Ini kisah
tentang Kerajaan Lembah Makmur. Sang Raja, Kanjeng Sunan Agung Dewantara,
terkenal sebagai seorang cerdik cendikia dan sosok seorang pemimpin yang lebih
memikirkan rakyatnya dibanding diri dan keluarganya. Tidak layaknya raja-raja
yang gila sembah dan gila hormat, dia adalah raja yang memperjuangkan
kesejajaran status sosial. Kehormatan dan penghormatan bagi seseorang, bagi
Sang Raja, tidaklah ditentukan oleh pangkat, jabatan, kekayaan, atau tingginya
pendidikan, melainkan seberapa besar orang tersebut telah berbuat sesuatu yang
bermanfaat bagi orang lain dan organisasinya. Kangjeng Sunan adalah juga
seorang yang berpandangan visioner serta memiliki semangat pembaharuan yang
luar biasa. Apapun yang terjadi pada masa kepemimpinan Sri Baginda Astana
Rajasa dan para pendahulu lainnya, dirombak oleh Kanjeng Sunan Agung Dewantara.
Jumlah menteri dan adipati dikurangi untuk membuat span of control menjadi lebih efektif. Para menteri yang sering
menerima upeti dan gratifikasi, atau para adipati yang dinilai tidak memiliki
kompetensi dan prestasi, juga dilengserkan, diganti oleh para ksatria muda yang
lebih menjanjikan dan lebih bertenaga.
Sang Raja
menginginkan agar kerajaan Lembah Makmur disegani oleh kerajaan-kerajaan tetangga,
sekaligus mampu mensejahterakan rakyatnya melalui program-program yang lebih
terfokus dan efisien. Untuk itu, Sang Raja menyadari betul bahwa diantara para
pembantunya harus memiliki sinergitas bukan hanya dalam pelaksanaan tugas
sehari-hari, namun juga dalam hal visi, orientasi, serta sistem nilai yang
mendasari tugas-tugas tersebut.
Untuk
membangun soliditas tim tadi, Sang Raja mengajak para petinggi kerajaan untuk
berkumpul di tempat yang cukup terasing di batas luar wilayah kerajaan.
Aktivitas kerajaan untuk sementara waktu dijalankan para punggawa di level
menengah dan bawah. Raja sadar betul bahwa kesempatan berkumpul antar pejabat
tinggi ini sangat penting, bukan hanya untuk mempererat relasi inter-personal
antar pejabat, namun lebih dari itu untuk menjamin bahwa apapun yang dilakukan
para menteri di kerajaan tadi, benar-benar mengarah pada pemikiran besar Sang
Raja. Raja juga ingin menggali intangible
assets dari para pembantunya sebagai energi potensial untuk mempercepat
transformasi kerajaan dari yang bersifat paternalistik menjadi berbasis
kompetensi, dari karakter klasik menjadi institusi yang jauh lebih modern.
Maka, Raja-pun
rela meninggalkan istananya demi dapat memimpin langsung pertemuan tersebut.
Raja sadar betul bahwa dia tidak akan selamanya menduduki tahtanya. Boleh jadi
dia akan memimpin kerajaan hingga tua renta, namun siapa yang dapat memastikan
usia seseorang? Itulah sebabnya, Sang Raja berprinsip bahwa selagi masih ada
kesempatan untuk berbuat baik bagi selain dirinya sendiri, kesempatan itu harus
digunakan sebaik-baiknya. Sang Rajapun berprinsip bahwa dia harus memberi
peninggalan yang bermakna bagi penerusnya kelak, bagi rakyatnya, serta bagi
anak-cucu-cicitnya. Bagi beliau, hidup tidak lain adalah sebuah pengabdian
untuk sesama melalui upaya memberi nilai tambah dalam segala segi kehidupan.
Dengan
dilandasi filosofi seperti ini, agenda pertemuan disusun secara rinci dan
ketat. Dari pagi hingga tengah malam, seluruh menteri dan adipati haruslah
mengikutinya secara penuh dan aktif. Bahkan, Raja menambahkan agenda baru
diantara agenda yang sudah demikian padat, dengan harapan dapat dilaksanakan
disela-sela waktu yang ada. Ini menunjukkan betapa beliau sangat menghargai
waktu dan ingin memanfaatkan untuk menghasilkan sebanyak mungkin hal positif
bagi kerajaannya.
Untunglah,
para menteri dan adipatinya menunjukkan loyalitas dan semangat yang tinggi
untuk mendukung apapun pilihan kebijakan Sang Raja. Mereka seperti berlomba
menjadi yang terbaik di mata Sang Raja. Mereka aktif dalam setiap aktivitas,
bahkan cenderung terlalu aktif. Mereka menunjukkan optimisme yang begitu kuat
melalui pernyataan-pernyataan positif dari mulut mereka. Singkatnya, pertemuan
tadi berhasil merumuskan nilai-nilai dan visi baru bagi kerajaan. Tujuan Raja
berhasil dengan gemilang untuk mengikat komitmen para pembantunya dalam jalinan
konsensus mengenai visi dan perangkat nilai-nilai tadi. Mereka semua sepakat
bulat untuk menjunjung tinggi integritas dan profesionalisme dalam menjalankan
amanah. Bahkan di akhir acara, Sang Raja menegaskan kembali komitmen para
pembantunya dengan menanyakan, apakah mereka semua siap untuk melaksanakan
kesepakatan bersama ini? Tak diragukan lagi, suara gemuruh menjawab: “siappppp”
…
Sayangnya,
hasil yang sesuai target serta proses yang ketat dan panjang tadi menjadikan
agenda tambahan tidak dapat disisipkan diantara jadual pokok. Maka, Sang Raja yang
memang memiliki totalitas terhadap tugasnya itu, menyediakan diri untuk
membahas agenda tambahan setelah penutupan acara pokok. Nah, disinilah ujian
terhadap integritas, komitmen, dan kesediaan berkorban terhadap organisasi
dipertaruhkan. Kebetulan sekali, pada hari penutupan acara itu ada kabar bahwa
sebagian wilayah Kotaraja terendam air akibat anomali cuaca yang mengakibatkan hujan
turun selama beberapa hari terakhir. Rumah beberapa menteri dan adipatipun tak
lepas dari banjir, dari ketinggian semata kaki hingga selutut orang dewasa.
Atas dasar rumahnya kemasukan air inilah, para menteri tadi menginginkan agenda
tambahan dibatalkan.
Ketika
mengetahui kepastian bahwa agenda dibatalkan itulah, seketika muncul renungan
dan pertanyaan dalam hati: “apa sesungguhnya makna integritas itu?”. Setelah
berhari-hari berjuang merumuskan nilai-nilai organisasi, begitu mudahkah
melupakannya hanya dengan alasan rumah sebagian orang kemasukan air? Bukankah
agenda tambahan itu hanya akan dilakukan selama 1 jam saja, mengapa harus
menunda pekerjaan dan melupakan prioritas organisasi? Bukankah kondisi rumah
yang kebanjiran itu tidak dapat diatasi dengan waktu 1 jam saja? Bukankah 1 jam
penyelesaian pekerjaan lebih berharga dibanding 1 jam menunggui banjir?
Kalaupun akan ada dispensasi bagi beberapa orang yang kebanjiran, bukankah
agenda organisasi tetap harus berjalan tanpa tergantung segelintir orang?
Terus terang,
pada akhirnya hanya keraguanlah yang merebak bahwa aktivitas seminggu diluar
Kotaraja tadi akan menjadi titik awal kebangkitan kerajaan. Sebaliknya, justru
muncul benih-benih persepsi bahwa hal itu hanyalah kesia-siaan belaka. Sangat
boleh jadi semangat status quo dan business as usual belum terkikis habis
dari mindset para petinggi kerajaan. Kejadian
di ujung acara tadi seolah menjadi barometer bahwa konsistensi dan sikap
istiqamah masihlah menjadi barang termahal di Kerajaan Lembah Makmur, bahkan
juga di kerajaan-kerajaan lainnya. Integritas sungguh sebuah kata yang indah
dan mudah untuk diucapkan, namun teramat sulit untuk dijalankan. Faktanya, hipokrisi
masih bergentayangan di ruang-ruang publik maupun privat, mengalahkan dedikasi,
integritas, dan totalitas atas tanggungjawab jabatan.
Meskipun
demikian, semoga saja insiatif Kanjeng Sunan Agung Dewantara tidak terlalu
sia-sia. Diantara kuatnya inkonsistensi, pastilah masih tersisa integritas,
komitmen, dan pengabdian murni dari sebagian para menteri dan adipatinya …
Diatas Tol Tangerang-Jakarta,
20 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar