Pada
ceramah tentang Perkembangan Paradigma Pembangunan Global dan Indonesia dan
Visi Perjuangan NKRI, Dr. Purnaman meminta peserta menuliskan satu hal yang
dianggap paling penting dan ingin dipelajari dalam hubungan dengan materi
ceramah. Saat itu saya menuliskan “Membangun Bangsa Pekerja (Working Nation)”. Bagi saya,
bermacam-macam paradigm pembangunan tidak ada artinya sama sekali tanpa
dijalankan oleh manusia-manusia yang bermental baja dan tak pernah lelah
bekerja demi kejayaan bangsanya. Dengan kata lain, spirit nasionalisme warga
negara harus menjadi fundamen yang kokoh untuk berjalannya program dan
kebijakan pembangunan.
Kebetulan
sekali, pada sesi ceramah berikutnya, Prof. Dr. Sri Edi Swasono menyinggung
soal bonus demografi yang dimiliki Indonesia. Bonus demografi adalah peluang (window of opportunity) yang dinikmati suatu negara
sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk usia produktif (rentang 15-64 tahun).
Dalam konteks Indonesia, disebut “bonus” karena sekitar 60 persen dari total
penduduk berada pada rentang usia 15-64 tahun tadi. Dengan jumlah penduduk
berkisar 240 juta jiwa, maka ada 144 juta jiwa masuk dalam kategori usia
produktif. Bayangkan saja, seandainya setiap penduduk produktif menambah jam
kerjanya 1 jam saja setiap harinya, maka akan ada 144 juta jam kerja baru. Jika
secara akumulatif nasional ada penambahan 144 juta jam kerja setiap hari, berapa
milyar jam kerja yang bisa dilakukan bangsa ini dalam 1 tahun? Jika penambahan
jam kerja setiap usia produktif setiap harinya ditingkatkan 2, 3, atau 4 jam,
maka akumulasi nasional akan semakin berlipat ganda. Ini peluang yang teramat
sangat dahsyat bagi negeri ini untuk menyelesaikan berjuta “proyek” dan
pekerjaan rumah yang tertinggal. Saya membayangkan, tambahan milyaran jam kerja
dalam 1 tahun itu equivalen dengan
penyelesaian pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS). Singkatnya, pembangunan
JSS bisa diselesaikan “hanya” dalam 1 tahun, jika bangsa ini menambah jam kerja
hariannya minimal 1 jam.
Produktivitas Indonesia dibanding
dengan negara tetangga, terus terang masih tertinggal cukup jauh. Laporan USAID
(2010, Measure: Indonesia, The Enterprise
Development Diagnostic Tool, Business Growth Initiate Project) menunjukkan
bahwa produktivitas tenaga kerja per pekerja per tahun (labor productivity per person employed) Indonesia adalah USD 10,671.07,
kalah dari Thailand dengan produktivitas sebesar USD 15,547.95, atau Malaysia
sebesar USD 25,590.27, serta terlalu jauh dari Singapura sebesar USD 45,786.45.
Laporan ini sejalan dengan
publikasi APO (Asian Productivity
Organization) berjudul APO Productivity
Databook 2012 (Keio University Press, Tokyo). Disini dikatakan bahwa per hour labor productivity levels (level
produktivitas pekerja per jam) tahun 2010 di Indonesia (dalam USD) adalah 3,6,
atau dibawah Filipina (4,3), Thailand (6,7), Malaysia (15,0) dan Singapura
(40,2).
Itulah
sebabnya, struktur demografi yang “gemuk” di bagian tengah yang dialami
Indonesia merupakan berkah dan anugerah Tuhan YMK, yang semestinya bisa
dimanfaatkan untuk menghasilkan nilai tambah secara nasional. Bonus demografi
harus benar-benar disikapi positif oleh seluruh jajaran bangsa Indonesia, baik
dari kalangan birokrat pemerintahan, maupun dari masyarakat luas. Jika tidak,
bisa terjadi kondisi sebaliknya, dimana bonus demografi justru berubah menjadi
musibah. Hal ini terjadi jika kelompok usia produktif tadi hanya diisi oleh manusia
yang konsumtif, yang menyukai produk asing, yang tidak memiliki jam kerja
tinggi, atau yang tidak memiliki kreativitas dan inovasi.
Dalam
kaitan inilah, maka persoalan nasionalisme menjadi sangat urgen. Sebagaimana dikatakan
oleh Ian Lustic, “nasionalisme merupakan kekuatan
pembangunan yang tak ada tandingannya di dunia masa kini”. Pertanyaannya adalah,
bagaimana mengaktualisasikan nasionalisme di era globalisasi dan pasar bebas
dewasa ini? Ketika generasi muda terlanjut terpikat dengan segala produk barang
dan budaya yang berbau asing, ketika kapitalisme mulai menggeser para pelaku
bisnis tradisional, ketika kebanggaan nasional mulai layu, ketika ketika para importer
seenaknya memainkan komoditas dan harga demi kepentingan sempit mereka, ketika
produk-produk murah luar negeri membanjiri pasar domestik, dan ketika negara
terlihat bingung dengan situasi problematik yang dihadapi, bagaimana status
nasionalisme kita?
Dalam
keadaan seperti itulah, justru penanaman kembali nilai-nilai dan semangat
nasionalisme semakin mendesak. Dalam aktualisasinya, saya menyarankan agar
nasionalisme diterjemahkan dalam bentuk kerja keras seluruh lapisan bangsa. Untuk
itu, sangat direkomendasikan bagi pimpinan nasional untuk membuat Gerakan
Nasional Kerja Keras. Kerja keras bukan hanya untuk mengejar ketertinggalan
negara kita dari negara lain, namun untuk lebih memperkuat jati diri dan
kontribusi Indonesia bagi dunia. Hal ini penting untuk digarisbawahi, karena Indonesia
didirikan bukan hanya untuk mensejahterakan rakyatnya, tetapi juga untuk
keselamatan dan kedamaian dunia. Demikian pula, Pancasila bukan hanya digali
dari, oleh, dan untuk bangsa Indonesia, namun juga relevan dalam percaturan
dunia internasional. Semakin besar kontribusi Indonesia untuk dunia,
sesungguhnya semakin besar pula aktualisasi Pancasila sebagai dasar falsafah
bangsa.
Tentang
aktualisasi nilai-nilai Pancasila dan nasionalisme sebagai “bangsa pekerja” (working nations) ini, termanifestasikan dalam
dua hal. Pertama, menambah jam kerja
formal maupun informal. Saat ini rata-rata jam kerja orang Indonesia adalah 38
jam per minggu, sementara orang Korea bekerja 62 jam per minggu. Perbedaan jumlah
jam kerja ini terbukti berpengaruh amat besar terhadap produktivitas nasional. Kedua, menambah “RPM” (revolution per minute) dalam setiap jam
yang digunakan. Artinya, kualitas, kreativitas, inovasi, dan produktivitas
harus meningkat meski unit waktu yang tersedia sama. Untuk mendorong produktivitas
nasional melalui peningkatan RPM (bukan penambahan jam kerja), maka investasi
dalam sektor pendidikan merupakan keharusan. Dalam hal ini, pendidikan yang
kita butuhkan bukan yang mencerdaskan otak manusia saja, namun harus pendidikan
yang mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945.
Dari
kamar B-315
Kampus
Pejompongan, 27 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar