang kurang lebih
artinya ada harga ada ada wujud (yang berkualitas). Pernyataan ini sesungguhnya
adalah sindiran bahwa inovasi itu tidak pernah ada, nilai tambah baru akan selalu
diikuti dengan penyesuaian tarif atau harga.
Pertanyaannya kemudian adalah,
apakah inovasi selalu mahal? Secara logika iya, karena proses menghasilkan
nilai tambah dalam sebuah produk atau jasa harus melalui sebuah intellectual exercise berupa R & D yang
sering membutuhkan dana tidak sedikit. Namun ketika inovasi sudah menjadi proses
yang melekat sekaligus kebutuhan dalam aktivitas sebuah organisasi/perusahaan,
maka ongkos tadi tentu dapat diminimalisir. Artinya, inovasi tidak lagi menjadi
sebuah agenda sesaat untuk menghasilkan sesuatu yang besar, namun lebih agenda
harian untuk menyempurnakan sesuatu secara berkelanjutan meski bukan sebuah
lompatan besar.
Hal terakhir yang ingin saya
garisbawahi, inovasi mestilah membawa perbaikan baik berhubungan dengan bidang
inovasi itu sendiri atau bidang terkait lainnya. Inovasi yang saya maksudkan
disini adalah inovasi yang tidak menimbulkan keburukan bagi bidang atau pihak
lain. Sebagai contoh, jika keberadaan mobil murah justru kontra produktif
dengan kebijakan MRT atau kebijakan lain terkait upaya mengatasi kemacetan,
maka ini adalah inovasi yang tidak membawa kebaikan. Sebagaimana ditulis oleh Hartly (2008), “The Innovation Lanscape for Public
Service Organizations“, dalam Jean Hartly, C. Donaldson, and C. Wallace (ed.), Managing
to Improve Public Services, UK: Cambridge University Press, ada empat
bentuk relasi inovasi dengan perbaikan, yakni: 1) tanpa perbaikan tanpa
inovasi; 2) perbaikan tanpa inovasi; 3) inovasi tanpa perbaikan; dan 4) inovasi
dengan perbaikan.
Berdasarkan framework yang dikembangkan Heart
tersebut, bisa jadi kasus mobil murah masuk kategori ke-3 yakni inovasi tanpa
perbaikan, sementara yang dituju oleh semangat menemukan inovasi adalah
terjadinya perbaikan (kategori ke-4).
Jakarta, 16 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar