Sudah lebih dari 3 bulan yang
lalu saya ingin menulis tentang jasa layanan perkerataapian dengan berbagai
inovasinya. Sebelumnya saya sudah menulis soal jasa layanan Trans BSD, dan saat
itu saya berjanji akan menulis soal PT. KAI, terutama jasa KRL komuter. Kedua
moda transportasi tadi – Trans BSD dan KRL komuter Serpong-Tanah Abang pp –
telah sangat berjasa terhadap saya karena telah ratusan kali mengantarkan saya
ke tempat kerja atau pulang ke rumah. Sebagai “balas jasa”, saya ingin
mengabadikan pengalaman, perasaan, dan harapan kepada Trans BSD dan KRL komuter
dalam tulisan ini.
Sayangnya, sulit sekali bagi saya
untuk istiqomah dalam menulis. Ada
saja alasan pembenar atau alasan pemaaf untuk tidak menulis atau menunda
menulis. Inilah penyakit manusia yang menjadi tirai hitam dan tebal untuk
kesuksesan seseorang. Kesibukan dalam sebuah aktivitas, seringkali menjadi excuse untuk tidak melakukan aktivitas
lainnya. Hubungan antara sebuah aktivitas dengan aktivitas lain menjadi saling
menegasikan atau trade-off. Tingginya
intensitas pekerjaan seseorang membuat orang tadi berpikir bahwa waktu yang
dimilikinya dalam satu hari terlalu singkat. 24 jam terasa sangat kurang untuk
menyelesaikan beban tugas yang menumpuk. Padahal, Allah SWT memberikan waktu 24
jam sehari untuk hamba-Nya tentulah dengan pertimbangan sempurna jauh diluar
kapasitas berpikir manusia. Tuhan Maha Adil dengan memberikan waktu yang sama
kepada setiap orang, baik kepala negara atau pengangguran, pengusaha besar
kelas dunia atau petani kecil di desa terpencil, penulis buku best-seller atau mahasiswa biasa.
Artinya, 24 jam itu adalah waktu universal yang bisa menghasilkan karya
monumental yang mampu mengubah dunia, namun juga bisa tidak menghasilkan apapun.
Kuncinya adalah inovasi, bagaimana memanfaatkan waktu yang konstan untuk
menghasilkan karya dan manfaat sebesar mungkin. Orang yang mengeluh kekurangan
waktu, sama artinya dia adalah orang yang tidak cukup inovatif sehingga tidak
mampu memanfaatkan waktu secara bijak dan cerdas.
Sekarang mari kembali ke
keinginan saya menulis tentang PT. KAI. Dunia perkeretaapian di Indonesia
selama ini dikenal sebagai sebuah perusahaan benalu yang hanya menghabiskan
anggaran negara namun selalu mengaku merugi milyaran hingga trilyunan rupiah.
Jasa trasportasi berbasis rel ini juga terkenal dengan keterlambatan yang
sangat parah, disamping jasa layanan yang memuakkan seperti stasiun dan gerbong
yang kotor, toilet yang bau busuk, sarana prasarana yang rusak dan amat buruk,
sikap yang kurang ramah dari para petugasnya, dan kurang profesionalismenya
manajemen yang dibuktikan banyaknya kecelakaan. Singkatnya, hanya orang-orang
bodoh dan terpaksa saja yang mau naik kereta api. Kondisi yang begitu
memprihatinkan, ditabah lagi dengan banyaknya vandalisme yang harus dihadapi
seperti perusakan, pelemparan, pencurian, hingga sabotase yang dilakukan
pihak-pihak tidak bertanggungjawab. Lengkaplah derita PT. KAI, dan logis
rasanya untuk terus pesimis bahwa perusahaan ini bisa bangkit.
Namun faktanya, PT. KAI saat ini
bisa bangkit secara sangat mengejutkan. Meskipun “hanya” mendapat subsidi dari
APBN sebesar Rp 47 milyar, sementara kebutuhan pemeliharaan berbagai asset
mencapat lebih dari Rp 1.7 trilyun, belum termasuk biaya operasional untuk
membayar upah pegawai dan sebagainya, ternyata perusahaan ini sudah mampu
mencatat keuntungan meskipun belum terlalu signifikan. Ini sudah menunjukkan
sebuah lompatan besar dari situasi yang amat negatif menjadi jauh lebih
positif.
Belum lagi inovasi-inovasi
lainnya seperti operasi lebaran yang mampu mencapai 100% (one seat one passenger), sehingga tidak lagi kita lihat penumpang
duduk di lorong-lorong, atau masuk melalui jendela, atau bahwa duduk di
atap-atap gerbong. Inovasi semacam ini memiliki sentuhan humanism yang tinggi,
berbeda sekali dengan cara-cara lama seperti menyemprot penumpang di atap
gerbong dengan pilox. Inovasi lain yang bisa kita saksikan adalah tersedianya ticket reservation di berbagai convenience store seperti Indomart dan
Alfamart, atau melalui call center, Blackberry
Messenger, email, dan sebagainya. Ini tentu akan sangat memudahkan calon
penumpang tanpa harus mengantre dan berdesak-desakan di loket di stasiun.
Pimpinan PT. KAI juga membangun komitmen untuk meniadakan senioritas, menerapkan
sistem baru remunerasi, serta merubah organisasi dari product oriented ke costumer
oriented. Bisa dirasakan bahwa saat ini para petugas sudah jauh lebih ramah
dan professional.
Pada saat yang sama, inovasi juga
disertai dengan pergantian Logo dan seragam baru. Meski terkesan sederhana,
namun sesungguhnya hal ini memiliki dampak cukup besar. Perubahan logo pada
hakekatnya adalah perubahan mindset,
perubahan visi, dan perubahan gaya kepemimpinan dan standar pelayanan. Gambar
panah putih ditengah logo, mengilustrasikan kerja cepat melalui strategi yang
tepat untuk mencapai target-target besar yang ditetapkan. Perubahan seragam
dengan menggunakan baju putih juga bermakna perubahan dari semangat mengatur
(sebelumnya mereka memakai baju dinas Kemeterian Perhubungan warna biru muda
seperti Angkatan Udara) menjadi semangat melayani.
Tidak berhenti sampai disini, PT.
KAI juga menciptakan terobosan baru dengan menyediakan gerbong komuter khusus
wanita, kereta batik, dan gerbong-gerbong yang smoke free. Saat ini juga hampir seluruh gerbong sudah ber-AC.
Ignatius Jonan, Direktur Utama PT. KAI saat ini, dengan nada bercanda mengatakan
bahwa Indonesia yang sudah merdeka hampir 70 tahun kok masih memiliki kereta tidak ber-AC, bagaimana tingkat kewarasan
bangsa ini? Maka, wajar jika kemudian dilakukan penghapusan KA Ekonomi, yang
secara langsung menghilangkan para penumpang diatap karena memag tidak ada lagi
keretanya (selama ini hanya kereta Ekonomi yang lazim mengangkut penumpang
diatas gerbong).
Inovasi yang lebih nyata lagi
bagi saya adalah penerapan electronic
gate. Dengan tiket elektronik ini, sampah kertas di sekitar stasiun dan di
dalam gerbong menjadi hilang sama sekali. Masyarakat juga dididik untuk menjadi
disiplin dalam antrian masuk dan keluar peron. Secara tidak langsung, PT. KAI
juga berkontribusi terhadap pendidikan karakter bangsa melalui penanaman kedisiplinan ini. Selain itu,
penerapan electronic gate juga untuk
mengantisipasi lonjakan penumpang. PT KAI memiliki target dapat melayani 1 juta
penumpang per hari dalam 1 line (jurusan)
pada tahun 1918. Hal ini tentu tidak dapat dilayani secara manual dengan tenaga
manusia. Inovasi ini sekaligus akan menghemat utilisasi tenaga kerja, yang
otomatis juga menghemat pengeluaran untuk belanja pegawai.
Satu inovasi lagi adalah prinisp stasiun
harus steril dari aktivitas pedagang liar dan kumuh, pengemis, dan pengamen.
Adalah hal yang lumrah ketika kita melihat stasiun lebih kumuh dari pasar
tradisional. Seluruh profesi dan karakter manusia tumplek di stasiun.
Sterilisasi tadi ditempuh melalui pembongkaran kios/lapak sebanyak 5.618 se
Jabodetabek. Bagi pimpinan direksi, tidak ada satupun UU yang mewajibkan PT.
KAI mengelola pedagang dan menyediakan tempat, apalagi kios untuk berdagang. Justru
praktek selama ini disadari merupakan suatu hal yang “dipelihara” untuk
melanggengkan “pungli” dari oknum tertentu kepada para pedagang. Maka, dengan
hapusnya lapak-lapak dan kios dagangan yang semrawut tadi, wajah stasiun
menjadi lebih bersih dan cantik, sementara praktek pungli juga dapat ditiadakan.
Dengan demikian, inovasi PT. KAI
sesungguhnya hadir dan hidup karena adanya tantangan, tekanan, dan bahkan
desakan internal maupun eksternal yang sangat kuat. Wajarlah kalau saya selaku
pengguna jasa memberi apresiasi besar atas apa yang telah terjadi di manajemen PT.
KAI saat ini. Saya berharap bahwa pelayanan yang lebihbaik, berkualitas, dan
manusia akan dapat saya nikmati dalam waktu tidak terlalu lama. Meskipun
demikian, ruang-ruang inovasi di PR. KAI sesungguhnya masih terbuka sangat
lebar, sehingga prospek perbaikan kinerja perusahaan juga masih sangat
potensial untuk terus dikembangkan.
Dalam konteks itulah, saya selaku
pelanggan ingin memberikan saran dan alternatif inovasi lanjutan untuk para
petinggi PT. KAI. Perspektif pelanggan ini saya kira menjadi salah satu kunci
dalam inovasi. Maksud saya, inovasi sebaiknya tidak hanya lahir, timbul, dan
terjadi dari lingkungan dalam, namun juga harus dari lingkungan luar termasuk
para pelangga. Sebab, boleh jadi apa yang dipersepsikan sebagai inovasi oleh
orang dalam tidak dianggap sebagai inovasi oleh orang luar. Atau, boleh jadi
inovasi yang dilakukan pihak manajemen bukan inovasi yang diinginkan dan
diharapkan pelanggan sesuai kebutuhannya.
Bagi saya sendiri, inovasi dalam hal
pembersihan wilayah stasiun dari unsur pedagang sedikit mengganggu. Sebab,
banyak stasiun yang tidak memiliki convenience
store atau vending machine,
sehingga kita kesulitan mencari minuman atau makanan ringan. Terutama pada hasi
Senin dan Kamis, terasa betul kebutuhan itu saat waktu berbuka puasa tiba
sementara saya masih harus berlama-lama menunggu kedatangan kereta. Saya juga
menginginkan ada inovasi konkrit untuk mengurangi kepadatan di dalam gerbong.
Jika okupansi ideal adalah 100%, nampaknya yang terjadi saat adalah lonjakan
hingga 1000%, atau 10 kali lipat dari kapasitas normal. Nah, seandainya inovasi
dalam bentuk penambahan lebih dari satu gerbong tidak memungkinkan karena
pendeknya areal stasiun, atau penambahan frekuensi juga tidak memungkinkan
karena akan menjadikan kemacetan di jalan raya makin parah, paling tidak ada
penambahan satu gerbong saja untuk setiap keberangkatan. Atau, bisa juga diatur
dengan cara menambah rangkaian gerbong hanya pada jam-jam keberangkatan
tertentu.
Selanjutnya, PT. KAI sebaiknya
menjalin kerjasama dengan berbagai pihak terkait, bukan saja untuk mendorong
kebiasaan masyarakat menggunakan kereta, namun juga untuk mempromosikan sektor
tertentu. Sebagai contoh, PT. KAI bisa bersinergi dengan Kementerian Pariwisata
untuk membuka rute-rute ke wilayah wisata atau sekitarnya dengan memberikan
diskon tiket kereta dan diskon tiket masuk obyek wisata pada hari-hari
tertentu, misalnya weekend atau musim
liburan sekolah. PT. KAI juga bisa menjalin komitmen dengan PT. Trans Jakarta
untuk memberlakukan tiket bersama. Artinya, seseorang yang pada hari bersamaan
bepergian dengan menggunakan kereta maupun bus Trans Jakarta, cukup membeli
satu tiket, yang tentunya harus lebih murah dibanding membeli tiket kereta dan
bus secara terpisah. Hal lain yang bisa dipikirkan adalah penerapan sistem one day ticket. Maknanya, jika seseorang
karena sesuatu hal harus bepergian dengan kereta dari pagi hingga malam, sepantasnya
dia tidak membayar harga tiket per perjalanan, namun diberi keringanan
berdasarkan harga harian.
Soal kedekatan (intimacy) antara PT. KAI dengan
pelanggannya juga perlu ditumbuhkan. Hubungan antara keduanya saat ini masih
hubungan “jual-beli” dan kurang ada sentuhan humanism dari pihak pemberi jasa.
Penumpang yang menunggu kereta hingga kadang satu jam, yang kadang kehujanan
karena peron yang tidak memadai, yang kecapean sehabis bekerja dari pagi hingga
malam, dan sebagainya, dibiarkan karena memang tidak ada kewajiban apapun untuk
memberi pelayanan extra. Namun, mengapa mereka tidak berpikir bahwa disitulah
justru terbuka ruang-ruang inovasi? Jika saja, misalnya, mereka menyediakan air
mineral gratis, atau setiap Sinin dan Kamis menyediakan ta’jil bagi yang
berpuasa, atau menyediakan ruang tunggu yang lebih representatif dengan
pendingin ruangan dan koran/majalah, atau mereka menyediakan layanan wi-fi agar orang tetap bisa beraktivitas
secara virtual, bukankah itu akan menimbulkan kesan yang jauh lebih
simpatik?
Terakhir, patut juga dikaji program
tertentu untuk mengurangi penumpukan kendaraan roda 2 dan roda 4 di stasiun. Cara
yang saya tawarkan adalah dengan menyediakan shuttle bus yang menjemput dan mengantar penumpang dari dan ke stasiun
dan menghubungkan dengan titik-titik tertentu dalam radius 5-10 km dari stasiun
terdekat. Tentu saja tidak perlu gratis, namun karena merupakan bagian dari service excellence PT. KAI, maka bisa
ditetapkan tariff yang lebih murah dibanding jika menggunakan kendaraan pribadi
atau transportasi umum lainnya.
Mungkin saja ide-ide saya ini
sudah terpikirkan oleh manajemen PT. KAI, namun karena keterbatasan sumber daya
menjadi tidak terealisasikan. Namun yang pasti, ruang-ruang inovasi tidak
pernah menjadi sempit bagi seorang yang berjiwa inovatif. Terutama di sebuah
institusi yang banyak persoalan atau sedang berkembang, maka disitulah
persemaian inovasi terbuka begitu lebar tanpa batas.
Salam Inovasi!
Dalam perjalanan pulang dari
Veteran 10, dengan Taxi Express.
Jakarta, 23 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar