Ketika jurnal ini ditulis, issu
kudeta terhadap Pemerintahan SBY sedang marak di berbagai media. Pada saat yang
bersamaan, ada skandal berupa pemberondongan tahanan titipan Polri di Lapas
Cebongan, Sleman. Keduanya adalah peristiwa yang terpisah dan berdiri sendiri,
namun bisa dipandang memiliki keterkaitan. Karena negara (direpresentasikan
oleh jabatan Presiden) terlalu berlebihan merespon issu kudeta yang hanya
dilontarkan oleh segelintir masyarakat sipil, maka negara menjadi lalai menjaga
keselamatan warganya. Melihat pada reaksi yang cenderung show of force dari aparat keamanan dengan mengerahkan kendaraan
lapis baja di beberapa titik pusat kota Jakarta, nampak sekali bahwa sikap
negara sudah tidak proporsional, hanya penghamburan energy, dan bahkan
menyebarkan rasa cemas di banyak kalangan.
Terkait dengan issu-issu diatas, Prof.
Dr. Azyumardi Azra yang memberikan ceramah sessi pagi hari ini menyatakan bahwa
negara membuat issu-issu yang tidak produktif, seperti issu kudeta tadi.
Padahal, negara seharusnya memerankan diri sebagai faktor pemersatu bangsa dan
menjaga kohesi sosial dalam masyarakat. Selain itu, demokrasi tidak bisa
bekerja dengan baik jika negara lemah. Namun faktanya, sejak masa reformasi cenderung
terjadi penurunan kapasitas negara bahkan bergerak kearah gagal. Negara
kehilangan kewibawaannya, hingga banyak kalangan memprediksi akan terjadi efek Balkanisasi,
yakni sebuah situasi diamna negara terpecah belah seperti di negara-negara
Balkan (Kosovo, Bosnia, Monte Negro, Herzegovina, dll). Disisi lain, di tingkat
grass root terdapat gejala merosotnya
public civility (keberadaban publik),
seperti bisa diamati dengan mudah pada perilaku pengendara di jalan raya yang
suka menyerobot, kebiasaan membuang sampah sembarangan, keberingasan massa, ketidakpatuhan
pada aturan, dan sebagainya.
Mencermati situasi seperti itu,
maka kegagalan negara sesungguhnya tidak hanya bersumber dari impotensi
perangkat negara dalam menjalankan tugas dan misinya, namun juga
dikontribusikan oleh perilaku publik yang tidak mencerminkan semangat disiplin
nasional.
Satu counter argument dapat diajukan untuk menilai benarkah Indonesia masuk
dalam kategori negara gagal? Bukankah pertumbuhan ekonomi Indonesia terus
tumbuh lebih dari 6 persen per tahun? Mengenai hal ini, Prof. Azyumardi Azra menjawab
bahwa rakyat tidak cukup hanya dengan makan roti (we don’t live with bread alone). Selanjutnya, jawaban tertulis dapat
dibaca dari tulisan beliau yang kebetulan dimuat di Kompas, 25-3-2013, berjudul
“Hukum Rimba”, sebagai berikut:
Mengapa sebuah negara yang secara
ekonomi bisa bertumbuh dengan baik dapat terjerumus ke dalam labirin negara
gagal? Hal ini terkait banyak dengan kegagalan kepemimpinan negara – yang kemudian
menular ke daerah. Sekali para pejabat publik – baik eksekutif, legislative maupun
yudikatif – terlihat oleh masyarakat luas dan anggota aparat keamanan/penegak
hukum tidak sungguh-sungguh, tidak memiliki komitmen penuh, tidak
berintegritas, tidak menyelaraskan perkataan dan perbuatan, terciptalah keadaan
anomie. Jika keadaan
anomie yang disertai disorientasi dan
dislokasi kian meluas dalam masyarakat, bisa dipastikan hukum rimba menjadi order
of the day.
Apa sesungguhnya negara gagal (state failure) itu? Secara konseptual, Armin
von Bogdandy, et.,al, dalam publikasi berjudul State-Building,
Nation-Building, and Constitutional Politics in Post-Conflict Situations:
Conceptual Clarifications and an Appraisal of Different Approaches (Max Planck Yearbook of United
Nations Law, Volume 9, 2005, p. 579-613, Netherlands, 2005) memberi definisi negara
gagal sebagai the failure of public
institutions to deliver positive political goods to citizens on a scale likely
to undermine the legitimacy and the existence of the state itself (ketidakmampuan
institusi negara untuk memberi kebajikan umum kepada warganya pada skala yang
membuat legitimasi dan eksistensi negara dipertanyakan).
Adapun 5
(lima) ciri dominan dari negara gagal adalah: 1) disharmony between communities, 2) inability to control borders and
the entirety of the territory, 3) a growth of criminal violence, 4) corrupt
institutions, and 5) a decaying infrastructure (Bogdandy, ibid.; Robert I.
Rotberg, “Failed States, Collapsed States, Weak States: Causes and Indicators”,
in: R.I. Rotberg (ed.), State Failure and State Weakness in a Time of Terror,
2003).
Berdasarkan analisis Rotberg
(2003) tadi, ada tujuh negara yang dikategorikan gagal (failed states), yakni Afghanistan, Angola, Burundi, Congo,
Liberia, Sierra Leone, dan Sudan. Dibawah kategori ini ada Somalia yang
dikelompokkan sebagai collapsed state. Sementara Indonesia
sendiri digolongkan dalam weak states atau negara
yang mendekati gagal (approaching failure)
bersama dengan Colombia,
Sri Lanka, and Zimbabwe.
Studi Rotberg
ini sejalan dengan publikasi The Fund For
Peace tentang Failed State Index 2012.
Laporan FFP tersebut menempatkan Indonesia pada kategori very high warning dengan skor 80,6. Sekedar perbandingan, Somalia
dinilai sebagai negara paling gagal dan masuk kategori very high alert dengan skor 114,9. Sedangkan Finlandia adalah
negara teraman di dunia yang dikategorikan sebagai very sustainable state dengan skor 20,0.
Akan tetapi,
saya ingin menggarisbawahi bahwa tidaklah penting memperdebatkan apakah
Indonesia sudah masuk kriteria negara gagal atau baru mendekati kearah gagal, yang
terpenting adalah bagaimana bangsa ini menemukan cara yang benar dan cepat untuk
memulihkan kondisi kebangsaan yang sedang babak belur. Dengan kata lain, nation building dan character development bagi anak negeri menjadi kebutuhan yang tidak
bisa ditawar lagi. Sebab, seperti yang dikatakan oleh Bogdandy (ibid), state failure dapat mendorong terjadinya
nation failure (kegagalan bangsa),
yang ditandai oleh tiga hal sebagai berikut:
• a process in which the
requirements of normal politics, the social substratum essential for the
acceptance of majority and redistribution decisions, disappear;
• the cultural projection of a
nation is no longer convincing to many; there is no consensus on the cultural
traditions, customs, symbols, rituals, and the historical experience – there is
no “usable past”;
• when individual and mutually
exclusive nationalisms replace the former common identity.
Sekali lagi, nation building dan character development menjadi
conditio sine qua non untuk
melanjutkan pembangunan nasional ke tahap-tahap berikutnya. Dalam kaitan ini,
saya memaknakan nation building sebagai
upaya merajut kembali keretakan dalam interaksi antar etnis, antar kelompok
beragama, antar daerah, antar elit dan partai politik, antar angkatan dalam
militer, antar aparat penegak hukum, antar pimpinan dan lembaga kemasyarakatan,
antar pengusaha, serta antar susunan pemerintahan. Rajutan yang sobek
disana-sini harus ditambal dengan falsafah fundamental bangsa Indonesia, yakni
sila-sila dalam Pancasila. Ketika interaksi kebangsaan kita sudah sama-sama dilandasi
oleh spirit dan semangat kejiwaan yang bersumber dari dasar filsafat yang sama,
maka energi kebangsaan akan terkonsolidasi membentuk national power yang amat dahsyat. Pada gilirannya, mudah ditebak
bahwa percekcokan elite tidak akan terjadi lagi (zero political disputes), dan konflik horisontal-pun dalam diminimalisir
mendekati nihil (zero social conflict).
Sementara yang
saya maksudkan dengan character
development adalah proses pendidikan mental spiritual untuk membentuk
perilaku anak negeri secara individual. Karakter kerja keras, mengabdi sepenuh
hati, kecintaan mendalam terhadap negeri kelahiran, tekad tidak akan
mengkhianati negeri melalui tindakan dan pemikiran koruptif, menempatkan
kolektivitas diatas individualitas, serta santun dalam kehidupan pribadi yang
informal maupun dalam lingkungan formal.
Hanya dalam konteks
nation building dan character development itulah, kita
berani bicara tentang “menjadi Indonesia” (on becoming Indonesia).
Dalam hal ini, Indonesia bukan hanya entitas politik (state entity) yang bermodalkan territorial yang jelas, penduduk,
pemerintahan, dan kedaulatan, namun lebih sebagai entitas kebangssan (nation entity) yang terbangun atas
keberagaman latar belakang sejarah, budaya, dan kepentingan. Untuk itu,
strategi yang jitu untuk nation building dan
character development harus
dirumuskan matang-matang, untuk kemudian diterapkan secara konsisten dan
konsekuen.
Diantara beberapa strategi Becoming Indonesia yang mungkin untuk
dikembangkan adalah:
·
Mengaktifkan lagi transmigrasi
sebagai upaya pemerataan distribusi penduduk dan menciptakan mutual understanding lintas budaya.
·
Terkait dengan strategi pertama
diatas, maka perlu diperkuat dengan upaya mempromosikan perkawinan antar etnis,
sehingga anak yang lahir dari pernikahan antar etnis akan beridentitas Indonesia.
·
Pernikahan antar etnik juga perlu
dibarengi dengan “perkawinan” silang antar karya seni seperti motif batik,
lukisan dan patung, seni tari dan pewayangan, dan seterusnya. Tujuannya, untuk
menghasilkan sintesa baru dari karya seni dan karya budaya Indonesia. Batik,
semestinya bukan hanya ada Batik Yogya, Batik Pekalongan, Batik Bali, dan
seterusnya, namun harus ada “Batik Indonesia”.
·
Dalam tubuh birokrasi harus
diciptakan sistem mutasi kepegawaian lintas daerah, lintas sektor, dan lintas
susunan pemerintahan, untuk menumbuhkan sense
of belongingness terhadap negeri. Meminjam analisis systems thinking, Indonesia bukanlah onggokan yang terdiri dari
Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan seterusnya. Indonesia adalah
identitas baru hasil peleburan beratus-ratus bahkan beribu identitas budaya. Dengan
kata lain, Indonesia adalah systems
community atau komunitas serba sistem. Dalam perspektif seperti ini, maka paradigm
“Indonesia adalah Papua, dan Papua adalah Indonesia” (sekedar mengambil
contoh), perlu didampingi oleh paradigm “Papua adalah Jakarta, Surabaya adalah Bengkulu”
dan seterusnya. Maka, jargon “putra daerah” semestinya sudah bergeser menjadi
semangat “putra Indonesia”.
Meskipun demikian, Becoming Indonesia tidak selamanya harus
melalui proses akulturasi (persilangan) budaya. Setiap warga negara, setiap
daerah otonom, atau setiap organisasi dari Sabang sampai Merauke tetap dapat
menjadi Indonesia dalam ke-Jawa-an, ke-Sunda-an, ke-Batak-an, ke-Bugis-an
mereka, dan seterusnya. Dan dalam konteks seperti “Menjadi Indonesia dalam
Identitas Lokal” inilah justru Pancasila membuka peluang besar untuk menjadi
pemersatu, jembatan komunikasi, dan pedoman perilaku bagi identitas lokal yang
bertebaran di sepanjang zamrud khatulistiwa.
Selain
strategi diatas, pandangan Benedict Anderson (Imagined Community: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism) dapat dimanfaatkan untuk proses nation building negara kita. Pada salah satu bagian, Anderson menyebut
tentang Glorification of the past. Dalam konteks Indonesia, ini artinya bahwa nilai-nilai kejuangan perlu
terus dikisahkan kepada generasi penerus sehingga para pahlawan dan nilai-nilai
yang diperjuangkan tidak akan pernah hilang dari ingatan rakyat (collective memories of the nation).
Tentu, proses nation building dan character development ini tidak
diperlukan untuk menangkal issu musiman seperti kegagalan negara semata, namun
harus dilakukan dalam segala situasi dan kondisi. Yang pasti, kemungkinan
negara untuk gagal bisa dicegah dengan upaya nation building dan character
development ini.
Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 25 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar