Beberapa waktu yang lalu saya
mengahdiri sidang terbuka promosi doktor dengan mengangkat penelitian tentang
perubahan desa menjadi kelurahan. Tadinya saya tidak tertarik sama sekali
dengan issu ini karena saya anggap hanya sebuah fenomena kebijakan yang terjadi
di tataran administratif belaka. Namun dari pertanyaan dan sanggahan yang
diajukan penguji, saya tersadar bahwa dibalik kebijakan ini terkandung
permasalahan besar, yang jika salah disikapi, akan menjadi kesalahan besar
dalam sistem kebijakan publik atau sistem administrasi negara kita.
Perubahan desa menjadi kelurahan
sendiri selama ini nampaknya menjadi kelaziman belaka seiring dengan
perkembangan masyarakatnya. Karakter masyarakat homogen di pedesaan yang didominasi
sektor agraris (pertanian dalam arti luas) berkembang menjadi masyarakat
majemuk di perkotaan yang lebih mengandalkan sektor industri dan jasa.
Perkembangan seperti inilah yang melegitimasi perubahan status desa menjadi
kelurahan.
Anatomi desa sendiri aslinya
adalah bentuk fused society, yakni
masyarakat yang memiliki ciri tidak terfragmentasi dan tidak ada spesialisasi, sehingga
setiap orang di desa tersebut dapat menjalankan fungsi apapun. Sebagaimana dikatakan
Fred W. Riggs (dalam R.K. Sapru, Administrative Theories and Management
Thought, pp. 246), “If a society is
not at all differentiated, there are no specialists, and everyone can do
everything, it is a fused system”. Ketika sudah mulai tersentuh dengan
kemjuan jaman, ada spesialisasi dan muncul fragmentasi fungsi-fungsi dalam
masyarakat, maka sejak saat itu model fused
society telah berubah menjadi prismatic
society. Riggs menyatakan bahwa “If a
society is differentiated and poorly integrated (mal-integrated), then it is
prismatic”. Desa dapat disebut sebagai masyarakat prismatic jika dalam
masyarakatnya terdapat struktur sosial yang sangat beragam, yang memungkinkan
terjadinya disparitas sosial, ekonomi, kepercayaan, dan kultural. Ada kelompok
yang sangat modern, namun ada juga yang masih sangat tradisional, dan cenderung
ada ketimpangan pembangunan dalam masyarakat. Dengan kata lain, struktur
tradisional dan modern dapat berjalan pada fungsi-fungsi yang sama.
Secara teoretik, desa yang masuk
kategori prismatic society atau desa
yang sudah mulai berkembang dan muncul fungsi-fungsi spesialisasi inilah yang
potensial untuk “dikembangkan” menjadi kelurahan. Namun, menarik untuk
didiskusikan, apakah setiap perubahan kearah modernitas meniscayakan perubahan
desa menjadi kelurahan? Jika ya, apa dasar argumentasi yang bisa diterima
secara filosofis, sosiologis, maupun akademisnya? Adakah sesuatu yang keliru atau
melanggar jika masyarakat berkembang tetap mempertahankan bentuk pemerintahan
“desa”, atau sebaliknya, tabukah membentuk kelurahan yang berbasis masyarakat
tradisional? Saya jadi teringat Shakespeare yang berkata: What’s a name atau apalah artinya nama?
Bagi saya, tidak ada esensi dan
urgensi untuk memperdebatkan nama “desa” atau “kelurahan”. Dengan kata lain,
pada hakekatnya tidak ada urgensi dan esensi untuk mengubah desa menjadi
kelurahan, atau sebaliknya. Yang harus diperhatikan justru adalah perubahan sistem
kekerabatan, pola hidup, dan karakter masyarakat, yang mungkin muncul sebagai
implikasi modernisasi, namun bukan struktur dan sistem pemerintahan pada level
terendah ini yang perlu dicermati. Dengan demikian, saya tidak mendukung ide
dikotomisasi desa dan kelurahan, bahwa desa selalu tradisional dan hanya ada di
Kabupaten (rural), sementara
kelurahan selalu diasosiasikan dengan kemajuan dan hanya berada di Kota maupun
perkotaan (urban).
Memang disadari bahwa gelombang
modernitas seringkali mengakibatkan hilangnya (atau melemahnya) nilai-nilai
tradisional seperti gotong royong, kolektivitas, kepedulian dan hidup guyub (gemeinschaft) masyarakat. Namun perubahan
budaya seperti itu yang dikemudian diwadahi dengan merubah status desa menjadi
kelurahan, sangat boleh jadi semakin memperumit permasalahan. Sebagai contoh, jika
aparat desa terbiasa melayani masyarakat tanpa dibatasi jam kerja formal, maka waktu
pelayanan aparat kelurahan terbatas hanya 8 jam per hari. Karakter organisasi yang
organis seperti desa, berubah menjadi organisasi mekanis seperti kelurahan. Organisasi
yang biasanya lebih berbasis nilai-nilai kultural, tiba-tiba menjadi organisasi
yang sangat berjiwa strukturalis. Perubahan budaya seperti ini bagi saya adalah
sebuah transformasi yang tidak sejalan dengan ide awal perubahan status desa
menjadi kelurahan, yakni untuk meningkatkan pelayanan publik.
Jika indikasi lunturnya karakter
hidup yang guyub tadi benar, maka bagi saya ini sudah menjadi alasan pembenar
untuk menolak perubahan status desa menjadi kelurahan. Atau, perubahan status
ini dapat dilakukan sepanjang ada jaminan bahwa hadirnya kelurahan tidak akan
mendegradasi sistem sosial budaya dalam masyarakat, termasuk kehidupan yang
berbasis kekerabatan tadi. Dengan demikian, pilihannya hanya ada dua, yakni: 1)
bagaimana agar perubahan desa menjadi kelurahan tidak menghilangkan nilai-nilai
tradisional (kelurahan bersendikan nilai-nilai lokal); atau 2) bagaimana tetap
mempertahankan desa ditengah modernisasi (desa dengan nilai-nilai modernitas).
Selain pertimbangan kemungkinan
punahnya tata nilai dan sistem budaya masyarakat, perubahan desa menjadi kelurahan
juga harus ditinjau dari sisi hilangnya otonomi desa. Pada bentuknya yang
paling asli, desa pada hakekatnya adalah sebuah republik mini (self governing
community). Artinya, desa adalah sebuah entitas politik yang mandiri, yang
sejajaran kedudukan hukumnya sebagaimana layaknya suatu negara. Artinya, desa berhak mempunyai wilayah sendiri yang ditentukan oleh
batas-batas yang sah, berhak mengurus dan mengatur pemerintahan dan rumah
tangganya sendiri, berhak memilih dan mengangkat kepala daerahnya atau majelis
pemerintahan sendiri, berhak mempunyai harta benda dan sumber keuangan sendiri,
berhak memungut pajak sendiri, serta berhak atas tanah sendiri (Soetardjo
Kartohadikoesoemo, Desa, 1960). Namun
dalam negara kesatuan (unitary states)
tidak dimungkinkan adanya state within the state atau republik dalam
republik. Itulah sebabnya, status desa lebih merupakan local self government
melalui desentralisasi. Dalam posisi seperti ini, desa ibarat “daerah
otonom” sebagaimana layaknya provinsi dan kabupaten/kota, meskipun kebijakan
yang berlaku saat ini (UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah) tidak secara
eksplisit mengatakan demikian. Sayangnya, trend kedepan justru mengarahkan
desa-desa yang telah maju untuk menjadi kelurahan, sehingga desa akan
kehilangan otonominya serta menjadi perangkat daerah yang bersifat
administratif belaka. Maka, dalam kacamata desentralisasi dan otonomi daerah,
perubahan desa menjadi kelurahan yang berakibat pada hilangnya otonomi desa
adalah sebuah kerugian besar negeri ini.
Argumen
lain yang memberatkan peralihan status desa menjadi kelurahan menurut saya
adalah pertimbangan administratif. Jumlah desa dewasa ini yang mencapai 74 ribu
desa, dengan 32 ribu diantarannya masuk kategori desa tertinggal (data
Kementerian PDT, 2013). Nah, jika 42 ribu desa dianggap “tidak tertinggal” yang
berarti memiliki basis pembangunan yang cukup maju, maka kategori inilah yang
prospektif untuk dikembangkan menjadi kelurahan. Namun tidakkah terpikir bahwa
jika rata-rata pegawai dalam 1 desa adalah 10 orang, maka ada 420.000 pegawai
desa yang harus diangkat menjadi PNS, mengingat seluruh pegawai kelurahan
adalah PNS. Berapa banyak anggaran negara (APBN/APBD) yang harus disediakan
untuk membayar gaji mereka? Bukankah ini akan menjadi beban yang sangat berat
bagi Negara?
Oleh
karena itu, berdasarkan tiga argumentasi diatas, saya sangat tidak setuju
dengan kebijakan perubahan status desa menjadi kelurahan. Jika memungkinkan,
justru kelurahan-kelurahan yang ada dapat secara bertahap dikembalikan sebagai self governing community,
yang akan memperkaya khazanah budaya dalam sistem dan struktur pemerintahan di
Indonesia. Jika tidak mau melakukan perubahan kelurahan menjadi desa, maka jalan
tengah yang dapat dipilih adalah dengan tetap mempertahankan dual system, yakni mempertahankan dan tetap
memberlakukan desa dan kelurahan yang saat ini sama-sama eksis.
Serpong, 2 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar