Oleh: Tri Widodo W. Utomo
Seorang filosof Yunani Kuno, Herakleitos dari Efesus, atau sering kita kenal dengan Heraclitus, pernah berucap “There is nothing endures but change” (tiada yang abadi kecuali perubahan).
“Mantra” itu pula yang nampaknya berlangsung di Lembaga Administrasi Negara (LAN). Sejak tahun 2013 hingga sekarang, berbagai perubahan terus terjadi dan terasa semakin akrab bagi seluruh pegawainya. Perubahan bahkan sudah bergerak lebih dalam menjadi kebiasaan dan norma baru (the new normal).
Satu diantara aneka ragam perubahan tersebut terjadi di area kelembagaan. Lebih khusus lagi dalam tulisan ini kelembagaan di bidang inovasi. Kisah perubahan diawali ketika Prof. Agus Dwiyanto diangkat sebagai Kepala LAN pada tahun 2012. Beliau memiliki visi strategis untuk mendorong dan mempercepat inovasi sektor publik di Indonesia. Sayangnya, pada waktu itu belum ada institusi yang secara khusus bertugas memberikan fasilitasi dan meningkatkan kapasitas berinovasi bagi jajaran pemerintahan, khususnya di daerah. Maka, beliau mengambil inisiatif dengan mengusulkan unit kerja baru kepada Wakil Presiden Budiono. Gayung bersambut, gagasan itu justru telah lama ditunggu oleh pemerintah, sehingga usulan pak Agus diterima tanpa keberatan sedikitpun.
Maka, lahirlah Deputi Inovasi Administrasi Negara (DIAN) sebagai struktur dan fungsi baru di LAN. Unit kerja Eselon 1 ini dibentuk melalui Peraturan Presiden No. 57/2013 tentang LAN. Sebagai unit kerja baru, tentu tidak bisa langsung berlari kencang. Di bulan-bulan awal DIAN disibukkan untuk merancang program yang mampu mengungkit kesadaran berinovasi di kalangan ASN. Salah satu program yang mendapatkan animo sangat besar adalah Laboratorium Inovasi, sebuah inisiatif advokasi yang terdiri atas 5 tahap, yakni Drum-up, Diagnose, Design, Deliver, dan Display (pada perjalanannya dikembangkan menjadi 6D dengan menambahkan Documentation). Program ini bertujuan untuk membangkitkan willingness to innovate, sekaligus meningkatkan ability to innovate. Mekanisme yang dilakukan adalah dengan pendekatan inside-out, dalam arti ide inovasi yang akan dikelola menjadi produk pembaharuan dalam tata kelola pemerintahan maupun pelayanan publik, harus lahir dari pejabat/instansi yang ingin berinovasi tersebut. Pendampingan dari DIAN (outside-in) hanya bersifat stimulatif, semacam inkubasi atau pengeraman untuk mematangkan sebuah gagasan. Itulah sebabnya, proses kreatif ini membentuk pola co-production atau co-creation.
Diluar dugaan, sambutan Pemda sangat luar biasa. Tahun 2015 yang merupakan uji coba di 4 daerah dan sepenuhnya dibiayai LAN, pada tahun 2016 melonjak 300 persen menjadi 13 daerah, dengan pembiayaan sebagian besar oleh daerah. Tahun 2017 meningkat lagi menjadi 20 daerah, dan tahun 2018 menjadi 30 daerah yang didampingi (tahun 2019 masih ada 30-an daerah baru yang sedang dan akan dibina). Jumlah inovasinya-pun meningkat cukup signifikan. Berturut-turut pada periode 2015-2018 dihasilkan inovasi sebanyak 281, 1541, 1767, dan 3462 inovasi, sehingga total ide/produk inovasi yang dihasilkan sebanyak 7051.
Capaian angka-angka diatas sudah cukup sebagai ilustrasi membaiknya kesadaran dan kemampuan berinovasi di kalangan pemerintah. Adanya berbagai penghargaan kepada daerah yang inovatif, seperti dari Kementerian Dalam Negeri (IGA Award), Kemenpan RB (Sinovik), UNPSA (Public Service Award), Majalah Sindo (Kepala Daerah Inovatif), Apeksi-Apkasi (Entrepreneur Award), LAN (Inagara Award) dan sebagainya, semakin meneguhkan pandangan bahwa kondisi inovasi hingga akhir tahun 2018 sudah sangat berbeda dibanding 5 tahun sebelumnya.
Atas dasar progres yang exponensial tersebut, cukup masuk akal jika keberadaan DIAN tidak perlu terlalu lama dipertahankan. Ketika inovasi sudah menjadi budaya di setiap instansi pemerintah, secara logika tidak perlu lagi ada institusi yang secara khusus memberikan pendampingan untuk berinovasi. Estimasi saya, 10 tahun adalah batas paling lama eksistensi DIAN. Lebih dari itu justru bisa dianggap sebagai sebuah kegagalan karena tidak mampu mendinamisasi sektor publik dengan pelangi inovasi yang berwarna-warni di setiap penjuru negeri.
Dalam perkembangannya, menjelang akhir tahun 2018 lahirlah Peraturan Presiden No. 79/2018 tentang LAN yang meleburkan DIAN dan DKK (Deputi Kajian Kebijakan) menjadi satu unit kerja. Fungsi inovasi tidak lagi dijalankan oleh unit Eselon 1, melainkan hanya oleh 1 Pusat (Eselon 2), yakni Pusat Inovasi Administrasi Negara (sebut saja PIAN). Artinya, DIAN telah mengalami transformasi fundamental menjadi PIAN hanya dalam waktu 5 tahun!
Tantangan PIAN jauh lebih berat, bukan hanya untuk melayani mitra daerah yang semakin banyak dan semakin menuntut kualitas yang lebih baik, tetapi juga untuk melakukan konsolidasi internal dan penyiapan tim kerja baru. Apalagi sejak tahun 2018 DIAN sudah merencanakan program baru bernama villagepreneurship, sebuah platform baru untuk mengakselerasi inovasi di tingkat akar rumput. Sebagai sebuah program baru yang belum teruji, jelas membutuhkan konsentrasi yang lebih tinggi dari segenap jajaran PIAN. Program villagepreneurship ini benar-benar akan dilakukan dari nol pada tahun 2019 ini, sama seperti program Laboratorium Inovasi pada awal tahun 2014.
Meskipun tantangan PIAN saat ini sangat berat, bahkan lebih berat dibanding tantangan DIAN tahun 2014, namun itulah konsekuensi dari pilihan untuk melakukan transformasi. Perubahan selalu memindahkan para pelakunya dari comfort zone menuju competitive zone, zona baru yang penuh dengan misteri dan tantangan sehingga membutuhkan totalitas komitmen dan enduransi seluruh SDM. Namun perlu diyakini bahwa hanya zona yang tidak nyamanlah yang akan membawa sebuah organisasi kepada magic zone, sebuah zona yang penuh dengan kinerja dan kepuasan baru. Maka, seberat apapun implikasi sebuah transformasi, ia senantiasa worthed untuk dijalani.
Untuk itu, ketika angin perubahan berhembus, ia harus direspon dengan niat tulus untuk mengabdi pada ibu pertiwi, kerja keras dan determinasi yang tinggi, kesiapan untuk terus belajar dan berani menanggung kemungkinan kegagalan, serta semangat kolaborasi dengan berbagai pihak. Itulah yang akan menjadi garansi bahwa yang akan lahir dari perubahan atau transformasi adalah cerita keberhasilan. Sebagaimana ajaran agama, dibalik setiap kesulitan selalu ada dua kali kemudahan, bahwa niat baik akan menuntun kepada orang-orang baik yang siap mengulurkan bantuan, bahwa hasil akhir tidak akan mengkhianati ikhtiar dan kesungguhan dalam menunaikan tugas.
Pengalaman 5 tahun bekerja bersama dalam rumah DIAN telah memberi banyak wisdom bagi para “lascar” inovasi bahwa masalah dan kesulitan bukan untuk dihindari melainkan untuk dihadapi, bahwa segala sesuatu itu tidak mungkin sebelum kita membuktikan sebaliknya, bahwa kerjasama dan saling percaya adalah fondasi yang paling kokoh untuk bangunan apapun. Pelajaran ini pulalah yang akan menjadi bekal bagi PIAN sebagai unit kerja baru di LAN, untuk menyosong tahun-tahun mendatang dengan optimisme sepenuh hati.