Jumat, 14 Agustus 2020

Tentang "New Normal"

Oleh: Tri Widodo W. Utomo

Akhir-akhir ini, kata “new normal” menjadi primadona dalam pergaulan sehari-hari. Dari ibu rumah tangga, kalangan intelektual, hingga politisi dan Presiden, semua beramai-ramai bicara soal new normal. Namun, pemahaman setiap orang terhadap istilah ini sangat berbeda-beda. Seorang Amien Rais bahkan menilai telah terjadi salah paham mengenai istilah new normal ini, sehingga beliau meminta agar istilah ini tidak dipakai lagi karena bisa mengelabui diri sendiri (CNN Indonesia, 25/05/2020).

Untuk itu, saya mencoba memaknai new normal sebagai sebuah tradisi baru yang baik, yang secara terpaksa atau sukarela dipraktekkan secara kolektif sebagai dampak dari penyebaran virus Korona. Perkuliahan melalui Google-classroom, rapat-rapat dan pelatihan yang diselenggarakan melalui aplikasi Zoom, belajar di rumah bagi anak-anak SD dengan pemberian penugasan melalui Whatsapp orangtuanya, atau tukang sayur yang melayani pengantaran ke rumah, adalah beberapa contoh rutinitas masyarakat yang dikategorikan sebagai “normal baru”. Kebiasaan mencuci tangan, memakai masker, atau menjaga jarak, baik saat masih ada pandemi maupun tidak, adalah juga new normal.

 

Namun, apakah benar kita sudah masuk pada era new normal itu? Saya memiliki pendapat yang berbeda dengan pandangan umum. Saya meyakini bahwa new normal itu belum terjadi dan belum tentu dalam waktu dekat akan benar-benar menjadi kenyataan. Banyak argumen yang bisa menjelaskannya. Pertama, jika ada new normal berarti ada situasi normal lain yang mendahuluinya, sebut saja “old normal”. Nah, coba perhatikan dengan baik, berapa lama kita hidup dalam era normal terdahulu? Berapa lama kita telah bekerja dengan cara normal, pagi buta berangkat ke kantor, terjebak kemacetan, sampai di kantor langsung absensi, menerima tamu dari luar kota secara tatap muka, berpindah dari rapat yang satu ke rapat lainnya, dan seterusnya? Atau, sudah berapa lama anak-anak kita belajar secara “normal” di sekolah dengan ibu guru di kelasnya? Lantas, mungkinkah new normal itu terjadi begitu tiba-tiba tanpa proses pembiasaan yang panjang sampai menjadi sebuah habit?

 

Kedua, dari perspektif manajemen perubahan, apa yang terjadi saat ini sebenarnya barulah sebatas “perubahan”, namun tidak ada garansi perubahan itu akan menjadi sebuah norma baru yang akan berlangsung lama. Salah satu teori yang sangat pas untuk menjelaskan fenomena perubahan dalam merespon pandemi Covid-19 adalah teori Kurt Lewin tentang Unfreeze, Change, Refreeze. Tahap “unfreeze” ditandai oleh munculnya peristiwa atau situasi yang memberi urgensi untuk sebuah perubahan, misalnya keuntungan perusahaan yang terus merosot, kinerja karyawan dan iklim kerja yang memburuk, dan seterusnya. Awal Maret 2020 ketika pertama kali pemerintah mengumumkan adanya pasien positif Covid-19, adanya juga tahap unfreeze. Begitu muncul kesadaran bahwa kita sudah berada di tahap unfreeze, maka dilakukanlah berbagai cara untuk merespon, yang disebut dengan change (perubahan). Perubahan kerja di kantor menjadi work from home, atau belajar dan kuliah dari rumah, ibadah dari rumah, belanja dari rumah, bisnis dari rumah, dan sebagainya, adalah tahap kedua dari Change Management Model-nya Lewin. Pada tahap ketiga atau “refreeze”, perubahan yang terjadi pada tahap kedua tadi harus dilembagakan untuk bisa menjadi kultur baru. Syaratnya, kultur lama harus ditinggalkan sebagian atau seluruhnya, sehingga membentuk kultur baru (sama sekali baru atau kombinasi kultur lama dan kultur baru). Inilah hakekat dari new normal itu.

 

Kita juga bisa telaah new normal dari teori Bruce Tuckman tentang Team Development Model. Meskipun teori ini lebih tepat untuk melihat bagaimana sebuah tim bisa dibentuk dalam sebuah organisasi, namun logikanya cukup bermanfaat untuk melihat bagaimana respon kita terhadap pandemi bisa diinstitusionalisasi. Menurut Tuckman, perkembangan tim atau organisasi dilalui tahapan forming, dilanjutkan dengan storming, norming, baru dihasilkan sebuah situasi baru bernama performing. Dalam konteks pandemi, tahap forming adalah tahap sebelum merebaknya virus dan masyarakat hidup dalam sebuah bentuk (form) yang ajeg atau rutin. Pengumuman pemerintah tentang pasien positif Covid-19 menandai tahap storming, yang dipenuhi dengan kebingungan, kecemasan, dan bahkan munculnya korban jiwa dari pandemi tersebut. Segera setelah wabah ini menyebar, muncul respon untuk tetap survive ditengah gempuran wabah yang semakin mengkhawatirkan. Kebijakan PSBB, pemberian bantuan sosial, pemanfaatan teknologi digital untuk mendukung fungsi pendidikan dan perkantoran, dan sebagainya, adalah upaya membentuk norma baru (norming) untuk menggantikan tradisi lama pada tahap pertama. Nah, jika upaya norming ini bisa dilanjutkan, maka akan sampailah pada tahap selanjutnya yakni performing. Tahap inilah yang kita maknakan sebagai new normal.

 

Dari teori Lewin maupun Tuckman diatas dapat dilihat bahwa new normal itu tidak mudah untuk dicapai. New normal juga berbeda dengan perubahan, bahkan jauh lebih menantang disbanding perubahan itu sendiri. Tahapan change (Lewin) atau norming (Tuckman) belum bisa dikatakan sebagai era normal baru, tetapi masih sebatas transisi menuju era baru. Untuk menuju kesana, kita harus pandai-pandai menjaga agar masa transisi dan segenap perubahan yang menyertainya, bisa terlembagakan menjadi tradisi dan sistem baru, bukan hanya sebagai inisiatif sesaat dikala terjadi situasi darurat.

 

Seandainya wabah Corona telah berlalu, kemudian kita mengulang lagi cara lama kita dalam bekerja, menempuh ilmu, berbelanja, dan seterusnya, maka tahap refreeze atau performing tidak akan pernah terwujud. Yang terjadi justru sebaliknya, kita kembali ke tahapan freeze atau forming. Dalam situasi seperti ini, tidak ada sama sekali era bernama new normal itu.

 

Oleh karena itu, tantangan terbesar kita adalah bagaimana melakukan institusionalisasi terhadap perubahan yang banyak terjadi dimasa transisi ini. Salah satu cara yang paling efektif untuk proses institusionalisasi tersebut adalah dengan menyesuaikan seperangkat aturan yang tidak lagi kompatibel dengan perubahan. Sebagai contoh, aturan working from home, mestinya segera diakomodir kedalam peraturan di bidang kepegawaian. Jika tidak, maka WFH hanya akan menjadi kenangan indah dimasa yang sulit. Demikian pula, jika anak-anak sekolah kembali ke kelasnya dan dijauhkan dari platform digital, sementara orang tua tidak lagi intens membimbing anaknya belajar dan menyerahkan kembali pendidikan anak sebagai urusan guru, artinya kita setback ke masa old normal.

 

Singkatnya, pandemi Covid-19 adalah momentum bagi umat manusia untuk memperbaiki cara menjalani kehidupannya. New normal adalah kurva baru yang menandakan umat manusia sudah beralih ke peradaban yang lebih baik. Jika pandemi tidak membawa manusia ke era new normal, ada dua kerugian besar yang harus dibayar, yakni korban materi dan jiwa yang amat banyak, serta kegagalan berhijrah ke peradaban baru. Namun, new normal pun jika berlangsung terlalu lama akan menjadi usang atau obsolete, sehingga umat manusia harus mencari new normal berikutnya. Ya, sejarah peradaban umat manusia pada hakikatnya adalah mencari perbaikan secara berkesinambungan, berpindah dari sebuah tradisi ke tradisi baru yang semakin baik.

Tidak ada komentar: