Bagi sebagian
orang, menulis adalah mata pencaharian yang menghidupi diri dan keluarganya.
Saya masih ingat sekitar tahun 2002-2003, honor menulis 1 artikel di kolom
opini harian Kompas adalah Rp. 400 ribu.
Itu adalah jumlah yang besar dibanding gaji saya waktu itu yang hanya sedikit
diatas Rp. 1 juta. Artinya, 3 kali menulis sudah sama dengan pendapatan 1 bulan
sebagai PNS golongan III-c. Bisa dibayangkan seorang penulis buku, opini,
kolom, features atau bahkan novel
yang produktif, berapa yang bisa dihasilkan dari honorarium maupun royaltinya.
Sementara bagi
yang lainnya, menulis adalah konsekuensi dari profesi yang dipilihnya. Tanpa
ada tulisan, maka karirnya bisa terhambat karena kegagalan mengumpulkan angka
kredit dari hasil tulisan. Mungkin juga ada yang menjadikan aktivitas menulis
sebagai media aktualisasi diri, ingin mempopulerkan namanya lewat publikasi. Namun
ada pula yang menulis hanya sekedar hobby, untuk menyalurkan bakatnya atau
sekedar untuk menumpahkan curhat
melalui sebuah tulisan.
Nah, diantara
berbagai motif tadi, rasanya saya tidak masuk salah satu diantaranya. Saya
menulis banyak artikel lepas untuk Blog tidak menghasilkan keuntungan
finansial. Tulisan-tulisan ini juga tidak “laku” untuk menunjang angka kredit
saya sebagai peneliti. Saya harus menulis sesuatu yang ilmiah untuk bisa
meningkatkan angka kredit saya, bukan tulisan-tulisan santai, bebas, bahkan
cenderung ngawur. Kalau dipaksakan,
mungkin bisa dianggap sebagai hobby atau media curhat. Tapi sejujurnya, saya
tidak begitu hobby karena ini saya lakukan kadang dengan “pemaksaan” terhadap
diri saya. Saya mencoba mendisiplinkan diri untuk menulis, bukan terdorong oleh
hobby secara sukarela. Maka, saya menulis adalah demi menulis itu sendiri. Saya
tidak peduli dengan tulisan saya, apakah ada yang baca atau tidak, apakah
bermanfaat atau tidak, apakah bermutu atau tidak. Pokoknya, saya harus
menuliskan apa yang saya pikirkan. Itu saja, tidak lebih.
Tapi tunggu dulu! Lahirnya UU No. 5/2014
tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) telah memberi legitimasi bagi saya bahwa
menulis itu bermanfaat. Kemanfaatan dari tulisan itu tidak harus bersifat instant dan seketika, namun sangat
mungkin baru dirasakan beberapa tahun kemudian. Ini adalah pengalaman pribadi
saya. Pada tanggal 3 Agustus 2004, harian Pikiran
Rakyat memuat tulisan saya berjudul “Eselonisasi
Jabatan: Relevankan?”. Cukup banyak argument yang saja ajukan pada tulisan
tersebut, salah satunya saya berendapat bahwa: “untuk
mengukur berat ringannya tugas, tanggungjawab, wewenang dan hak dari suatu
jabatan, sebenarnya tidak perlu dengan eselonisasi. Karena uraian jabatan dan
spesifikasi jabatan pun sudah dapat menggambarkan hal tersebut. Dan suatu
jenjang jabatan cukup dikaitkan dengan jenjang kepangkatan ...”
Nah, ide
tentang tidak perlunya lagi eselonisasi itu sekarang sudah menjadi atural legal
formal yang diwadahi dalam UU ASN. Maka, tidak ada salahnya saya sedikit
berbangga hati bahwa hal itu sudah saya pikirkan 10 tahun yang lalu. Bahwa 10
tahun yang lalu tidak bisa langsung menjadi kebijakan, karena mungkin sekali
saya memiliki jangkauan berpikir yang lebih jauh kedepan dibanding para
regulator di Senayan. Namun saya begitu yakin saat itu bahwa ide saya suatu
ketika akan menjadi kenyataan. Jika saja cara berpikir saya sama dengan para
pengambil kebijakan, maka UU ASN itu mestinya sudah berlaku sejak 2004,
sehingga bangsa ini tidak kehilangan waktu 10 tahun.
Rekan peneliti
saya juga pernah menghasilkan tulisan yang dianggap “asal omong”, karena menggagas
perlunya penyatuan zona waktu WIB, WITA, dan WIT menjadi satu waktu Indonesia.
Dengan mengambil analogi pada negara-negara lain termasuk AS yang sangat luas, toch mereka juga hanya memiliki satu
zona waktu. Ternyata, “ide gila” itu sekarang sudah menjadi wacana resmi
pemerintah untuk memberlakukan sistem waktu zonasi tunggal di Indonesia. Sekali
lagi, ide abstrak yang menjadi konkrit ini akan menjadi sebuah kebanggaan bagi
pnulisnya, meski tidak ada yang membayar atau memberi tambahan angka kredit.
Dari pelajaran
sederhana diatas, saya menyimpulkan bahwa tulisan yang baik memang tulisan yang
berisi ide-ide orisinal yang sedapat mungkin mendahului jamannya. Biarkan saja orang
mencibir atau menganggap kita sok pintar, dan sebagainya. Tetaplah menulis,
karena menulis itu bisa menjadi sebuah rekonstruksi sejarah masa silam,
sekaligus konstruksi sejarah masa depan. Kita bisa memiliki bayangan tentang
kerajaan Majapahit sejak dirintis oleh Raden Wijaya hingga masa keemasan dimasa
Prabu Hayam Wuruk dengan Maha Patih Gadjah Mada, adalah berkat karya tulis yang
sudah menyebar di berbagai toko buku. Bahkan kita bisa mengetahui sejarah para
nabi juga karena jasa para penulis sejarah masa silam. Sementara kalau kita
lihat sejarah negara-negara Amerika Latin, revolusi di Argentina, Guatemala,
atau Kuba, didahului oleh catatan-catatan harian Ernesto Guevara (El Che) yang
bersifat provokatif. Artinya, tulisan El Che secara ampiuh telah berhasil
melahirkan transformasi sosial di negara-negara tersebut.
Kita tidak tahu
bahwa kita adalah orang yang akan mampu mengubah sejarah melalui tulisan dan
ide-ide kita. Maka, teruslah menulis, dengan atau tanpa motif tertentu. Mungkin
kita adalah pelaku sejarah hanya karena setitik ide yang kita tuliskan. Saya
pribadi akan mencoba menulis untuk menulis (writing
for the sake of writing). Kalaupun suatu ketika ada ide saya yang diadopsi
menjadi kebijakan dan berlaku sebagai sebuah sistem baru, itu akan saya anggap
sebaga “bonus” yang menyenangkan hati dan memuaskan diri saya selaku penulis.
Jakarta, 29
Januari 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar