Sudah
menjadi pemahaman umum bahwa metode pembelajaran dalam Diklat Aparatur,
terutama Diklat Kepemimpinan, adalah metode Andragogi, atau metode belajar
untuk orang dewasa. Metode ini berpusat pada peserta (participant centered learning), yang membedakan dengan metode Paedagogi
yang berpusat pada pengajar (teacher
centered learning). Menurut penelitian Vadim Kotelnikov (http://www.1000ventures.com), metode kuliah
atau ceramah (lecture) memang
merupakan metode yang paling tidak efektif, dimana setelah kuliah selesai,
persentase perolehan pengetahuan peserta hanya 5 persen. Metode yang lebih
efektif dalam pembelajaran adalah reading
(dengan perolehan pengetahuan sebesar 10 persen), audio visual (20 persen), demonstration
(30 persen), group discussion (50
persen), learning by doing (75
persen), dan teaching one-to-one (90
persen).
Metode
Andragogi ini didasari pada asumsi bahwa peserta tidak datang dengan otak
kosong, namun sudah cukup kaya dengan pengalaman dan pengetahuan, sehingga
peserta akan bisa menjadi sumber belajar bagi peserta lain, bahkan bagi
guru/widyaiswara yang hanya bertindak selaku fasilitator. Namun, metode ini
sering disalahartikan oleh widyaiswara/fasilitator tertentu untuk menghindari
dari kewajiban untuk menguasai bidang ilmu tertentu, untuk mengarahkan anak
didik secara gamblang, untuk mejawab sebuah pertanyaan, untuk memenuhi rasa
penasaran orang lain, dan seterusnya.
Ini
pulalah yang terjadi dalam pembelajaran di Diklatpim I ini. Atas nama metode Andragogi,
seorang widyaiswara mengatakan “Tugas saya memang membuat confuse peserta. Jika peserta bingung, itu tandanya sedang berpikir”.
Pada sessi diskusi kelompok dia juga mengatakan bahwa dia sengaja seminim
mungkin untuk intervensi agar dapat melihat apa yang dihasilkan peserta.
Sebenarnya tidak ada yang salah dari perkataannya. Namun menjadi salah jika itu
hanya dalih untuk menutupi ketidakmampuannya menjawab pertanyaan atau memenuhi
harapan peserta. Celakanya, banyak widyaiswara seperti ini yang tidak menyadari
bahwa sesungguhnya peserta mampu melihat mana yang sekedar berdalih, dan mana
yang benar-benar murni ingin mendorong peserta mengungkap problematika secara
mandiri, sebelum ia sendiri akan memberikan pencerahan kepada peserta.
Metode
Andragogi juga sering disalahartikan dalam wujud lain. Widyaiswara seolah
berkewajiban memberi apresiasi terhadap apapun hasil kerja peserta, meskipun
sebenarnya hasil itu salah secara metofologis atau tidak tepat secara
substantif. Akibat apresiasi yang seringkali berlebihan ini, maka peserta
merasa bahwa hasil kerjanya sudah benar. Namun ketika dikonsultasikan kepada
ahlinya, bisa jadi hasilnya justru bertolak belakang dan disalahkan.
Oleh
karena itu, metode Andragogi yang disalahartikan mengandung bahaya yang cukup
besar. Ketika peserta bekerja mandiri tanpa pengarahan yang memadai, dan
menghasilkan produk belajar yang dinilai baik (padahal sebaliknya), maka ini
sama artinya dengan penyesatan ilmu pengetahuan. Dan dalam perspektif agama (Islam),
ilmu yang salah namun diamalkan, akan mengakibatkan dosa bukan hanya bagi pelakunya,
namun terlebih lagi untuk guru yang memberikan ilmu yang salah tersebut.
Maraknya
fenomena metode Andragogi dijadikan tempat bersembunyi para widyaiswara dari
inkompetensinya ini menunjukkan adanya kesalahan dalam praktek penyelenggaraan
Diklatpim secara keseluruhan. Untuk itu, banyak hal harus diperhatikan secara
serius. Mekanisme dan persyaratan
rekrutmen seorang widyaiswara adalah salah satu aspek terpenting yang harus
dikoreksi. Gelar Doktor memang penting, namun gelar bukanlah segala-galanya. Kompetensi
seseorang terbangun bukan hanya dari proses belajar di perguruan tinggi, namun
juga dari pengalaman kerja, penghayatan dan kontemplasi atas jalan panjang
kehidupan, interaksi dengan lingkungan, atau bahkan otodidak. Nama-nama besar
seperti Bill Gates, Walt Disney, Agatha Christie, dan Henry Ford di luar
negeri, atau Sudjatmoko, HAMKA, dan Bob Sadino di dalam negeri, adalah sedikit
dari banyak tokoh besar karena determinasi pribadinya yang tangguh tanpa harus
mengecap di bangku pendidikan formal tertinggi. Akan jauh lebih baik jika
seleksi widyaiswara dilakukan dengan sistem persaingan sempurna (perfect competition) yang terbuka bagi siapapun
tanpa harus dikerangkeng oleh persyaratan formal seperti gelar, jabatan, dan
sebagainya.
Selain
itu, seorang widyaiswara harus benar-benar menghayati makna profesinya yang
berarti istana ilmu pengetahuan (widya = ilmu; istana = iswara). Dari makna ini
saja sudah terlihat bahwa widyaiswara sebuah sebuah kehormatan dan kemegahan
yang begitu agung. Maka, perilaku yang tidak pantas hanya akan mengkhianati
keagungan profesi widyaiswara. Dalam hubungan ini, alangkah baiknya para widyaiswara
berkenalan dengan Pygmalion, salah seorang nama dalam legenda / mitologi Yunani.
Pygmalion
adalah seorang pematung yang selalu berpikiran positif dan berprasangka baik
terhadap orang lain. Ia juga pribadi yang berorientasi kualitas. Sebagai pematung,
Pygmalion tidak pernah setengah-setengah; setiap karyanya selalu menjadi masterpiece dalam hidupnya. Maka, setiap
karyanya adalah penjelmaan dari spiritnya, penghayatannya terhadap nilai-nilai
luhur yang diyakini, dan kualitas kebatinannya. Dan lebih hebat lagi, dalam
menghasilkan karya-karya monumentalnya, Pygmalion tidak pernah memiliki pamrih
rendahan. Apa yang dilakukan semata-mata karena memang ia harus melakukan itu,
dan apa yang dihasilkan karena ia memang harus menghasilkan itu. Akhirnya …
atas segala keluhuran kepribadiannya tadi, Dewi Aphrodite menganugerahi
Pygmalion seorang istri jelita yang berasal dari patung ciptaannya. Patung yang
menjelma menjadi istri Pygmalion ini diberi nama Dewi Galatea. Itulah imbalan
yang sepadan bagi orang yang tulus ikhlas dalam setiap tugasnya, dan
menyelesaikan tugasnya dengan penjiwaan penuh tentang makna hidup seseorang.
Dalam
ilmu manajemen, kisah Pygmalion bertansformasi menjadi Pygmalion Effect, atau Self
Fulfilling Prophecy, adalah sebuah situasi ketika kita mengharapkan yang
terbaik dari diri kita sendiri atau dari bawahan kita maka sering kita akan
mendapatkan yang terbaik itu. Sebab, kekuatan pengharapan (the power of expectation) membuat
semua orang akan berbuat sebaik mungkin untuk dapat mencapai harapan itu.
Aktualisasi Pygmalion
Effect dalam
diri seorang widyaiswara dan proses pembelajaran Diklatpim adalah bahwa seorang
widyaiswara harus mengubah orientasinya mendapatkan “JP” (jam pelajaran) dan
honorarium, menjadi orientasi berbagi, memberi, membenahi kinerja peserta,
serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Seorang widyaiswara harus memiliki
pengharapan yang besar bahwa apa yang diberikan akan berkontribusi positif
terhadap reformasi di lingkungan organisasi masing-masing peserta. Namun jika
pengharapan ini tidak disertai dengan kapasitas keilmuan yang mumpuni,
bagaimana dia bisa berharap akan khasiat the
power of expectation tadi?
Singkatnya,
metode apapun dapat dipakai oleh widyaiswara sepanjang ditopang oleh kompetensi
yang cukup. Jika tidak, maka maka selamanya kita akan berbelas kasihan kepada
si Andragogi karena selalu menjadi dalih atas disfungsi seorang widyaiswara.
Dari
kamar B-315
Kampus
Pejompongan, 28 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar