Jumat, 14 Agustus 2020

Puasa Ramadhan dan “New Normal”

 Oleh: Tri Widodo W. Utomo 

Mungkin jarang ada yang membingkai puasa Ramadhan dari perspektif “new normal”. Pada umumnya, puasa lebih sering di-framing dengan pendekatan religius untuk meningkatkan ketaqwaan, atau pendekatan sosiologis untuk memberikan “rasa” (sensing) tentang penderitaan si miskin, sehingga muncullah kepedulian dan kesetiakawanan sosial (presencing).

 

Namun sebenarnya puasa juga memiliki korelasi erat dengan new normal. Untuk melihat keterkaitan diantaranya keduanya, perlu kita pahami adanya tiga tahapan penting dalam puasa, yakni: 1) sebelum puasa, 2) pelaksanaan puasa di bulan Ramadhan, dan 3) setelah puasa berakhir.

 

Pada masa sebelum puasa, boleh jadi kita jarang bangun malam untuk menegakkan qiyamul lail, malas bersedekah, membaca Al-Qur’an hanya sesempatnya saja, kurang menjaga pandangan mata, serta tidak mengendalikan nafsu-nafsu lahiriah lainnya. Kebiasaan buruk inilah yang ingin dihilangkan oleh ritual puasa Ramadhan. Pada tahap kedua yang merupakan masa “storming” ini (meminjam salah satu tahap dalam Team Development Model Bruce Tuckman), umat Islam melakukan perubahan radikal terhadap kebiasaan dan perilaku sehari-harinya. Apa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang not business as usual, yang mengajak mereka untuk keluar dari comfort zone, yang merupakan anomali dari perilaku sebelumnya. Shalat yang biasanya kurang menjaga waktu, sekarang harus dilakukan di awal waktu dengan berjamaah. Mereka juga harus menahan lapar dan haus lebih dari 13 jam (di negara-negara subtropis bisa mencapai 18 jam atau lebih). Kitab suci Al-Qur’an harus dikhatamkan minimal sekali. Belum lagi mereka harus bangun dini hari untuk shalat malam dan menyiapkan sahur. Di 10 hari terakhir masih dianjurkan pula untuk I’tikaf di masjid, dengan kesadaran penuh untuk tidak merasakan nikmatnya tidur di kasur, berbuka enak di rumah bersama keluarga, dan seterusnya.

 

Proses storming itu tentu tidak cukup berhenti di tahap tersebut. Artinya, rutinitas baru selama 30 hari di bulan Ramadhan itu hanya akan berarti jika bisa dilanjutkan pasca Ramadhan. Indikator keberhasilan ibadah puasa itu tidak terletak di bulan puasa, namun justru terletak pada seberapa besar keshalihan yang bisa ditunjukkan pada 11 bulan berikutnya (dari Syawal hingga Sya’ban). Dengan kata lain, siapapun yang menjalani ibadah ini, haruslah menjadi pribadi dengan kualitas mental yang sangat berbeda dibanding sebelum menjalaninya. Inilah hakekat new normal yang ingin diwujudkan melalui puasa Ramadhan, sebuah hijrah spiritual atau transformasi mental yang akan dipraktekkan sebagai rutinitas baru (new routine, new normal).

 

Maka, jika setelah Ramadhan kita kembali kebanyakan tidur, tidak mampu mengontrol syahwat ragawi dan duniawi, membaca Al-Qur’an ala kadarnya, keikhlasan sedekah kembali melemah, dan seterusnya, artinya sia-sialah proses pembelajaran yang telah dijalani sebulan penuh. Dalam keadaan seperti ini, era new normal tidak akan pernah kita raih. Dan ketika kita tidak bisa meraih new normal, sesungguhnya kita masuk kedalam golongan orang-orang yang merugi, yaitu mereka yang harinya tidak lebih baik dari hari-hari sebelumnya.

 

Tidak ada komentar: