Rabu, 29 Januari 2014

Untuk Apa Menulis?


Bagi sebagian orang, menulis adalah mata pencaharian yang menghidupi diri dan keluarganya. Saya masih ingat sekitar tahun 2002-2003, honor menulis 1 artikel di kolom opini harian Kompas  adalah Rp. 400 ribu. Itu adalah jumlah yang besar dibanding gaji saya waktu itu yang hanya sedikit diatas Rp. 1 juta. Artinya, 3 kali menulis sudah sama dengan pendapatan 1 bulan sebagai PNS golongan III-c. Bisa dibayangkan seorang penulis buku, opini, kolom, features atau bahkan novel yang produktif, berapa yang bisa dihasilkan dari honorarium maupun royaltinya.  

Sementara bagi yang lainnya, menulis adalah konsekuensi dari profesi yang dipilihnya. Tanpa ada tulisan, maka karirnya bisa terhambat karena kegagalan mengumpulkan angka kredit dari hasil tulisan. Mungkin juga ada yang menjadikan aktivitas menulis sebagai media aktualisasi diri, ingin mempopulerkan namanya lewat publikasi. Namun ada pula yang menulis hanya sekedar hobby, untuk menyalurkan bakatnya atau sekedar untuk menumpahkan curhat melalui sebuah tulisan.  

Nah, diantara berbagai motif tadi, rasanya saya tidak masuk salah satu diantaranya. Saya menulis banyak artikel lepas untuk Blog tidak menghasilkan keuntungan finansial. Tulisan-tulisan ini juga tidak “laku” untuk menunjang angka kredit saya sebagai peneliti. Saya harus menulis sesuatu yang ilmiah untuk bisa meningkatkan angka kredit saya, bukan tulisan-tulisan santai, bebas, bahkan cenderung ngawur. Kalau dipaksakan, mungkin bisa dianggap sebagai hobby atau media curhat. Tapi sejujurnya, saya tidak begitu hobby karena ini saya lakukan kadang dengan “pemaksaan” terhadap diri saya. Saya mencoba mendisiplinkan diri untuk menulis, bukan terdorong oleh hobby secara sukarela. Maka, saya menulis adalah demi menulis itu sendiri. Saya tidak peduli dengan tulisan saya, apakah ada yang baca atau tidak, apakah bermanfaat atau tidak, apakah bermutu atau tidak. Pokoknya, saya harus menuliskan apa yang saya pikirkan. Itu saja, tidak lebih. 

Tapi tunggu dulu! Lahirnya UU No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) telah memberi legitimasi bagi saya bahwa menulis itu bermanfaat. Kemanfaatan dari tulisan itu tidak harus bersifat instant dan seketika, namun sangat mungkin baru dirasakan beberapa tahun kemudian. Ini adalah pengalaman pribadi saya. Pada tanggal 3 Agustus 2004, harian Pikiran Rakyat memuat tulisan saya berjudul “Eselonisasi Jabatan: Relevankan?”. Cukup banyak argument yang saja ajukan pada tulisan tersebut, salah satunya saya berendapat bahwa: “untuk mengukur berat ringannya tugas, tanggungjawab, wewenang dan hak dari suatu jabatan, sebenarnya tidak perlu dengan eselonisasi. Karena uraian jabatan dan spesifikasi jabatan pun sudah dapat menggambarkan hal tersebut. Dan suatu jenjang jabatan cukup dikaitkan dengan jenjang kepangkatan ...” 

Nah, ide tentang tidak perlunya lagi eselonisasi itu sekarang sudah menjadi atural legal formal yang diwadahi dalam UU ASN. Maka, tidak ada salahnya saya sedikit berbangga hati bahwa hal itu sudah saya pikirkan 10 tahun yang lalu. Bahwa 10 tahun yang lalu tidak bisa langsung menjadi kebijakan, karena mungkin sekali saya memiliki jangkauan berpikir yang lebih jauh kedepan dibanding para regulator di Senayan. Namun saya begitu yakin saat itu bahwa ide saya suatu ketika akan menjadi kenyataan. Jika saja cara berpikir saya sama dengan para pengambil kebijakan, maka UU ASN itu mestinya sudah berlaku sejak 2004, sehingga bangsa ini tidak kehilangan waktu 10 tahun. 

Rekan peneliti saya juga pernah menghasilkan tulisan yang dianggap “asal omong”, karena menggagas perlunya penyatuan zona waktu WIB, WITA, dan WIT menjadi satu waktu Indonesia. Dengan mengambil analogi pada negara-negara lain termasuk AS yang sangat luas, toch mereka juga hanya memiliki satu zona waktu. Ternyata, “ide gila” itu sekarang sudah menjadi wacana resmi pemerintah untuk memberlakukan sistem waktu zonasi tunggal di Indonesia. Sekali lagi, ide abstrak yang menjadi konkrit ini akan menjadi sebuah kebanggaan bagi pnulisnya, meski tidak ada yang membayar atau memberi tambahan angka kredit. 

Dari pelajaran sederhana diatas, saya menyimpulkan bahwa tulisan yang baik memang tulisan yang berisi ide-ide orisinal yang sedapat mungkin mendahului jamannya. Biarkan saja orang mencibir atau menganggap kita sok pintar, dan sebagainya. Tetaplah menulis, karena menulis itu bisa menjadi sebuah rekonstruksi sejarah masa silam, sekaligus konstruksi sejarah masa depan. Kita bisa memiliki bayangan tentang kerajaan Majapahit sejak dirintis oleh Raden Wijaya hingga masa keemasan dimasa Prabu Hayam Wuruk dengan Maha Patih Gadjah Mada, adalah berkat karya tulis yang sudah menyebar di berbagai toko buku. Bahkan kita bisa mengetahui sejarah para nabi juga karena jasa para penulis sejarah masa silam. Sementara kalau kita lihat sejarah negara-negara Amerika Latin, revolusi di Argentina, Guatemala, atau Kuba, didahului oleh catatan-catatan harian Ernesto Guevara (El Che) yang bersifat provokatif. Artinya, tulisan El Che secara ampiuh telah berhasil melahirkan transformasi sosial di negara-negara tersebut.  

Kita tidak tahu bahwa kita adalah orang yang akan mampu mengubah sejarah melalui tulisan dan ide-ide kita. Maka, teruslah menulis, dengan atau tanpa motif tertentu. Mungkin kita adalah pelaku sejarah hanya karena setitik ide yang kita tuliskan. Saya pribadi akan mencoba menulis untuk menulis (writing for the sake of writing). Kalaupun suatu ketika ada ide saya yang diadopsi menjadi kebijakan dan berlaku sebagai sebuah sistem baru, itu akan saya anggap sebaga “bonus” yang menyenangkan hati dan memuaskan diri saya selaku penulis. 

Jakarta, 29 Januari 2014.

Tidak ada komentar: