Don’t judge a
book from its cover.
Demikian pepatah yang sangat terkenal berisi nasihat untuk tidak melihat
kepribadian dan kualitas seseorang dari penampilannya semata. Namun dalam
konteks Thailand, pepatah seperti itu nampaknya sudah sangat usang. Kemasan,
penampilan, dan cara penyajian justru menjadi cara ampuh untuk meyakinkan
siapapun bahwa kualitas Thailand sama seperti yang terlihat. Itulah sebabnya,
di Thailand kita bisa memberikan penilaian (judgement)
hanya dengan mengamati apa yang terlihat di sekeliling kita (cover). Itulah kesan paling menonjol
yang saya dapatkan dari negeri kerajaan yang terkenal dengan sebutan negeri
gajah putih itu.
Ya,
teknik mengemas sebuah produk atau jasa di Thailand merupakan daya tarik utama
yang membuat seseorang mau mencoba sesuatu atau membeli sesuatu. Jika pedagang
di berbagai negara pada umumnya langsung mempromosikan barang dagangannya,
beberapa pengusaha Thailand justru sangat inovatif dengan mengajak
pengunjungnya untuk mengetahui berbagai hal sekitar produk tersebut. Sebagai
contoh, ketika rombongan kami mengunjungi Gems and Jewelry di Pattaya, saya
berpikir bahwa kami akan langsung melihat aneka ragam permata dan perhiasan
lainnya. Ternyata kami diarahkan kedalam sebuah gua gelap dengan mengendarai
kereta bermuatan empat orang, mirip sekali dengan istana boneka di Dufan Ancol.
Saya masih belum paham apa yang akan terjadi, hingga seorang petugas menekan
tombol berbendera Merah Putih. Setelah tombol tersebut ditekan, barulah saya
mengerti bahwa kami akan diajak tour
melihat bagaimana batu-batu mulia digali hingga dibentuk menjadi cincin atau
perhiasan lainnya. Sepanjang tour tersebut
kami dibawa kedalam kehidupan bawah tanah untuk mengetahui bagaimana para
penambang bekerja menemukan, membongkar, mengangkat, dan mengolah batu-batuan
melalui teknik penambangan dan penggalian yang paling tradisional hingga teknik
hidrologi.
Ketika
kami keluar dari “gua” tersebut, lebih dari 10 anak-anak muda telah menunggu
rombongan kami. Mereka adalah orang yang dididik secara khusus untuk melayani
dengan menggunakan bahasa negara asal pengunjung tersebut. saya sungguh surprise dengan kemampuan berbahasa
Indonesia mereka yang begitu sempurna sampai-sampai saya memastikan bahwa
mereka memang bukan orang Indonesia. Kami dilayani dengan prinsip “satu
pelanggan satu pelayan” (one costumer one
servant), dan ini saya anggap sebagai sebuah terobosan besar dari pemilik
toko permata tersebut dengan mempekerjakan begitu banyak orang untuk melayani
tamu dari berbagai negara. Merekapun begitu professional saat menjelaskan
bagaimana batu-batu mulia tadi dipecah menjadi kecil-kecil, dibentuk, digosok,
dan seterusnya hingga dipajang di gallery.
Perlu
saya tambahkan disini bahwa sepanjang perjalanan kami di “gua” itu, disela-sela
penjelasan tentang proses dihasilkannya perhiasan tersebut, mereka juga
menyisipkan pesan bahwa batu-batu permata tersebut adalah benda yang tidak
ternilai harganya, yang sangat cocok dijadikan sebagai tanda cinta untuk
orang-orang yang paling kita cintai. Meski saya paham bahwa pesan seperti ini
adalah upaya menyentuh alam bawah sadar (subconscious
mind) pengunjung, namun dengan kesadaran penuh saya membenarkannya, dan
bahkan saya menjadi salah satu “korban” dari bagusnya cara mereka mengemas. Sebagai
seorang yang awam tentang batu permata, sikap professional dan pelayanan prima
yang mereka tunjukkan membuat saya tidak ragu-ragu untuk membeli sepotong
cincin. Seumur hidup, baru kali inilah saya membeli cincin untuk orang yang
paling saya cintai, karena pada saat menikahpun saya mempercayakan istri saya
untuk membeli cincin pernikahan. Ini semua terjadi karena efek pengemasan yang
luar biasa tadi. Pendeknya, mereka tidak meminta saya membeli, apalagi
memaksa-maksa dengan menawarkan potongan harga, melainkan sayalah yang ingin
membelinya. Bayangkan, berapa ratus orang yang bisa mereka pengaruhi dalam satu
hari, sebagaimana mereka telah mempengaruhi saya.
Teknik
promosi (mengemas dan menyajikan) yang sangat baik juga saya saksikan di sebuah
toko madu. Rombongan kami tidak dibiarkan bebas melihat-lihat atau menawar,
melainkan dimasukkan dalam sebuah ruang seperti meeting room, dimana disana sudah disiapkan gelas kecil berisi madu
untuk seluruh rombongan. Selanjutnya, pemilik toko atau pegawainya memberi
penjelasan tentang bagaimana madu, bee pollen, dan royal jelly dihasilkan dan
diolah. Mereka juga menjelaskan dengan rinci tentang manfaat ketiga produk itu
dan cara pemakaiannya. Satu hal yang pasti, presentasi itu diberikan dalam
bahasa sesuai asal negara pengunjung. Tidak lupa pula mereka memberi sample bee polen dan royal jelly untuk
kami cicipi secara langsung.
Mereka
tidak berkata: “belilah produk kami,
karena produk kami adalah produk nomor satu”, seperti lazimnya pedagang
kecap berkata. Mereka cenderung menyampaikan pesan: “inilah kami dan produk kami, keputusan ada pada anda untuk membeli atau
tidak”. Teknik komunikasi bisnis yang persuasif namun meyakinkan seperti
inilah yang saya anggap inovatif dan jauh lebih efektif untuk menggaet pembeli
baru dan mempertahankan pelanggan lama. Sebenarnya sayapun cukup terpengaruh
dengan cara berjualan mereka ini. Hanya saja, saya menghindar membeli barang
yang harus masuk bagasi pesawat, karena saya lebih nyaman dengan barang di
kabin. Itulah sebabnya, saya mengurungkan niat untuk membeli madu. Bee pollen
dan royal jelly saya memang tidak tertarik karena harganya yang terlalu mahal
untuk ukuran saya.
Sedikit
berbeda dengan kasus toko permata atau toko madu diatas, Thailand juga punya
cara mengemas sesuatu secara spektakuler. Mereka menawarkan makan malam diatas
kapal yang menyusuri Sungai Chao Phraya selama dua jam. Bagi saya, sebenarnya
tidak ada yang istimewa dengan hal ini. Kapalnya terhitung kapal biasa dan jauh
dari kelas kapal pesiar. Menu makanannya-pun sangat standar, tidak lebih baik
dibanding makanan di sebuah resepsi pernikahan. Indonesia memiliki
sungai-sungai besar yang jauh lebih banyak dan lebih eksotis. Yang membedakan
adalah kemampuan mereka mengemas potensi, mengelolanya dengan baik, dan
mempromosikannya dengan gencar. Mereka menyambut tamunya dengan dua pemain saxophone di pintu masuk kapal, setelah
sebelumnya mereka sambut dengan tarian khas bartender dari atas kapal. Dan, master of ceremony sekaligus penyanyi
diatas kapal mampu meyanyikan lagu-lagu dari seluruh negara asal pengunjung.
Indonesia sebagai negara dengan tamu terbanyak mendapatkan kehormatan dengan
jumlah-lagu-lagu yang didendangkan. Dari lagu Bujangan, Kemesraan, Cucakrowo,
Kopi Dangdut, hingga lagu yang dipopulerkan oleh Caesar dengan goyang
Caesar-nya, menjadi menu yang memeriahkan suasana malam itu. Disitulah
pengunjung dari berbagai negara lebur menjadi satu, berjoged bersama dan saling
menebar kebahagiaan. Maka, makan malam diatas kapal menjadi sebuah kemewahan dan
momen yang istimewa. Rasanya belum ke Bangkok jika kita belum menikmati sungai
terbesar di Thailand ini pada malam hari bersama ribuan pengunjung lainnya.
Sesungguhnya
masih banyak lagi contoh-contoh bagaimana Thailand mengemas sesuatu yang
sederhana dan memberikan nilai tambah yang sangat besar, sehingga produk yang
sederhana tadi berubah menjelma menjadi produk baru yang berbeda. Sebagai
contoh, ketan adalah sesuatu yang murah dan sederhana. Harga ketan-pun pada
umunya sangat terjangkau karena mudah diperoleh dimana-mana. Namun, ketika
ketan tadi dipadu dengan buah manga, durian, dan sedikit ditambah santan
(teknik kombinasi dalam inovasi), maka berubahkan status ketan yang biasa
nongkrong di pasar-pasar tradisonal menjadi sajian berkelas untuk tamu hotel
atau peserta konferensi internasional.
Ternyata,
kemasan bisa jauh lebih penting dari isinya, sepanjang kita bisa menembahkan
nuansa inovasi didalamnya. Jangan pernah sepelekan persoalan kemasan. Kesan
pertama terhadap seseorang, suatu bangsa, atau sebuah produk, selalu diawali
dari penampilan atau kemasan. Jika kemasannya sudah tidak menarik, jangan
pernah berharap orang akan penasaran untuk mengetahui atau menikmati isinya.
Untuk itu, pemerintah dan para pelaku usaha di Indonesia harus mulai memberi
perhatian serius untuk mengemas produk-produk unggulan, baik barang maupun jasa,
sebaik dan semenarik mungkin. Benar bahwa a
cover can’t tell everything inside the book, tetapi we can judge a book from its cover, indeed …
Hotel
Asia Bangkok, 31 Agustus 2014
*menjelang
check-out dan kembali ke tanah air tercinta*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar