Semenjak
mendapatkan amanah baru selaku Deputi Inovasi Administrasi Negara, 20 Desember
2013 yang lalu, ada dua perubahan yang (harus) saya lakukan. Pertama, saya memaksakan diri untuk
mencintai bidang baru ini. Buku-buku bacaan, sumber-sumber internet, wacana
dalam berbagai diskusi, dan sebagainya, mau tidak mau harus saya arahkan untuk
lebih memahami konsep inovasi. Point of
interest saya di bidang desentralisasi, hukum administrasi, politik
konstitusi pun “sementara” saya tinggalkan untuk lebih mendalami
dimensi-dimensi dan ruang lingkup inovasi. Semua ini saya lakukan sebagai
bentuk totalitas terhadap amanah dan mandat yang diletakkan di pundak saya. Secepat
mungkin saya harus mampu membangun kerangka pikir dan kerangka kerja logis
tentang makhluk bernama Inovasi Administrasi Negara.
Perubahan kedua, timeline di Facebook saya juga berubah, tidak lagi berisi posting
menyangkut komentar-komentar atau opini saya terhadap issu-issu aktual, namun
posting yang terkait dengan inovasi. Dalam hal ini, wall Facebook saya gunakan sebagai media pembelajaran. Wujud
konkrit pembelajaran itu adalah menjadikan Facebook sebagai tempat penampungan
kutipan, ide/pendapat, himbauan, diskusi, atau apapun sepanjang berhubungan
dengan inovasi. Boleh dikata, Facebook saya sudah menjadi resource tentang inovasi. Dengan demikian, proses pembelajaran yang
saya lakukan bergulir menjadi pembelajaran bagi orang lain. Dan ketika orang
lain memberi komentar substansial, maka proses pembelajaran berbalik lagi
kepada saya, dan begitu seterusnya. Terus terang, saya harus berterima kasih
kepada Marc Zuckerberg yang telah menciptakan inovasi dahsyat berupa social media bernama Facebook.
Status pertama
tentang inovasi saya tulis tanggal 24 Desember 2013 sebagai berikut: “Filosofi dasar inovasi mungkin bisa ditarik
dari pernyataan Herakleitos yakni Pantha Rei yang berarti mengalir. Maknanya, alam semesta dan seluruh isinya terus
mengalir, berubah, bertransformasi tiada henti … Ayo sahabat semua, kita terus
mengalir dan berubah menuju pada kondisi yang lebih baik. Salam Inovasi”.
Ternyata, posting ini mengundang cukup banyak komentar dan pertanyaan. Jelas
bagi saya ini sebuah hal yang menggembirakan, karena pengunjung laman Facebook
saya turut berpikir – setidaknya membaca – status saya tentang inovasi. Salah
satunya bertanya: “Kalau kembali ke
sistem yang lalu dan berhasil karena sistem yang sekarang gagal, apakah (itu
disebut) inovasi, atau melakukan semua hal yang baru dari yang sekarang adalah
inovasi?” Terhadap pertanyaan ini saya menjawab: “Sistem yang lalu ditinggalkan karena dianggap gagal sehingga diciptakan
sistem yang sekarang. Jika yang sekarang gagal, maka harus ditemukan sistem
yang lebih baru lagi. Sistem lama tentu saja dapat diadopsi lagi dengan
modifikasi sesuai kebutuhan. Intinya inovasi adalah perubahan yang membawa
manfaat, bukan sekedar perubahan …”.
Status
berikutnya saya tulis tanggal 2 Januari 2014 sebagai berikut: “Esensi inovasi itu adalah perubahan, dan
esensi perubahan adalah membiasakan hal yang tidak biasa, atau tidak
membeda-bedakan hal yang berbeda, atau terus memperbaharui hal-hal yang baru.
Ternyata, perubahan itu mudah dan sederhana, itu menurut saya. Kemaren saya
mengambil jalur yang berbeda dalam perjalanan Jakarta-Bandung pp, mengisi
bensin di tempat berbeda, makan di restoran yang berbeda. Dalam setiap
perbedaan tadi, coba temukan ‘sesuatu’ …”. Dari beberapa komentar, ada yang
berpendapat bahwa inovasi seolah-olah menjadi wilayah anak muda, sementara
orang tua dipersepsikan selalu mempertahankan status quo. Atas pendapat ini, saya memberi respon bahwa tua muda
hanyalah soal usia, sedangkan inovasi tidaklah mengenal usia. Bahkan konon
inovasi juga tidak mengenal tingkat kecerdasan (intellectual quotient), dimana tidak ada jaminan seseorang yang
ber-IQ tinggi (diatas 120) pasti lebih kreatif dan inovatif. Selain itu, ada feedback menarik lainnya yang menulis: “Innovate or Die”. Jargon ini memang
sering kita dengar. Namun menurut saya, untuk sektor publik mungkin lebih tepat
“Innovate and keep Growing”. Sebab,
di sektor publik masih minim dengan pressure
sebagai salah satu determinan untuk lahirnya inovasi. Ketersediaan anggaran
setiap tahun dan fasilitas yang telah mapan membuat libido dan adrenalin
inovasi sektor publik menjadi begitu lamban.
Selanjutnya,
saya mencermati fenomena cepatnya perubahan selera masyarakat dalam hal joged/goyang.
Hukum pasar-pun berlaku, ketika permintaan masyarakat akan gaya joged yang baru
semakin besar, maka muncullah penawaran dari pelaku seni. Dalam konteks ini,
saya menulis sebagai berikut: “Goyang
Karawang dan goyang Dombret yang disusul dengan goyang-goyang yang lain:
Ngebor, Patah-Patah, Gergaji, Sundul, Cesar, Oplosan, dan lain-lain bisa
disebut sebagai bentuk kreativitas insan seni. Belum lagi kekayaan budaya tanah
air yang sangat beragam. Ya … negeri yang ber-Bhinneka memang semestinya
merupakan tempat yang subur untuk tumbuhnya kreativitas dan inovasi”. Saya
senang bahwa posting ini mampu memancing komentar yang saya harapkan. Salah
satunya menyatakan: “Kelihatannya di
dunia seni inovasi begitu cepat berkembang, mudah-mudahan ini bisa menular di
wilayah ilmu administrasi dan manajemen pemerintahan. Salam inovasi!”. Sayapun
menjawab bahwa salah satu instrumen untuk menumbuhkan kreativitas dan inovasi
adalah dengan analogi, dan analogi yang efektif adalah yang dilakukan dalam
bidang yang berbeda. Misalnya, cara kerja printer inkjet Hewlett-Packard
ternyata dikembangkan oleh John Vaught dari analogi terhadap mesin pembuat
kopi. Maka, siapa tahu inovasi sektor publik juga bisa dianalogikan dari
inovasi dunia seni, kuliner, atau bidang-bidang lainnya. Komentar inspiratif
juga datang dari salah seorang mantan pejabat Eselon I di Sekretariat Wapres.
Beliau menulis: “DIAN (singkatan dari
Deputi Inovasi Administrasi Negara) yang
tak kunjung padam. Lihatlah dian yang sedang menyala. Dalam nyala dia terus
bergoyang. Goyangnyapun selalu keatas. Semua itu menunjukkan bahwa dian tidak
boleh padam, tidak boleh diam kaku, dan terus keatas untuk menggapai cita-cita
yang tinggi”. Di dalam untaian kata tadi, terbersit nasihat yang dalam
untuk saya maupun seluruh pejabat dan pegawai di lingkungan DIAN.
Pada tanggal 3
Januari 2014, saya menulis lagi sebagai berikut: “Diantara mitos (pemahaman yang keliru) tentang kreativitas dan inovasi
adalah: 1) orang-orang kreatif dilahirkan, bukan dibentuk; 2) orang pintar
pasti kreatif dan inovatif. Inovasi adalah hak setiap individu, kaya atau
miskin, pintar atau kurang pintar, laki-laki atau perempuan, keturunan
bangsawan atau seniman atau bahkan rakyat jelata, berbakat maupun tidak”.
Kembali, status ini mendapat pertanyaan yang menggelitik. Salah satunya
menulis: “Kalau dalam seni dan teknologi
jelas sekali karya yang inovatif. Tapi kalau konteks government, what you do
think? How to design the innovative organization? I was wondering about this.
Mungkin pak Tri bisa sharing ideas sama kita-kita”. Sayapun menjawabnya
demikian: “It’s really a big challenge to
compose a general framework, common platform, and shared understanding
regarding innovation in public administration. We’re working on it, dengan
senang hati akan kami share ke sebanyak mungkin pihak terkait segera setelah
kami merampungkan kerangka inovasi administrasi negara ini”.
Ada juga
seorang teman yang cenderung curhat dengan menceritakan bahwa di kantornya, ia
termasuk angkatan sepuh. Para yuniornya rata-rata memiliki IPK bagus, lulus
cepat, dan dari universitas terkemuka, bahkan ada yang lulusan luar negeri.
Tapi kalau kerja bikin gemes, tidak berani ambil resiko, dan selalu memilih di
zona nyaman. Menurutnya, orang pintar itu belum tentu kreatif dan inovatif.
Pengalaman dan keadaan kepepetlah yang membuat orang jadi kreatif dan inovatif.
Terhadap hal ini, saya memberi respon bahwa inovasi – sebagaimana dedikasi –
adalah urusan passion, internal driver,
penghayatan terhadap values, dan belief system yang kokoh dari seseorang.
Tanpa itu semua, seorang pegawai tidak lebih hanyalah “mayat berjalan” dan
menghabiskan anggaran negara. Solusinya cukup sederhana, yakni “tetaplah
menjadi diri anda yang inovatif dan berdedikasi tinggi”. Situasi seperti ini
adalah kutukan Pareto (Pareto’s law)
yang mengatakan selalu ada formula 20 : 80. Artinya, dalam organisasi itu
selalu “hanya” ada 20% yang baik dan kredibel, sedangkan 80% sisanya masuk
kategori biasa-biasa saja, bahkan 20% diantara yang 80% tadi termasuk golongan trouble maker. Tugas kita hanyalah
menjadi bagian dari 20% yang baik dengan harapan dapat mempengaruhi yang 80%.
Rupanya, komentar
kritis belum berhenti sampai disini. Seseorang dari Makassar mengkritisi
berbagai gebrakan Jokowi. Dia menolak pendapat banyak orang bahwa Jokowi
membawa perubahan, kreatif dan inovatif. Bagi dia, hal itu biasa saja karena
memang sesuatu yang seharusnya dilakukan pemimpin dari dulu. Faktor rasa bosan
rakyat Jakara karena macet dan banjir membuat ide Jokowi cepat diterima rakyat
Jakarta. Dia juga mengkritik Jokowi yang blusukan
mendengarkan suara rakyat. Bukankah struktur pemerintahan telah ada? Apa fungsinya
kalau tidak bisa bekerja membantu gubernur? Dia menilai bahwa Jokowi kurang
percaya dengan struktur sehingga harus terjun sendiri ke tengah-tengah
masyarakat. Pada saat yang bersamaan, ada pula komentar yang berpendapat bahwa
inovasi tidak harus dilakukan dengan menciptakan hal-hal yang luar biasa dan
belum pernah ada. Inovasi juga dapat dilakukan melalui kegiatan sederhana namun
dapat memberikan nilai tambah bagi siapa saja.
Mengomentari
pendapat diatas, saya memulai dengan memberikan definisi inovasi dari Ravi K.
Jain, Harry C. Triandis, and Cynthia W. Weick (2010, Managing Research,
Development, and Innovation: Managing the Unmanagable, John Wiley &
Sons Inc.) yang menulis bahwa “Inventing is the creation of new knowledge or
new ideas; Innovation is the integration of existing technology and inventions
to create a new or improved product, process, or system”. Saya juga menyitir pendapat Arthur B.
Markman and Kristin Wood (2009, Tools for Innovation: The science behind the
practical methods that drive new ideas, Oxford University Press) bahwa “Invention is the first innovation within
some class of objects. A new member of an already existing category of objects
is an innovation, but the first of the objects within that category is an invention”.
Dari definisi diatas, maka perubahan kecil dan seolah tidak bermakna bisa saja
dikatakan luar biasa jika selama ini tidak pernah terjadi, seperti yang
dilakukan Jokowi. Tapi mau disebut biasa-biasa saja juga tidak masalah, yang
terpenting ada proses perbaikan dari yang selama ini terjadi. Soal struktur
birokrasi yang tidak jalan itu adalah persoalan efektivitas instrumentasi
birokrasi. Langkah Jokowi sendiri bagi saya adalah inovasi terhadap stagnasi
dari keberfungsian struktur tersebut.
Selanjutnya,
saya memposting beberapa tagline untuk
memicu atau menstimulasi otak agar lebih kreatif.
Beberapa tagline yang saya lempar
sebagai pancingan misalnya: “Innovation everywhere, anytime, for everyone“, dengan penjelasan
tambahan bahwa: 1) Inovasi tidak dibatasi ruang
dan waktu; 2) Inovasi dapat menjelma dalam bentuk apa saja yg tidak terpikirkan
sebelumnya; 3) Inovasi dapat terjadi di seluruh siklus manajemen, semua dimensi
sumber daya, dan setiap karakter pekerjaan; dan 4) Inovasi tidak dibatasi jabatan,
pendidikan, senioritas, dan lain-lain (4/01/ 2014). Saya juga melempar tagline berbunyi “Now every institution can innovate“, dengan
penjelasan tambahan bahwa: 1) LAN akan menyediakan informasi berbagai best-practice inovasi dari berbagai daerah/negara/sektor;
2) LAN akan memberikan pendampingan, bimbingan, fasilitasi dan advokasi
inovasi; 3) Inovasi konvergen dengan hukum, tidak bertentangan atau melanggar
hukum; dan 4) Inovasi tidak harus mahal dan tidak harus berbasis teknologi
(12/01/2014).
Pada kesempatan lain, saya memposting hal-hal elementer tentang inovasi,
misalnya perbedaan antara kreativitas dan inovasi. Saya merujuk pada pendapat Jiri
Vacek (2009, Innovation Management, Department of Management,
Innovations and Project, Faculty of Economic UWB) yang menyebutkan bahwa “Innovation
begins with creative ideas. Creativity by individuals and teams is a starting point
for innovation; the first is a necessary but not sufficient condition for the
second” (7/01/2014). Atau, definisi inovasi itu sendiri, yang saya tuliskan
sebagai berikut: “Inovasi berasal dari bahasa Latin
innovÄtus,
yang berarti memperbarui (to renew). Jadi, inovasi adalah proses pembaruan sesuatu
yang sudah ada, bukan memperkenalkan sesuatu yang baru”
(14/01/2014). Ternyata, dari komentar yang ada dapat disimpulkan bahwa banyak
yang tidak paham dan masih bingung dalam membedakan kreativitas dan inovasi.
Bahkan ada yang meminta untuk men-share posting
saya untuk menjadi referensi.
Selain hal-hal
elementer diatas, saya juga menuliskan substansi yang relatif advanced. Pada edisi 19/01/2014
misalnya, saya menulis: “Menurut Edward
de Bono, salah satu cara dalam lateral thinking adalah memakai ide-ide
acak untuk membangkitkan ide-ide baru. Penggunaan ide-ide acak tadi bisa
menarik kita keluar dari pola berpikir normal. Salah satu alat bantu yang
diperkenalkan de Bono untuk menghasilkan ide-ide acak adalah PO, singkatan dari
Provocative Operation, dimana sebuah ide bisa memaksa kita berpikir ke tempat
baru dimana ide-ide lainnya yang lebih masuk akal bisa dihasilkan untuk
menyelesaikan masalah”. Disini muncul komentar cerdas, misalnya yang
mengatakan “Ide-ide acak YES, ide
acak-acakan NO”. Menariknya, antara berpikir acak dengan berpikir
acak-acakan agak sulit dibedakan. Status diatas saya tulis juga untuk
merangsang berpikir acak, yakni bagaimana menerapkan provocative operation untuk mencari solusi terhadap masalah yang
dihadapi mayoritas penduduk Jabodetabek belakangan ini, yakni banjir. Salah
satu pikiran acak saya untuk mengatasi banjir adalah “dwifungsi rumah dan kapal
dalam 1 bangunan”. Tentu saja ide ini seperti tidak rasional, karena memang
sebuah pemikiran acak. Namun dalam lateral
thinking justru dianjurkan untuk menuangkan apa saja yang ada dalam pikiran
kita, untuk kemudian dirumuskan secara lebih rasional.
De Bono misalnya
memberi contoh ketika sebuah perusahaan sedang menghadapi masalah penurunan
penjualan, kemudian si pemilik perusahaan mengembangkan provocative operation dengan berpikir
untuk terus berjualan ketika tidur. Ini adalah sesuatu yang tidak masuk akal,
karena perusahaan yang bermasalah mestinya menyikapi dengan kerja yang lebih
keras, bukan malah berjualan sambil tidur. Namun ketika dijabarkan secara lebih
detil, maka ide itu sesungguhnya sangat masuk akal, bahkan menjadi ide yang
sangat jenius. Bagaimana caranya berjualan sambil tidur itu? Salah satunya adalah dengan merekrut salesman yang
bersedia menjual 24 jam. Atau, dengan menjual produk kepada konsumen di zona
waktu lain. Atau, menjual melalui internet (online shop) seperti menjamur saat ini. Ide ini sangat aneh ketika
belum terwujud, bahkan seolah mustahil. Namun dalam lateral thinking, nothing is
impossible.
Ada juga
komentar yang nampaknya meragukan kredibilitas seorang de Bono, dengan mengacu
pada tulisan Gede Prama bertajuk “Edward de Bono Sembrono”. Sayang dari
penelusuran di Google saya tidak menemukan tulisan tersebut, sehingga saya
tidak yakin apa benar Gede Prama menganggap de Bono sembrono. Jika benar, bisa
jadi justru Gede Prama yang sembrono karena de Bono sudah membuktikan
kapasitasnya secara internasional, dibuktikan dengan penobatannya pada tahun
2009 sebagai “Brain of the Year” oleh
The Brain Tryst, yayasan yang didirikan oleh Tony Buzan, penulis buku best-seller tentang Mind Mapping. Selain itu, de Bono juga sudah menulis 76 buku yang
telah diterjemahkan dalam 40 bahasa, disamping telah mengadakan pelatihan di 58
negara dalam jangka waktu 30 tahun terakhir.
Tidak lupa saya juga menulis persepsi
saya tentang inovasi. Pada tanggal 8/01/2014 saya menulis: “Inovasi itu bukan hanya persoalan TECHNICAL
atau SCIENCE dalam memberi nilai tambah pada proses atau produk dari suatu
organisasi/perusahaan saja, namun juga sebuah ART dalam mengelola,
merencanakan, dan mengembangkan ide/pemikiran kreatif menjadi sebuah hasil yang
tangible; serta sebuah MENTAL MODEL atau spirit yang menjiwai sebuah aktivitas
atau kultur yang memungkinkan kreativitas bisa berkembang secara optimal”.
Hal ini sesuai dengan tulisan Gerry Sexton and Brian McDermott (1998, Creating Perpetually Innovative,
People-Driven Organizations: a White Paper, GrowthWorks Inc.) bahwa: “The most important thing to recognize about innovation, whether it is
individual, team or organizational, is that it is a mindset. It is not a
specific process or set of rules to follow. It’s a way of thinking”.
Opini saya yang lain tentang inovasi
saya tuliskan pada edisi 10/01/2014 sebagai berikut: “Kemajuan suatu bangsa tidak tergantung pada melimpahnya sumber daya
alam, luasnya wilayah, atau banyaknya penduduk, melainkan pada seberapa jauh
mereka dapat melakukan inovasi dalam segala bidang. Jepang adalah contoh
konkrit negeri yang miskin sumber daya namun kaya dengan inovasi, sehingga
menjelma menjadi kekuatan utama di dunia. Maka, benarlah kata Peter Drucker
bahwa ‘every organization needs one core competence: innovation’”.
Lagi-lagi, cukup banyak diskusi dari status ini. Dari berbagai diskusi tadi,
saya memberi respon bahwa selama ini di Indonesia inovasi masih sering diliaht
sebagai something breaking the rule,
sehingga banyak orang alergi dengan inovasi, dan akibatnya inovasi menjadi
makhluk asing dalam birokrasi Indonesia. Itulah sebabnya, mindset tentang inovasi harus dilurunkan. Inovasi bukanlah sesuatu
yang melanggar aturan (breaking the rule),
namun lebih kepada breaking the habit
atau membongkar kebiasaan-kebiasaan lama yang kurang kondusif untuk sebuah
kemajuan. Inovasi bagi saya lebih merupakan pembaruan cara mengerjakan sesuatu,
cara berpikir, cara mencapai tujuan organisasi, dan lain-lain, tapi tidak
menciptakan hukum/aturan baru.
Terakhir, saya juga menghimbau atau
memprovokasi pembaca laman Facebook saya untuk terus berpikir inovatif. Sebagai
contoh, pada tanggal 18/01/2014 saya mencatat: “Selamat bermalam minggu sahabat semua, tetaplah kreatif dengan
aktivitas rutin anda. Ingat, ‘business as usual’ adalah musuh utama inovasi,
dan sikap mempertahankan ‘status quo’ adalah musuh utama integrits. Salam
inovasi”. Sementara pada pada tanggal 11/01/2014 saya tulis: “meskipun malam minggu, jangan lupa untuk
terus berpikir kreatif dan inovatif ya teman-teman …”. Terhadap status
himbauan inipun, Alhamdulillah cukup mendapat respon positif dari beberapa sahabat
Facebook.
Dari berbagai dinamika yang saya
ungkapkan diatas, saya merasakan sebuah efektivitas diskusi secara timbal balik
antara saya sebagai host, dengan para
pengunjung laman Facebook saya sebagai feeder.
Saya terpacu untuk terus mendalami hal-hal yang ditanyakan atau dikomentari
pengunjung, dan sebaliknya sayapun yakin telah memberi wawasan baru terhadap
mereka. Bagi saya, Facebook menjadi media melakukan public campaign tentang perlunya inovasi dalam penyelenggaraan
administrasi negara. Saya yakin, dengan menghidupkan diskursus tentang inovasi
dan membiasakan khalayak bicara inovasi, lambat laun inovasi akan menjadi
kebutuhan, bukan lagi sekedar tuntutan apalagi sebuah hiasan. Semoga!
Gd. B Lt. 5, Veteran 10, pukul 20.05 wib
Jakarta, 20 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar