Dua orang biksu merupakan teman dekat sepanjang
hidup mereka. Setelah mereka meninggal, satu terlahir sebagai dewa di sebuah
alam surga yang indah, sementara temannya terlahir sebagai seekor cacing di
seonggok tahi.
Sang dewa segera merasa kehilangan kawan lamanya dan
bertanya-tanya dimanakah dia terlahir kembali. Dia tidak bisa menemukannya di
alam surga yang ditinggalinya, lalu dia pun mencari-cari temannya di alam-alam
surga yang lain. Temannya tidak ada disana pula. dengan kekuatan surgawinya,
sang dewa mencari temannya di dunia manusia, namun tidak ketemu juga. Pastilah,
pikirnya, temanku tidak akan terlahir di alam hewan, tetapi dia memeriksa alam
hewan juga, siapa tahu? Masih saja tidak ada tanda-tanda temannya. Lalu,
berikutnya, sang dewa mencari ke dunia serangga dan jasad renik, dan … kejutan
besar baginya. Dia menemukan temannya terlahir sebagai seekor cacing di dalam
seonggok tahi yang menjijikkan!
Ikatan persahabatan mereka begitu kuat,
sampai-sampai melewati batas kematian. Sang dewa merasa dia harus membebaskan
kawan lamanya ini dari kelahirannya yang mengenaskan tersebut, entah karma apa
yang membawanya kesitu.
Sang dewa lalu muncul di depan onggokan tahi
tersebut dan memanggil. “Hei, cacing! Apakah kamu ingat aku? Kita dahulu
sama-sama jadi biksu pada kehidupan sebelumnya dan kamu adalah teman terbaikku.
Aku terlahir kembali di alam surga yang menyenangkan, sementara kamu terlahir
di tahi sapi yang menjijikkan ini. Tetapi jangan khawatir, karena aku akan
membawamu ke surga bersamaku. Ayolah, kawan lama!
“Tunggu dulu!” kata si cacing. “Apa sih hebatnya
alam surga yang kamu ceritakan itu? Aku sangat bahagia disini, bersama tahi
yang harum, nikmat dan lezat ini. Terima kasih banyak”.
“Kamu tidak mengerti!” kata sang dewa, lalu dia
melukiskan betapa menyenangkan dan bahagianya berada di alam surga.
“Apakah disana ada tahi?” Tanya sic acing, to the point.
“Tentu saja tidak ada!” dengus sang dewa.
“Kalau begitu, aku emoh pergi!” jawab si cacing mantap.
“Sudah ya!”. Dan si cacing-pun membenamkan dirinya ke tengah onggokan tahi
tersebut.
Sang dewa berpikir, mungkin kalau si cacing sudah
melihat sendiri alam surga itu, barulah dia akan mengerti. Lalu sang dewa
menutup hidungnya dan menjulurkan tangannya ke dalam tahi itu, mencari-cari si
cacing. Begitu ketemu, dia menariknya.
“Hei, jangan ganggu aku!” teriak si cacing.
“Tolooong! Darurat! Aku diculiiiik” cacing kecil yang licin itu menggeliat dan
meronta sampai terlepas, lalu kembali menyelam ke onggokan tahi untuk
bersembunyi.
Sang dewa yang baik hati ini kembali merogohkantangannya
ke dalam tahi, dapat, dan mencoba menariknya keluar sekali lagi. Nyaris bisa
keluar, tetapi karena si cacing berlumuran lender dan terus menggeliat
membebaskan diri, akhirnya terlepas lagi untuk kesekian kalinya, dan
bersembunyi makin dalam lagi di dalam tahi. Seratus delapan kali sang dewa
mencoba mengeluarkan cacing malang itu dari onggokan tahinya, namun si cacing
begitu melekat dengan tahi kesayangannya, sehingga dia terus meloloskan diri.
Akhirnya, sang dewa menyerah dan kembali ke surga,
meninggalkan si cacing bodoh di dalam onggokan kotoran kesayangannya.
Sumber:
Ajahn Brahm, 2009, Si Cacing dan Kotoran
Kesayangannya: 108 Cerita Pembuka Pintu Hati, Awareness Publication.