Tulisan ini adalah rekaman saya
terhadap sosok bernama Agus Dwiyanto. Beliau adalah seorang Guru Besar Ilmu
Administrasi Negara UGM yang ditakdirkan menjadi Kepala LAN 2012-2015 dan
membawa banyak perubahan di dalamnya. Selama 3 tahun menjadi pembantunya, saya dapat
meringkaskan seluruh kiprah beliau dalam 3 kata kunci, yakni: membuka gerbang
reformasi, mendorong gerbong reformasi, dan implementasi tujuh disiplin seorang
pemimpin.
Mungkin sebuah kebetulan jika
saya menemukan buku karangan Jeff Wolf & Ken Shelton berjudul Seven Disciplines of A Leader: How to Help
Your People, Team, and Organization Achieve Maximum Effectiveness (John
Wiley & Sons, 2015). Begitu saya membaca 7 disiplin seorang pemimpin dalam
buku itu, pikiran saya langsung tertuju pada sosok pak Agus dengan serangkaian
gebrakan yang dilakukan selama memimpin LAN. Dari displin pertama hingga
terakhir, semuanya telah dipraktikkan secara sempurna oleh beliau.
Uniknya, beliau menerapkan tujuh
disiplin tadi justru sebelum lahirnya buku ini. Itu berarti bahwa pak Agus
menjalani tugas kepemimpinannya dengan sentuhan seni. Ya, kepemimpinan adalah
sebuah seni, yang lahir dari intuisi yang tajam, refleksi yang dalam, dan imajinasi
yang panjang. Olah pikir beliau tentang reformasi dan inovasi tidak datang dari
untaian teori klasik yang diajarkan di bangku kuliah atau ruang seminar. Semua itu
dilakukan berlandaskan pada dorongan hati untuk memberi yang terbaik bagi
institusi (passion) dan panggilan
tugas untuk membenahi berbagai carut-marut negeri (calling). Maka, langkah-langkah “berani” yang beliau tempuh telah
menjadikan reformasi bukan sebagai sesuatu yang diajarkan dan dipikirkan (reform that is taught and thought),
melainkan sesuatu yang bekerja dalam aras praksis (reform that works).
Coba kita simak, dikala banyak
pengamat, pejabat, dan masyarakat awam hanya meneriakkan gagasan membangun
arsitektur kelembagaan pemerintah yang ramping dan efisien, pak Agus pada
transmisi pertama sudah melakukan perampingan struktur Eselon I di LAN. Beliau bekerja,
bukan berwacana. Beliau memberi bukti, bukan sekedar mimpi. Nampaknya pak Agus sadar
benar tentang perlunya walk the talk. Namun yang terjadi sesungguhnya lebih dari itu. Beliau juga living
the walk, yakni menghidupi jalan yang dipilih dengan nilai-nilai yang disepakati
bersama. Apapun program yang dilakukan, haruslah bersumber dari basic values
yang menjadi spirit bagi organisasi dan segenap pegawainya.
Salah satu nilai yang
diperjuangkan pak Agus dalam memulai perubahan kelembagaan ini adalah keinginan
menghilangkan fragmentasi dalam pelaksanaan tugas karena besar atau rumitnya
struktur (fragmented organization). Mindset bahwa banyaknya dan tingginya
level jabatan akan mencerminkan organisasi yang berwibawa, sudah waktunya
dikubur dalam-dalam. Organisasi justru perlu didesain seefektif mungkin untuk
membuat hubungan antar unit dan antar pegawai lebih terintegrasi. Langkah inilah
yang kemudian menjadi trend nasional, dimana banyak K/L yang mengikuti
langkah LAN melakukan perampingan struktur organisasinya. Dengan restrukturisasi
kelembagaan yang bermuara pada terwujudnya consolidated
and integrated organization (bukan sekedar downsizing) ini, program reformasi birokrasi (RB) nasional menjadi lebih
bertaji dibanding sebelumnya, terutama pada area perubahan kelembagaan. Terkait
dengan buku Jeff Wolf diatas, saya berani mengatakan bahwa pak Agus telah
menerapkan disiplin pemimpin yang pertama, yakni Initiative and Influence: Seize the Reins and Set an Example for Others.
Pak Agus adalah juga seorang
pemimpin yang visioner. Ketika banyak orang menghindar untuk berinovasi karena
dipandang sebagai praktek breaking the
rule, beliau justru meminta mandat baru kepada pemerintah agar LAN ditunjuk
sebagai institusi yang bertugas mengembangkan inovasi administrasi negara. Cukup
masuk akal jika inisiatif beliau ini tidak mudah untuk dipahami oleh jajaran
pegawai LAN saat itu. Kebingungan merebak disekitar pertanyaan tentang apa itu inovasi
administrasi negara, apa ruang lingkupnya, apa bedanya dengan kajian, bagaimana
metode dan langkah-langkah berinovasi, dan sebagainya. Namun dengan penjelasan
dan ikhtiar yang tanpa lelah, sekarang kami bahkan sampai kepada kesimpulan
bahwa inovasi adalah jawaban terhadap
semua permasalahan, baik pada level organisasi maupun pada level kenegaraan.
Kemampuan beliau membuka labirin
masa depan dan memilihkan strategi untuk menjadi pemenang di masa depan menguatkan
pandangan saya bahwa beliau adalah seorang inovator, yang dicirikan oleh kemampuan
melihat sesuatu yang tidak dilihat oleh orang lain (see what others don’t). Beliau telah sangat berhasil meyakinkan
kami, khususnya para pegawai di Kedeputian Inovasi, bahwa inovasi adalah
satu-satunya strategi untuk menang. Ketika belakangan kami menemukan kutipan
dari Steve Jobs yang berbunyi innovation
is the only way to win, kami sudah memahami maknanya karena kami sudah
meyakininya terlebih dahulu. Dan ternyata, hanya dalam setahun sejak mandat
inovasi diterima LAN, banyak daerah yang sangat antusias menjadi laboratorium
inovasi LAN dan berkeinginan kuat menjadi lumbung inovasi nasional. Jika diibaratkan
dengan gerbong kereta yang selama ini mandeg, inovasi sudah mulai bergerak dan
siap melaju kencang. Inilah disiplin kedua seorang pemimpin yang kami terima
dari pak Agus, yakni Vision, Strategy,
and Alignment: The Progression from Plan to Accomplishments Marks a True Leader.
Ada hal lain yang menarik dari
sosok pak Agus. Sebagai seorang pemikir besar yang dibuktikan dengan puluhan buku
hasil karyanya, beliau adalah tipe pemimpin yang berjiwa eksekutor. Dalam berbagai
kesempatan, beliau selalu menegaskan keberaniannya melindungi anak buah dengan
mengambil segala resiko yang mungkin muncul dari setiap kebijakan yang
ditempuh. Beliau menginginkan anak buahnya tidak ragu-ragu dalam menjalankan
tugas, dan mampu bekerja dalam kecepatan penuh. Selaras dengan keinginan
seperti ini, beliau juga memberi keleluasaan bagi stafnya untuk menggunakan
akal sehat ketika menghadapi sebuah persoalan atau tantangan baru. Beliau bukan
tipe pemimpin yang senang saat anak buah berbondong-bondong meminta petunjuk
dan arahan. Bagi beliau, akal sehatlah yang menjadi sumber petunjuk bagi
pegawai dalam menentukan langkah. Sebagai
seorang eksekutor yang cenderung perfeksionis, beliau meminta semua bawahannya
untuk menerapkan zero tolerance untuk setiap penyimpangan atau perlakuan
yang tidak semestinya. Maka, pantaslah jika di era kepemimpinan beliau, banyak
peserta diklat yang tidak lulus atau ditangguhkan kelulusannya, sesuatu yang
tidak pernah ditemui pada masa silam.
Pak Agus adalah juga contoh
pejabat yang memiliki sensitivitas anggaran sangat tinggi. Berulang kali beliau
menekankan semua kegiatan harus worth spending. Saya sendiri adalah salah satu pegawai yang pernah kena semprot
beliau karena melakukan perjalanan dinas untuk keperluan sosialisasi program
inovasi. Meskipun menurut kami cukup penting karena inovasi merupakan subyek
baru yang harus dipahami banyak orang, namun beliau melihat masih ada prioritas
lain yang lebih mendesak. Dengan sensitivitas seperti itulah, beliau juga tidak
mendukung penggalian data ke lapangan kecuali jika instrumentasi dan metodologi
penelitiannya sudah dipersiapkan secara matang. Sikap seperti inilah yang menunjukkan
teraplikasikannya disiplin ketiga seorang pemimpin, yakni Priorities,
Planning, and Execution: Execution Cannot Succeed without the Team’s Acceptance
and Endorsement.
Disiplin
keempat menurut Jeff Wolf adalah Social/Emotional/Political Intelligence:
The Tribulations of Leadership and Their Remedies. Disiplin ini termanifestasikan
dari hal kecil seperti menghilangkan panggilan dengan jabatan, mengadakan
pertemuan dengan seluruh pegawai setelah senam kesegaran jasmani hari Jum’at
(meskipun tidak rutin), menghilangkan formalitas dalam komunikasi harian, dan
menerapkan fleksibilitas dalam berbagai hal, seperti format laporan peserta
diklat, proses dan produk pembelajaran, dan sebagainya. Beliau juga memperkenalkan
istilah “merawat institusi”, berupa alokasi satu hari dalam satu minggu untuk
memikirkan organisasi agar semakin lebih baik. Praktek merawat institusi ini ternyata
juga menjadi kebiasaan yang diterapkan di perusahaan Apple Inc., yang terbukti
menjadikan perusahaan ini sebagai organisasi paling terkemuka di planet bumi
saat ini. Intinya, beliau membangun organisasi bukan hanya dari hardware-nya
saja, namun juga software-nya, yakni budaya kerja yang berorientasi
kualitas dan kebersamaan.
Tanpa terasa, tulisan saya sudah
cukup panjang. Maka, saya ingin menghentikan sampai disini meski masih ada tiga
disiplin lainnya, yakni: 1) Reciprocation,
Collaboration, and Service; 2) Love
and Leverage: There Is No Substitute for Passion about Work; dan 3) Renewal and Sustainability: Those who
Practice Renewal and Sustainability Avoid Common Pitfalls. Tentu saja,
ketiga disiplin juga menonjol sebagai sebuah habit yang ditradisikan pak Agus selama tiga tahun di LAN. Sengaja
saya biarkan tanpa elaborasi untuk memberi kesempatan kolega saya di LAN
melakukan refleksi atas diri sang Inspirator, pak Agus Dwiyanto.
Akhirnya, rekaman yang saya
paparkan diatas memberi kesimpulan bahwa membicarakan administrasi publik di
Indonesia tanpa melihat peran seorang Agus Dwiyanto, adalah sebuah anakronisme
atau kesalahkaprahan. Mungkin pernyataan ini sedikit berlebihan, namun harus
diakui bahwa pembaharuan praktek penyelenggaraan pemerintahan selama tiga tahun
terakhir (2012-2014) sangat diwarnai oleh pemikiran dan tindakan-tindakan
beliau. Pembaca yang tidak turut mengalami proses transformasi di LAN, sangat
boleh jadi menilai tulisan ini tendensius untuk kepentingan tertentu. Bahwa tulisan
ini subyektif, iya, karena saya tidak meminta pendapat dan konfirmasi dari
orang lain terhadap opini saya. namun sebagai seorang Ahli Peneliti Utama yang 20
tahun lebih dididik untuk boleh berbuat salah namun tidak boleh berbohong, saya
tetap menjaga kredibilitas profesi saya. Selain itu, tulisan ini saya buat
setelah pak Agus menuntaskan pengabdiannya di LAN, sehingga beliau tidak dapat
lagi membuat kebijakan apapun atas tulisan saya ini. Sayapun pernah melakukan
hal yang sama untuk pimpinan saya sebelumnya, yakni pak Desi Fernanda. Dengan kata
lain, tulisan ini murni refleksi seorang manusia terhadap manusia lainnya,
sebagai upaya kecil membangun budaya apresiasi dalam birokrasi pemerintahan.
Jakarta, 1 Juni 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar