Sabtu, 14 April 2012

Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya


Dua orang biksu merupakan teman dekat sepanjang hidup mereka. Setelah mereka meninggal, satu terlahir sebagai dewa di sebuah alam surga yang indah, sementara temannya terlahir sebagai seekor cacing di seonggok tahi. 

Sang dewa segera merasa kehilangan kawan lamanya dan bertanya-tanya dimanakah dia terlahir kembali. Dia tidak bisa menemukannya di alam surga yang ditinggalinya, lalu dia pun mencari-cari temannya di alam-alam surga yang lain. Temannya tidak ada disana pula. dengan kekuatan surgawinya, sang dewa mencari temannya di dunia manusia, namun tidak ketemu juga. Pastilah, pikirnya, temanku tidak akan terlahir di alam hewan, tetapi dia memeriksa alam hewan juga, siapa tahu? Masih saja tidak ada tanda-tanda temannya. Lalu, berikutnya, sang dewa mencari ke dunia serangga dan jasad renik, dan … kejutan besar baginya. Dia menemukan temannya terlahir sebagai seekor cacing di dalam seonggok tahi yang menjijikkan! 

Ikatan persahabatan mereka begitu kuat, sampai-sampai melewati batas kematian. Sang dewa merasa dia harus membebaskan kawan lamanya ini dari kelahirannya yang mengenaskan tersebut, entah karma apa yang membawanya kesitu. 

Sang dewa lalu muncul di depan onggokan tahi tersebut dan memanggil. “Hei, cacing! Apakah kamu ingat aku? Kita dahulu sama-sama jadi biksu pada kehidupan sebelumnya dan kamu adalah teman terbaikku. Aku terlahir kembali di alam surga yang menyenangkan, sementara kamu terlahir di tahi sapi yang menjijikkan ini. Tetapi jangan khawatir, karena aku akan membawamu ke surga bersamaku. Ayolah, kawan lama! 

“Tunggu dulu!” kata si cacing. “Apa sih hebatnya alam surga yang kamu ceritakan itu? Aku sangat bahagia disini, bersama tahi yang harum, nikmat dan lezat ini. Terima kasih banyak”. 

“Kamu tidak mengerti!” kata sang dewa, lalu dia melukiskan betapa menyenangkan dan bahagianya berada di alam surga. 

“Apakah disana ada tahi?” Tanya sic acing, to the point.
“Tentu saja tidak ada!” dengus sang dewa. 

“Kalau begitu, aku emoh pergi!” jawab si cacing mantap. “Sudah ya!”. Dan si cacing-pun membenamkan dirinya ke tengah onggokan tahi tersebut. 

Sang dewa berpikir, mungkin kalau si cacing sudah melihat sendiri alam surga itu, barulah dia akan mengerti. Lalu sang dewa menutup hidungnya dan menjulurkan tangannya ke dalam tahi itu, mencari-cari si cacing. Begitu ketemu, dia menariknya. 

“Hei, jangan ganggu aku!” teriak si cacing. “Tolooong! Darurat! Aku diculiiiik” cacing kecil yang licin itu menggeliat dan meronta sampai terlepas, lalu kembali menyelam ke onggokan tahi untuk bersembunyi. 

Sang dewa yang baik hati ini kembali merogohkantangannya ke dalam tahi, dapat, dan mencoba menariknya keluar sekali lagi. Nyaris bisa keluar, tetapi karena si cacing berlumuran lender dan terus menggeliat membebaskan diri, akhirnya terlepas lagi untuk kesekian kalinya, dan bersembunyi makin dalam lagi di dalam tahi. Seratus delapan kali sang dewa mencoba mengeluarkan cacing malang itu dari onggokan tahinya, namun si cacing begitu melekat dengan tahi kesayangannya, sehingga dia terus meloloskan diri. 

Akhirnya, sang dewa menyerah dan kembali ke surga, meninggalkan si cacing bodoh di dalam onggokan kotoran kesayangannya. 

Sumber: Ajahn Brahm, 2009, Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya: 108 Cerita Pembuka Pintu Hati, Awareness Publication.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Very impressive stuff. Thanks for sharing
1999 Mitsubishi Eclipse AC Compressor

Tri Widodo W Utomo mengatakan...

You're welcome, pak Jacob ...