Pada
hari Kamis, 28 Maret 2013, kelas kami mendiskusikan tema kepemimpinan dengan
menggunakan metode SSM (Soft System
Methodology). Pemimpin harus memiliki peran yang kuat untuk mampu membangun
sistem pelayanan publik yang berkualitas, daya saing bangsa yang kuat, serta
mewujudkan kedaulatan bangsa yang kokoh.
Peran
pemimpin sendiri sangat beragam dalam pandangan para ahli. Menurut Vadim
Kotelnikov (http://www.1000ventures.com), ada tiga
peran utama pemimpin seorang pemimpin, yakni: 1) Visioning and Setting an Example,
yang dijabarkan dalam peran yang lebih spesifik seperti create and inspiring vision and shared values, lead change, lead by
example, dan demonstrate confidence; 2) Empowering and Energizing, yang
terbagi lagi dalam peran inspire and
energize people, empower people, communicate openly, dan listen, support, and help; serta 3) Leading
Team, yang lebih diaktualisasikan dalam peran involve everyone & use team approach, coach & bring out the
best of your people, encourage group decision, dan monitor progress but don’t micromanage.
Senada
dengan pendapat Vadim diatas, Dave Ulrich, Norm
Smallwood, and Kate Sweetman (The
Leadership Code: Five Rules to Lead, Harvard Business School Press, 2009)
mengemukakan lima kompetensi inti kepemimpinan sebagai berikut: 1) Strategist
– Leaders shape the future; 2) Executor
– Leaders make things happen; 3) Talent
manager – Leaders engage today’s talent; 4) Human capital developer – Leaders build the next generation;
serta 5) Personal proficiency – Leaders invest in their own development.
Pandangan ini sangat serupa dengan Dept. of Education, Training, and Employment, Queensland Government
dalam publikasi berjudul Capability and
Leadership Framework, yang menyebutkan kompetensi inti
kepemimpinan sebagai berikut: 1) Shapes strategic thinking; 2) Achieves results; 3) Cultivates productive working
relationships; 4) Exemplifies
personal drive and integrity; serta 5) Communicates
with influence.
Sementara itu, Peter Senge ("The Leader's New Work: Building Learning Organizations," in Sloan
Management Review, 1990), berpendapat
bahwa dalam organisasi pembelajaran (learning
organization), pemimpin mempunyai tiga peran sebagai designers, teachers, dan stewards.
Ketiga peran ini membutuhkan keterampilan baru yakni kemampuan membangun shared vision, menantang model mental yang berlaku
(surfacing and testing mental model), dan mendorong pola
yang lebih sistemik berpikir
(systems thinking). Sebagai designer, pemimpin bertugas
mendesain governing ideas tentang
tujuan, visi, dan nilai-nilai inti organisasi. Tugas kedua adalah menerjemahkan guiding ideas menjadi keputusan
bisnis. Sebagai teacher, pemimpin bertugas
membantu setiap orang dalam organisasi untuk memperoleh pandangan yang lebih
dalam tentang realitas saat ini. Adapun sebagai steward, pemimpin berprinsip
servant first, bukan leader first. Stewardship ini terdiri dari dua hal, yakni stewardship untuk orang-orang yang dipimpin, dan stewardship untuk tujuan yang lebih luas
atau misi yang memperkuat organisasi.
Intinya, seorang pemimpin haruslah serba
bisa alias multi talenta dan multi kompetensi. Itulah konsekuensi seseorang
yang memiliki pengikut (follower). Sayangnya,
diskusi dan analisis tentang kepemimpinan seringkali hanya dilihat dari sisi si
pemimpin, dan jarang yang bicara soal pengikut (followership). Buku-buku tentang kepemimpinan begitu berlimpah,
sementara buku tentang kepengikutan sangat sulit didapatkan. Pengikut masih
lebih diposisikan sebagai obyek terhadap pemimpin sebagai subyek. Memang peran
pemimpin sangatlah penting, sebagaimana tersirat dari ungkapan “An army of sheep led by a lion, is better
than an army of lions led by a sheep” (Alexander The Great). Namun bukan
berarti peran pengikut dapat dikecilkan. Sebagaimana ungkapan Barbara
Kellerman: “Followers are more important
to leaders than leaders are to followers”. Singkatnya, harus ada proporsi
yang seimbang antara pemimpin dan pengikut saat membahas tentang leadership. Ini sejalan juga dengan perkataan
Edith Wharton (dalam Vesalius in Zante,
1564): “There are two ways of spreading
light: to be the candle or the mirror that reflects it”.
Karena
soal kepemimpinan terus diperbincangkan sementara kepengikutan seolah
terabaikan, yang terjadi kemudian justru adalah krisis kepemimpinan. Pengalaman
Indonesia maupun berbagai negara menunjukkan bahwa suksesi kepemimpinan nasional
hampir selalu diwarnai oleh intrik politik yang jahat. Bahkan dalam masa
kepemimpinan formal, seorang pemimpin terus saja digoyang dan dipertanyakan
legitimasinya. Siapa yang melakukan itu? Tentu saja kalangan pengikutnya. Dan hal
ini terjadi karena dimensi kepengikutan tidak pernah dipikirkan secara serius,
atau dikembangkan sistem, strategi, dan kebijakan yang lebih tepat untuk mendukung
fungsi kepemimpinan.
Dalam
kaitan dengan Diklat Aparatur, maka Diklat Kepemimpinan pada berbagai level
semestinya tidak hanya membekali peserta untuk menjadi (calon) pemimpin yang
baik, namun juga harus dikembangkan kurikulum untuk membentuk alumni diklat
sebagai para pengikut yang baik, patuh, dan inovatif. Kita bisa belajar dari
Alexander Agung yang menjadi follower yang baik dari gurunya,
Aristoteles. Atau, kita bisa menengok kisah tentang Pandit Jawaharlal Nehru,
Perdana Menteri India pertama (1947-1964) yang merupakan murid utama Mahatma
Gandhi. Mereka bisa menjadi pemimpin yang baik karena berhasil dengan gemilang
ketika menjadi pengikut. Intinya, hanya mereka yang baik ketika menjadi follower yang memiliki probabilitas
untuk menjadi leader yang baik.
Maka,
membangun kepemimpinan yang kuat sama pentingnya dengan menumbuhkan
kepengikutan yang tangguh.
Dari
kamar B-315
Kampus Pejompongan, 1
April 2013