Kamis, 25 Juli 2013

Anomali Dalam Reformasi Birokrasi (Tabukah PNS Mengkritik Birokrasi?)


Ketika berniat untuk menulis tentang kelemahan/kekurangan reformasi birokrasi (RB), sesungguhnya saya sempat merenung agak lama: etiskah saya mengkritik konsep dan implementasi reformasi, sementara saya adalah seorang PNS (bahkan lebih spesifik lagi seorang pejabat) yang semestinya bertanggungjawab terhadap keberhasilan reformasi tersebut? Persoalan etika daalm otokritik seperti ini juga pernah mengemuka ketika Adnan Buyung Nasution mempublikasi rekomendasinya selaku anggota Dewan Pertimbangan Presiden, yang menurut banyak kalangan bersifat rahasia. Nah, dengan berbagai pertimbangan pula, akhirnya saya memberanikan diri untuk mengkritisi habitat saya sendiri.
 
Selain dengan niat dan semangat untuk memperbaiki diri, saya juga berharap catatan saya ini dapat dibaca dan didengar oleh pejabat-pejabat yang memang memiliki otoritas dalam hal reformasi, untuk kemudian menjadi perenungan terhadap perjalanan reformasi yang telah ditempuh bangsa ini. Harapan lebih jauh, tentu saja ide saya ini akan dapat memberi sumbangsih terhadap mimpi mewujudkan sosok birokrasi yang hebat dan berkelas dunia.
 
Secara umum, saya melihat banyak distorsi, deviasi, atau anomali praktek RB dari filosofi dasarnya. Tentu saja pandangan saya mungkin sekali keliru dan sulit diterima banyak pihak. Jika memang demikian, semoga tulisan ini bisa memancing diskusi dan dialog kreatif untuk menemukan akan permasalahan yang terbesar dari program RB sekaligus menawarkan alternatif yang cerdas untuk evaluasi dan solusi RB kedepan.
 
Anomali pertama, saya melihat RB justru menimbulkan situasi bertitel high-cost bureaucracy. Ini bertolak belakang dengan spirit dasar RB untuk menekan pemborosan anggaran dan meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya organisasi, khususnya keuangan. Dengan adanya kewajiban untuk menyediakan dokumen usulan RB bagi setiap Kementerian maupun Lembaga Pemerintah Non Kementerian (K/L), banyak sekali K/L yang meng­-hire konsultan dengan budget yang diluar jangkauan akal sehat. Saya pernah mendengar sebuah Lembaga yang menganggarkan penyusunan SOP sebesar kurang lebih Rp 2 milyar. Seorang Kabag Perencanaan bergelar Doktor di sebuah Kementerian yang berkarakter holding company bahkan menyebutkan bahwa hanya untuk merumuskan nilai-nilai organisasi (organizational values), kementeriannya membayar puluhan milyar kepada konsultan asing. Selain menjadi sumber pemborosan baru, pemanfaatan konsultan untuk menyiapkan insfrastruktur RB ini menurut saya tidak akan menumbuhkan sense of belonging di kalangan pegawai. Usulan, penyiapan dokumen, serta pelaksanaan kegiatan dalam rangka RB, sekecil apapun itu, semestinya dilakukan secara mandiri oleh SDM di institusi tersebut. Keberadaan konsultan tentu bukan barang haram, namun semestinya tidak diposisikan sebagai pemain utama dalam organisasi, sementara pegawai lainnya justru menjadi penontonnya.
 
Pemborosan akibat RB juga semakin besar karena berimplikasi pada pemberian tunjangan kinerja bagi PNS yang berjumlah sekitar 4 juta orang. Meskipun penghasilan seorang PNS selama ini diakui relatif rendah, namun kebijakan pemberian remunerasi (istilah yang lebih populer dipakai untuk menggantikan istilah tunjangan kinerja), tetap saja membebani anggaran negara secara signifikan. Buktinya, atas inisiatif Kementerian Keuangan, lahirlah Peraturan Bersama 3 Menteri (PAN dan RB, Dalam Negeri, dan Keuangan) tahun 2011 tentang Penundaan Sementara Penerimaan CPNS, atau yang lebih dikenal dengan Moratorium CPNS. Kebijakan inipun sebuah kesalahan besar dalam RB, yang akan saya ulas pada bagian bawah nanti.
 
Ironisnya, pembayaran tunjangan kinerja di banyak instansi dibebankan pada DIPA instansi yang bersangkutan, tepatnya diambilkan dari pos yang selama ini masuk dalam alokasi program dan kegiatan. Akibatnya cukup fatal, proporsi biaya program (belanja langsung) dengan belanja tidak langsung seperti gaji, tunjangan, honorarium, pemeliharaan, dan lain-lain menjadi semakin timpang. Organisasi berubah menjadi “pemangsa” sumber daya yang dimiliki, karena sebagian besar dana yang dimiliki hanya diperuntukkan membayar pegawainya dan pemeliharaan gedungnya. Inilah yang saya sebut sebagai fenomena predatory bureaucracy. Jika selama ini fenomena seperti ini lebih banyak melanda daerah, terutama daerah otonom baru (DOB), maka dengan RB fenomena tersebut menjadi lebih meluas. Bagi saya, ini sudah bukan lagi lampu kuning, namun sudah lampu merah RB.
 
Anomali kedua, saya juga melihat bahwa RB bukannya menghasilkan PNS yang brilian, kompeten, dan berkualifikasi unggulan, malah mendegradasi kompetensi organisasi. Dan ini jelas sekali bertentangan dengan maksud dilakukannya RB untuk menghasilkan birokrasi kelas dunia (world class bureaucracy). Didahului dengan PP Nomor 48/2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS, dan dilanjutkan dengan Pp Nomor 45/2007 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Sekretaris Desa Menjadi PNS, kebijakan RB malah menambah runyam persoalan birokrasi dengan memberlakukan moratorium CPNS. Sebagaimana disadari secara luas, tenaga honorer dan Sekretaris Desa pada umumnya adalah mereka yang berpendidikan rendah, tidak memiliki keahlian khusus kecuali hanya mengerjakan tugas-tugas administratif, dan belum teruji keunggulan kepribadian maupun potensinya. Dengan fakta seperti itu, tetap saja mereka “dipaksa” menjadi PNS tanpa melalui sebuah sistem rekrutmen yang ketat dan kompetitif. Bagaimana mungkin kita akan menuju birokrasi kelas dunia kalau yang diangkat adalah SDM kelas kampong? Bagaimana kita akan menjadi birokrasi bintang lima kalau para pelakunya masih sekelas kaki lima?
 
Celakanya lagi, kesalahan sejarah seperti ini diulang melalui moratorium CPNS. Kandidat yang masih segar, pintar, dan kreatif ditutup peluangnya masuk birokrasi kecuali untuk tenaga kesehatan dan pendidikan. Sementara disisi lain, para pegawai yang tua-tua, atau yang tidak berkinerja, atau yang hanya menjadi trouble maker, atau yang tidak bisa dikembangkan lagi potensinya, justru dipertahankan dalam wilayah kenyamanan (comfort zone) bernama birokrasi. Saya sering mengibaratkan birokrasi sebagai kolam ikan. Jika kolam itu ditutup aliran pembuangannya yang berfungsi untuk mengurangi kekotoran dan polusinya, serta tidak dibuka saluran baru untuk mengalirkan air besih, maka dapat dipastikan kolam itu semakin lama semakin kotor, berbau busuk, bahkan beracun. Maka, tidaklah aneh jika birokrasi kita selalu diidentikkan dengan keranjang sampah.
 
Semestinya, kebijakan RB berani menempuh langkah tegas, misalnya dengan pemberhentian secara hormat maupun tidak hormat pegawai yang layak untuk diberhentikan, atau “memaksakan” pensiun dini degan tunjangan khusus (golden shake hand) kepada pegawai yang biasa-biasa saja. Dengan demikian, birokrasi hanya akan dihuni oleh manusia-manusia yang berpikrian, berperilaku, dan berkarya positif. Birokrasi sebaiknya juga tidak diisi oleh berbagai situasi nyaman (rendah tuntutan, gaji dan tunjangan tetap, jaminan pensiun, penegakan disiplin rendah, kenaikan gaji dan pangkat berkala, banyaknya peluang perjalanan dinas, dsb). Secara ideal, birokrasi justru harus melengkapi dirinya dengan berbagai ketidaknyamanan (tuntutan kebaruan / inovasi bagi setiap pejabat, penegakan disiplin yang ketat, pembudayaan demosi bagi yang berkinerja rendah, dan seterusnya).
 
Anomali ketiga, teramat sering kita dengarkan keluhan adanya diskriminasi dan ketiadaan standar kesejahteraan sesama PNS. Kementerian Keuangan, BPK, dan Mahkamah Agusng, sudah sejak 2007/2008 menerima remunerasi sebesar 100 persen, sementara banyak K/L yang baru menerima pada tahun 2012, itupun hanya sebesar 40 persen. Namun ada pula yang sama sekali belum menerima hingga tahun 2013 ini. Maka tidak aneh jika sering muncul jokes bahwa birokrasi saat ini sudah berkasta. Ada yang masuk kasta brahmana (yang sudah menerima tunjangan kinerja 100 persen), kasta ksatria (yang sudah menerima tunjangan kinerja 70 persen), kasta waisya (yang sudah menerima tunjangan kinerja 40 persen), dan kasta sudra (belum menerima tunjangan kinerja sama sekali). Ironisnya, diskriminasi seperti ini berjalan hingga bertahun-tahun tanpa ada langkah yang pasti untuk mensejajarkan sistem kompensasi bagi PNS Republik Indonesia. Ironis juga bahwa ternyata institusi yang telah menerima remunerasi sangat besar masih saja terjadi kasus-kasus korupsi dalam jumlah besar. Maka, sudah saatnya agar kebijakan pembayaran remunerasi ini ditinjau kembali, meski secara pribadi saya lebih setuju untuk dihentikan sama sekali. Lebih ekstrem lagi, saya sering berpikir bahwa semestinya penghentian kebijakan remunerasi ini disertai dengan kewajiban untuk mengembalikan ke negara bagi yang sudah mendapatkannya. Sebagai gantinya, pemerintah harus segera merevisi peraturan gaji PNS dengan memberlakukan sistem tunggal (one single payment system). Dengan sistem ini, gaji PNS akan cukup signifikan namun tidak ada lagi sumber-sumber pendapatan lainnya seperti tunjangan, honorarium, upah pungut, persentase atau apapun namanya.
 
Anomali keempat, saya mencermati bahwa di era RB dewasa ini tumbuh kecenderungan lahirnya banyak sekali aturan-aturan baru, namun lupa mengevaluasi efektivitas aturan yang telah ada. Akibatnya, saya menyebut adanya fenomena “surplus regulasi defisit ketaatan”. Padahal kalau kita simak pengalaman berbagai negara seperti Korea, RB justru diterjemahkan sebagai upaya deregulasi atau pemangkasan aturan secara drastis hingga mencapai 50 persen dari regulasi yang ada sebelumnya. Meski Indonesia juga memiliki semangat awal deregulasi di awal bergulirnya RB, namun di lapangan ternyata diterjemahkan secara berbeda. Dampaknya, negara yang mestinya lebih banyak melayani menjadi lebih banyak mengatur. Negara yang seharusnya lebih fokus mencapai tujuan nasionalnya (mission and vision driven) justru lebih fokus pada pembuatan dan pelaksanaan aturan secara kaku (rule driven).
 
Sayangnya, banyaknya aturan tadi tidak berkorelasi dengan meningkatnya ketertiban sosial dan stabilitas politik sebagai tujuan dari pembentukan sebuah aturan. Fenomena empirik sering menyajikan fakta sebaliknya, berupa banyaknya keributan sejak tahap perumusan hingga implementasi sebuah peraturan. Proses pembuatan aturan dan kebijakan publik malah sering menghasilkan kebijakan yang divergen, simbolik, dan involutif.
 
Anomali kelima, RB nampaknya juga menyuburkan budaya formalistik dan mengaburkan esensi sebuah kebijakan. Sebagai contoh, tunjangan kinerja atau tunjangan berbasis kinerja sesungguhnya lebih tepat disebut sebagai tunjangan kehadiran belaka, dan tidak memperhitungkan penilaian kinerja individu sama sekali. Sehebat apapun kinerja seorang pegawai, dia tetap terancam tidak menerima tunjangan kinerja sama sekali jika sering terlambat datang kantor. Sebaliknya, meski seseorang tidak menunjukkan kontribusi berarti bagi organisasi, tetap saja dapat memperoleh tunjangan penuh jika selalu datang dan pulang tepat waktu. Inisiatif individual seorang pegawai untuk menambah jam kerja diluar waktu standar karena beban kerja yang besar, tidak pernah dihargai dengan tunjangan kinerja, atau sekedar untuk mengganti keterlambatan masuk kantor. “Waktu kerja” (07.30 – 16.00 wib) adalah waktu yang secara formal dihitung untuk menentukan tunjangan kinerja, bukan “jumlah jam kerja” yang secara riil dilakukan, bukan pula “kinerja nyata” yang terukur.
 
Di tengah kemajuan teknologi informasi dan siatuasi lalu lintas Jakarta yang semakin parah tingkat kemacetannya, ternyata RB masih menuntut kehadiran dibanding kinerja riil. Ini menjadi ironi yang sangat besar, karena sesungguhnya pertemuan tatap muka dapat diganti dengan tele conference (bahkan juga dengan Skype yang gratis), dokumen dapat dikirim melalui email, komunikasi dapat diganti dengan telepon/sosial media/blackberry, tata persuratan internalpun dapat dilakukan dengan electronic office. Maka, RB yang menegasikan dukungan teknologi ICT ini adalah sebuah fakta yang anakronik.
 
Formalisme birokrasi juga nampak dari sistem monitoring dan evaluasi RB yang dikenal dengan PMPRB (Penilaian Mandiri Pelaksanaan RB). Pengisian lembar kerja yang harus disertai dengan bukti-bukti fisik seperti daftar hadir, foto-foto kegiatan, atau dokumen-dokumen lain yang tangible, mengilustrasikan betapa para penilai RB lebih memperhatikan dan mempercayai dokumen yang amat mudah dimanupulasi dibanding pernyataan komitmen dan jaminan integritas seorang pegawai/pejabat. Maka, tidak aneh pula jika banyak yang menyebut kualitas RB saat ini hanyalah “reformasi dokumen”, bukan reformasi pola pikir, budaya kerja, dan orientasi kinerja.
 
Masih terlalu banyak yang bisa dikritisi dari desain dan praktek RB selama ini. Namun saya ingin menyudahi sampai disini untuk memberi kesempatan rekan lain menggarap bidang kosong lain dari RB. Semoga momentum suksesi kepemimpinan nasional 2014 akan melahirkan sosok pimpinan nasional yang kuat, tegas, cerdas, merakyat, dan “telah selesai dengan dirinya” sehingga sepenuhnya dapat mengabdi untuk kebaikan negeri dan segenap penghuninya, yaitu kita semua …

2 komentar:

Edy Marbyanto mengatakan...

Mas Tri, saya diskusi dengan beberapa kawan Widya Iswara Pusdiklat Kehutanan, sbb:
1. Di Kementrian Kehutanan timbul kegelisahan dan demotivasi karena remunerasi batal dijalankan (tanpa alasan jelas). Padahal karyawan sudah mempunyai ekspektasi tinggi dengan remunerasi untuk memperbaiki pendapatannya.
2. Saya belum melihat konsep remunerasi di kemenhut tapi cerita kawan2 di Pusdiklat terdapat unsur kekurang adilan dimana Widya iswara Senior yang sdh puluhan tahun mengabdi dan yunior yang baru masuk gap insentifnya tidak berbeda jauh. 3. kekurang adilan yang lain adalah antara fungsional dengan struktural dimana untuk struktural lebih besar insentifnya.
4. untuk WI, mengajar didalam merupakan bagian pekerjaan sehingga tdk honor lagi. Tapi kalau WI mengajar di luar, akan ada insetif. hal ini berpotensi untuk menimbulkan pengasong2 yang melupakan tugas didalam lembaga.

itu info kegelisahan sepintas yang saya dapat dari obrolan dengan kawan2 disini (walau mungkin validitasnya masih perlu diuji).

Mohon saya ijin untuk link-an blognya mas Tri dengan blog saya ya

salam

edy

Tri Widodo W Utomo mengatakan...

Monggo mas, dengan senang hati ...
Versi lengkap dari tulisan saya termuat dalam rancangan buku saya yang baru mas. Insya Allah nanti saya kirimkan link-nya ... Matur nuwun sanget atas feedbacknya.