Saya kira sudah menjadi pengetahuan
kita semua bahwa hidup itu tidaklah mudah, hidup selalu penuh dengan tantangan,
hambatan, dan perjuangan untuk menggapai kebaikan dan kebahagiaan. Kebaikan dan
kebahagiaan hidup itu tidak pernah datang dengan sendirinya, Mereka menuntut
ditunaikannya rangkaian kewajiban – bisa pendek atau panjang, bisa mudah bisa
teramat sulit, bisa cepat atau sangat lambat – sebagai prasyarat menuju
kebaikan dan kebahagiaan hidup. Prasyarat inipun sesungguhnya bukan jaminan
bahwa kebaikan dan kebahagiaan akan tergapai secara otomatis. Ini hanyalah
langkah, tahapan, dan arah menuju kepada kebaikan dan kebahagiaan tadi. Bisa saja
di tengah jalan atau diujung usaha kita, tiba-tiba datang lagi kesulitan yang
lebih besar, sehingga upaya dan langkah panjang yang telah kita tempuh, kita anggap
sebagai sebuah kegagalan. Meskipun tidak memberikan jaminan, namun tanpa ada
upaya, langkah, tahapan, dan arah yang jelas, maka kebaikan dan kebahagiaan hidup
akan jauh lebih sulit untuk diwujudkan.
Dan syukurlah bahwa hampir di
seluruh sistem sosial budaya kita, kesadaran bahwa hidup memiliki prasyarat itu
sudah tumbuh. Di masyarakat Sunda, misalnya, ada pepatah berbunyi teu ngakal moal ngakeul, yang kurang
lebih artinya untuk ngakeul (proses
akhir mengolah makanan) harus menggunakan akal alias berpikir kreatif. Ada pula
pepatah lain: teu nyangkul moal mikul
yang artinya jika kita tidak mencangkul (asosiasi untuk bekerja), maka kita
tidak akan memanen (mendapatkan hasil). Istilah serupa yang sering terdengar
misalnya indih tunduh teu indit butuh,
yang bermakna bahwa kebutuhan hidup hanya bisa dipenuhi jika seseorang indit (pergi mencari nafkah atau
berikhtiar), se-tunduh (mengantuk
atau malas) apapun. Sementara itu di Jawa sejak jaman para pujangga dahulu kala
sudah ada sepenggal bait tembang Dandanggula yang berbunyi ngelmu iku kalakone kanthi laku. Maknanya, ilmu (dalam arti luas
bukan hanya pengetahuan semata) harus digapai melalui laku (usaha). Dalam pandangan orang Jawa lama, laku itu bisa bersifat rohaniah seperti meditasi, puasa, dzikir,
dan sebagainya, atau bersifat jasmaniah seperti belajar, olah kanuragan, atau bekerja.
Masyarakat di Eropa dan Amerika pun memiliki ekspresi sosial berbunyi no pain no gain. Artinya, tidak pernah
ada gain (hasil, capaian, kemajuan)
tanpa pain (penderitaan, perjuangan,
pengorbanan).
Nilai-nilai sosial tadi juga
sejalan dengan ajaran agama, misalnya salah satu ayat dalam Qur’an yang
berbunyi innama ‘al ‘usri yusraa
(sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan). Tidak ada kemudahan selain
setelah melewati kesulitan. Sama halnya tidak ada musim semi tanpa didahului
oleh musin dingin yang menggigit tulang belulang; tidak ada pelangi yang indah
dan ceria sebelum datang hujan lebat. Tidak ada bintang gemintang yang
berkerlip ceria tanpa siang terik dan menyengat yang mendahuluinya. Baik, musim
dingin, hujan lebat, maupun terik matahari di siang bolong, adalah prasyarat
datangnya musim semi yang penuh bunga, pelangi berwarna warni, dan malam penuh
bintang.
Jadi, ketka kita belum puas
dengan kualitas hidup kita, maka perbaikilah prasyarat-nya: kerja lebih keras,
berpikir lebih cerdas, berbuat lebih ikhlas, dan perbanyaklah doa, sedekah, dan
terus menjalin silaturahmi. Kalaupun prasyarat kita masih saja belum
mendatangkan kehidupan yang lebih baik dan membahagiakan, yakinlah bahwa semua
itu bukan sesuatu yang sia-sia. Kita harus yakin bahwa kebaikan sekecil apapun tidak
pernah sia-sia. Entah dimana, namun hasil dari kebaikan tadi akan menjadi
tabungan bagi pelakunya. Sebagai tabungan, maka suatu ketika akan dapat diambil
manfaatnya, entah sewaktu planet bumi masih eksis ataukah masa-masa setelah
kemusnahan alam semesta. Dengan kata lain, kebaikan dan kebahagiaan hidup tadi
akan tercapai setelah segala prasyarat dituntaskan. Mungkin ada hasil yang instant, namun mungkin juga akan terjadi
delay dalam terwujudnya hasil dari
prasyarat tadi. Kalaupun terjadi delay,
bukan berarti hasil tadi tidak akan sampai dan diterima oleh seseorang. Sebagaimana
sebuah tabungan, semakin lama mengendap, maka semakin besar pula “bunga” yang
akan diterima selain nilai pokoknya.
Terlepas dari soal kapan manfaat
akan diterima oleh seseorang yang telah menjalankan prasyarat, sebagai seorang
hamba ciptaan Allah YMK tugas dan kewajiban kita adalah berikhtiar seoptimal
mungkin, sementara hasilnya biarlah Sang Pencipta Yang Maha Berkehendak yang memutuskannya.
Singkatnya, mari kita pikirkan dan lakukan prasyarat kehidupan semampu kita itu,
jangan terlalu terganggu soal hasil nantinya. Do our best, and God will take the rest …
Jakarta, 16 Oktober 2013