Jumat, 11 Oktober 2013

Bagaimana Melakukan Transformasi Dalam Organisasi?



Kita sering mendengar bahwa melakukan perubahan itu tidaklah mudah. Kita juga teramat sering mendengar adanya keengganan bahkan penolakan terhadap perubahan (resistance to change). Jika sekedar berubahpun enggan, bagaimana mungkin sebuah organisasi akan melakukan transformasi? Dalam hal ini, saya menafsirkan transformasi sebagai sebuah perubahan besar yang membuat sistem, struktur, dan budaya organisasi menjadi sangat berbeda dibanding sebelumnya. Transformasi bukan sekedar mempercepat proses pelayanan menjadi lebih cepat 1 hari atau 1 minggu; bukan pula postur organisasi yang tambun menjadi sedikit lebih ramping. Transformasi lebih mencerminkan perubahan mental model atau paradigma dari dilayani menjadi dilayani, dari big is powerful menjadi small is beautiful, dari alon-alon waton kelakon (pelan asal selesai) menjadi quick response (reaksi cepat), dari inefisien menjadi efisien, dari inward looking yang berorientasi self-interest menjadi outward looking yang berorientasi public values, dan seterusnya.

Maka, jika perubahan adalah sebuah proses evolusi yang biasanya bersifat inkremental, maka transformasi adalah evolusi yang dipercepat, atau sebuah langkah revolusioner. Jika perubahan cenderung memilih satu atau dua aspek untuk disempurnakan berdasarkan urutan prioritasnya, maka transformasi menghendaki perubahan serentak, simultan, paralel, holistik, dan integral. Tidak ada aspek yang boleh dibiarkan tertinggal dan tidak tersentuh perbaikan, Jika perubahan lebih mudah dipahami secara kuantitatif, maka transformasi harus dirasakan secara lebih kualitatif. Jika perubahan sudah terjadi ketika secara individual saya meneguhkan tekad untuk lebih disiplin, maka transformasi baru muncul ketika disiplin disiplin individu saya telah melebur kedalam disiplin kolektif yang menjelma sebagai kebiasaan bersama (collective habit).

Nah, dengan pembedaan diatas, saya mengasumsikan bahwa transformasi jauh lebih sulit dikelola dibanding mengelola perubahan. Namun, ada satu ajaran dari John P Kotter dalam artikelnya berjudul Leading Change: Why Transformation Efforts Fail?, yang menurut saya memberi arahan atau panduan yang sangat logis, sederhana, dan operasional untuk melakukan sebuah transformasi dalam organisasi. Dia mengemukakan adanya 8 (delapan) langkah dan/atau peran seorang pemimin dalam melakukan transformasi. Ke-8 hal itu adalah:

1.      Establishing sense of urgency;
2.      Forming a powerful guiding coalition;
3.      Creating a vision;
4.      Communicating the vision;
5.      Empowering others to act the vision;
6.      Planning for and creating short-term wins;
7.      Consolidating improvements and producing more changes;
8.      Institutionalizing new approaches.

Pada tahap pertama, saya merasa sreg dan klop sekali bahwa transformasi harus diawali dengan menemukan urgensinya. Mengapa transformasi harus dilakukan; apa tekanan (pressure), kesulitan (difficulties), dan tantangan (threat) yang dihadapi; serta apa dampaknya bagi organisasi jika transformasi tadi tidak dilakukan? Urgensi transformasi, oleh karenanya, adalah alasan mendasar (raison de’tre) mengapa transformasi mutlak harus dijalankan. Tanpa adanya alasan ini, bisa dijamin transformasi akan kehilangan spirit, kekuatan, dan arah yang jelas. Dan uniknya, faktor yang membuat transformasi menjadi lebih bertenaga, bersemangat, dan jelas arah orientasinya, adalah situasi serba sulit, tidak pasti, dan penuh tantangan tadi. Ketika sebuah organisasi merasa tidak memiliki faktor komplikasi dalam mencapai tujuannya dan merasa segala sesuatu baik-baik saja, maka sesungguhnya organisasi tersebut sedang berada dalam situasi yang tidak baik-baik saja,

Selanjutnya, manakala urgensi untuk transformasi sudah berhasil diidentifikasikan, langkah yang harus ditempuh adalah meminta dukungan dan komitmen berbagai pihak untuk menggulirkan perubahan. Komitmen tadi bisa bersumber dari lingkungan internal maupun dari stakeholder eksternalnya. Kolaborasi, koalisi, dan kooperasi antar aktor akan menjadi condition sine qua non keberhasilan sebuah transformasi. Tanpa adanya hal tersebut, maka perubahan hanya akan menjadi omong kosong dan angin lalu. Sekuat apapun pressure yang dimiliki untuk terjadinya perubahan, dan sekuat apapun komitmen pimpinan untuk berubah, namun tanpa adanya dukungan multi-aktor, perubahan ibarat sebatang lidi yang tidak mampu membersihkan sampah yang berserakan. Sampah-sampah itu hanya bisa dibersihkan oleh kumpulan lidi yang diikat oleh sebuah komitmen dan visi bersama (shared vision).

Pembentukan visi bersama ini merupakan syarat mutlak ketika koalisi perubahan sudah terbangun. Visi ini memiliki banyak fungsi. Selain untuk menyelaraskan irama dan gerak langkah, atau untuk menciptakan frekuensi hati dan pemikiran yang sama, shared vision juga memberi arah yang jelas kemana organisasi akan dibawa, sekaligus menyediakan gambaran masa depan yang harus diwujudkan oleh organisasi tersebut. Tanpa adanya visi, sangat mungkin sebuah organisasi akan tersesat di tengah jalan. Ibarat biduk yang berada di tengah lautan lepas di tengah malam gulita, visi adalah bintang utara (North Star) yang memberikan peta jalan (roadmap) yang memandu sang nelayan keluar dari kesesatan.

Namun, visi saja sangat tidak cukup. Visi ini harus dikampanyekan atau dikomunikasikan kepada seluruh pihak terkait. Komunikasi ini akan menjaga visi tidak mengalami reduksi pada perjalanan organisasi. Dengan kata lain, kampanye visi bertujuan untuk memelihara shared vision tidak tercabik-cabik menjadi visi-visi individu yang berbeda haluan. Pada saat yang bersamaan, kampanye visi harus disertai dengan pemberdayaan, pengembangan kapasitas, atau pengembangan pegawai. Visi yang kuat harus dikelola oleh SDM yang kompeten. Kekuatan visi harus compatible dengan kapasitas SDM. Kecepatan (velocity) dan ketangguhan (durability) keduanya harus seimbang dan saling mengisi atau saling memperkuat. Jika salah satu unsur timpang dan tidak mampu mengikuti kecepatan dan ketangguhan unsur lainnya, maka sia-sialah semuanya.

Jika alasan untuk transformasi sudah jelas, koalisi sudah ada, visi sudah dibangun dan dikomunikasikan, dan kapasitas SDM terus dikembangkan, maka pondasi yang kokoh untuk sebuah transformasi dapat dikatakan telah terpenuhi. Langkah berikutnya tinggal membuat perencanaan dan program unggulan untuk jangka pendek (quick wins). Perencanaan ibarat busur, sedang program unggulan ibarat anak panah. Keduanya membentuk sinergi dalam mencapai sasaran seakurat mungkin. Dengan kata lain, perencanaan dan quick wins merupakan stepping stones atau milestones menuju tujuan akhir (ultimate goals) organisasi. Visi saja tidak mungkin bisa merealisasikan tujuan. Visi membutuhkan kristalisasi berupa kerja keras seluruh SDM-nya dan aktualisasi melalui program dan kegiatan yang nyata dan terukur tingkat kinerjanya.

Pada saatnya, sebuah organisasi tidak boleh puas hanya dengan satu atau beberapa quick wins saja. Ini harus terus direproduksi dan/atau direplikasi sehingga akan melahirkan banyak quick wins yang tidak pernah berhenti sebelum visi dan tujuan organisasi menjadi kenyataan. Banyaknya quick wins ini diharapkan akan membentuk efek bola salju (snowball effect) yakni terkonsolidasinya program organisasi dan sumber daya yang dialokasikan untuk menjalankan program tersebut. Dan akhirnya, perbaikan seperti ini harus menjadi kebiasaan yang melekat pada manajemen organisasi sehari-hari (day-to-day management).

Pada praktek dalam kehidupan sehari-hari, tanpa harus melakukan penelitian secara khusus kita bisa melihat organisasi atau perusahaan yang telah melakukan transformasi dengan 8 langkah tersebut. Garuda misalnya, beberapa peristiwa kecelakaan dan pelarangan terbang ke wilayah Eropa adalah salah satu titik paling urgen yang mengharuskan perusahaan melakukan transformasi. Urgensi yang serupa juga dihadapi oleh PT. KAI yang sering mengalami kecelakaan yang menelan ratusan korban jiwa. PT. KAI bahkan juga menghadapi situasi kritis yang lain seperti pelemparan, sabotase, pencurian bantalan rel, dan sebagainya. Demikian halnya, PT. Angkasa Pura Bandara Soekarno-Hata mempunyai alasan keurgenan sendiri untuk transformasi dengan membludaknya jumlah penumpang yang melebihi kapasitas, sering terjadinya keterlambatan take-off, toilet yang kotor dan bau seperti di terminal bus, dan sebagainya. Syukurlah, ada kesadaran penuh dari jajaran direksi perusahaan untuk segera berbenah dan mengubah wajah perusahaan yang saat itu begitu kusut, kumuh, dan berkinerja amat buruk. Saya yakin bahwa semangat berbenah ini kemudian dikomunikasikan dengan seluruh pihak terkait, meski saya tidak tahu apa yang mereka lakukan untuk membangun kolaborasi lintas stakeholder ini.

Satu hal yang pasti, dalam persepsi saya mereka mengganti visi baru yang lebih kuat. Hal ini ditandai dari perubahan logo. Bagi yang kurang memaknai sebuah logo, mungkin hanya dilihat sebagai perubahan simbol atau gambar semata. Namun saya yakin bahwa perubahan logo yang seringkali memakan biaya milyaran rupiah ini telah disosialisasikan dan diinstitusionalisasikan di kalangan internal perusahaan. Dengan proses internalisasi tadi, maka logo bukan sekedar perubahan lambang, melainkan sebuah spirit baru, orientasi baru, tekad baru, cara kerja baru, dan target-target baru.

PT. Angkasa Pura Bandara Soetta bahkan memasang secara permanen visualisasi Grand Design Bandara Soetta 2014 di seluruh terminal. Keterhubungan (interconnectedness) antar terminal, kualitas pelayanan yang jauh lebih baik, nuansa yang lebih modern, serta standar kenyamanan dan keamanan yang lebih tinggi, seolah menjadi janji yang tidak dieksplisitkan secara verbal dari gambar-gambar yang terpasang di seluruh penjuru bandara tersebut. Model komunikasi seperti ini, secara langsung maupun tidak langsung, memberikan pengaruh positif kepada pengguna jasa layanan PT. Angkasa Pura Bandara Soetta. Para pelanggan sudah merasa tidak sabar menunggu realisasi visi perusahaan, dan sudah sangat ingin menikmati rezim pelayanan bandara kelas dunia, bukan kelas terminal Kampung Rambutan seperti saat ini.

Sayangnya, saya tidak punya informasi rinci tentang strategi komunikasi dan pemberdayaan staf/pegawai di ketiga perusahaan tersebut. saya juga tidak tahu pasti apa program quick wins yang mereka unggulkan. Saya hanya yakin bahkan hal-hal strategis ini telah mereka lakukan secara optimal, yang antara lain dibuktikan dengan kinerja PT. Garuda yang berhasil meraih penghargaan sebagai maskapai penerbangan regional terbaik, atau kinerja PT. KAI yang mampu membalikkan kondisi dari perusahaan yang selalu merugi ratusan milyar menjadi profit generating company.

Tantangannya sekarang adalah, mereka tidak boleh berhenti dan tidak boleh puas dengan performance yang mereka raih. Tugas yang tidak kalah penting adalah mencari dan melakukan program-program unggulan lain secara berkelanjutan, hingga pada akhirnya inovasi dan transformasi menjadi kebutuhan harian sebuah organisasi, dan mendarahdaging dalam setiap aktivitas para pegawainya.

Jakarta, 9 Oktober 2013

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Penjelasan Materi menggunakan bahasa yang mudah difahamai,
bagus !