Jasmerah! Adakah warga negara
Indonesia yang tidak mengetahui istilah ini? Ini adalah judul pidato Bung Karno
memperingati HUT RI pada tahun 1966.
Istilah “Jasmerah” sendiri sudah
begitu memasyarakat, namun tidak banyak yang paham esensinya, sejarahnya, serta
nilai-nilai intrinsik yang terkandung di dalamnya. Kebetulan, agenda Diklatpim
I hari ini adalah visitasi ke Arsip Nasional (ANRI). Deputi Konservasi Kearsipan
yang menerima kami juga sempet mengingatkan bangsa ini agar tidak menjadi
bangsa yang terjangkit penyakit amnesia, yakni lupa dengan sejarah bangsa
sendiri.
Pertanyaan yang perlu kita jawab
adalah: mengapa kita harus ingat sejarah? Pasti akan banyak jawaban sesuai persepsi
dan penghayatan seseorang terhadap kandungan sejarah bangsanya. Namun bagi
saya, mengingat-ingat sejarah kebangsaan akan menjamin masyarakat memiliki jati
diri dan identitas bangsa. Jika masa silam (sejarah) adalah “sangkan” (asal muasal), dan masa depan
adalan “paran” (arah tujuan), maka
kedua dimensi waktu tersebut sesungguhnya membentuk sebuah garis lurus secara
imajiner. Dalam filsafat Jawa dikenal ungkapan sangkan paraning dumadi. Artinya, manusia harus tahu dari mana
berasal, dan kemana dia akan menuju. Tidak masuk akal seseorang dapat
mengkonstruksi masa depannya tanpa merekonstruksi masa silamnya. Kalaupun hal
seperti itu terjadi, maka yang terjadi sesungguhnya adalah amnesia sejarah,
yakni hilangnya kesadaran manusia dalam dimensi ruang dan waktu.
Sangat
boleh jadi, bangsa Indonesia dewasa ini mengalami gejala hilangnya kesadaran
kolektif akan akar sejarah kemanusiaan. Sebagai contoh, ketika sekelompok orang
Papua menginginkan berpisah dari Republik dengan mendirikan OPM, semestinya tidak
dihadapi dengan kekuatan militer, namun cukup ditunjukkan dengan hasil Pepera
(Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969, yang membuktikan bahwa masyarakat Irian Barat menghendaki bergabung dengan Indonesia. Bukti
keinginan dari masyarakat Irian Barat itu adalah dengan adanya pernyataan tekad
secara tertulis dan dikuatkan oleh tanda tangan atau cap jempol dari para
Kepala Suku di Irian Barat. Selanjutnya hasil Pepera
itu dibawa ke Sidang Umum PBB pada
tanggal 19
November 1969, yang
memutuskan menerima dan menyetujui hasil Pepera. Nah, jika saat
ini ada generasi baru Papua yang menuntut merdeka, maka sebenarnya mereka
adalah orang-orang yang amnesia, karena tidak pernah menengok pada sejarah para
pendahulunya.
Demikian
pula dengan terjadinya hingar-bingar politik 10 tahun terakhir, rasanya teramat
sulit bagi para elite politik di Pusat maupun Daerah untuk bersatu padu,
merapatkan barisan, menyingsingkan lengan, saiyeg
saeka praya, menyatukan kekuatan untuk membangun bangsa yang besar dan
mensejahterakan rakyatnya. Yang terjadi adalah fakta sebaliknya, dimana rakyat
disuguhi oleh berbagai tontotan berupa pertarungan kepentingan dan keserakahan
menjadi penguasa, yang semuanya itu hanya akan melunturkan jiwa-jiwa
kebangsaan. Mengapa mereka tidak bisa belajar dari sejarah, misalnya pada saat
perumusan naskah Proklamasi di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda di Jalan
Meiji Doori (sekarang Jl. Imam Bonjol No. 1). Sejak malam tanggal 16 Agustus
1945 hingga ditandatanganinya naskah tersebut oleh Soekarno Hatta menjelang
fajar menyingsing tanggal 17 Agustus 1945, berkumpul 29 tokoh pergerakan yang
berasal dari berbagai suku dan berbagai latang belakang, namun semuanya
menyatukan diri hanya demi Indonesia Merdeka.
Uniknya,
ketika rezim Orde Baru tumbang dan masuklah era reformasi, tokoh-tokoh yang
mengaku reformis juga sempat kumpul di gedung yang sekarang menjadi Museum
Perumusan Naskah Proklamasi itu. Namun sayangnya, begitu pertemuan bubar,
mereka kembali kepada kepentingannya masing-masing yang sempit dan melupakan kepentingan
negara secara utuh (sumber: bapak
Lutfi, pemandu museum). Tentu saja mereka selalu mengatasnamakan setiap langkah
dan perilakunya sebagai perpanjangan suara dan mandat rakyat, namun rakyat pula
yang dapat menilai apakah mereka benar-benar tulus dalam perjuangannya atau
dilandasi pamrih-pamrih tertentu. Dalam konteks seperti inilah, kita sangat
layak menyimak kembali sepenggal pidato Bung Karno sebagai berikut:
Abraham
Lincoln, berkata: “one cannot escape history, orang tak dapat meninggalkan sejarah”,
tetapi saya tambah: “Never leave history”. Inilah sejarah perjuangan, inilah sejarah historymu.
Peganglah teguh sejarahmu itu, never leave your own history! Peganglah yang
telah kita miliki sekarang, yang adalah AKUMULASI dari pada hasil SEMUA perjuangan
kita dimasa lampau. Jikalau engkau meninggalkan sejarah, engkau akan berdiri
diatas vacuum, engkau akan berdiri diatas kekosongan dan lantas engkau menjadi
bingung, dan akan berupa amuk, amuk belaka. Amuk, seperti kera kejepit di dalam
gelap.
Bercermin
pada kondisi kekinian tentang centang-perenang politik nasional yang gaduh dan
menjengahkan, nampaknya itu semuanya bukti bahwa bangsa ini sudah terlalu jauh
dan terlalu lama melupakan sejarah, sehingga terjadi berbagai disharmoni sosial
antar komponen bangsa. Nampaknya para elite jaman “reformasi” ini tidak mampu
mengambil moment of truth ketika
berada di tempat yang disebut sebagai “Titik Nol Republik”. Mereka juga gagal
menjawab pertanyaan: sudah seberapa
jauhkah Republik ini berjalan sejak langkah pertama di titik nol? Ketika mereka gagal memanfaatkan moment of truth sekaligus menjelaskan
kepada rakyat tentang jejak langkah Republik, maka pada hakekatnya langkah
mereka tidak pernah beranjak maju, alias hampa dalam dinamika politik yang
tidak produktif.
Dalam
konteks Diklatpim I, saya tiba-tiba khawatir bahwa kunjungan ke ANRI maupun
Museum Naskah Proklamasi ini tidak akan membekas apapun dalam hati dan sanubari
para peserta. Menanamkan nilai-nilai kejuangan seperti rela berkorban,
mendahulukan kepentingan bangsa diatas kepentingan pribadi, semangat mengabdi
bukan hasrat memimpin, adalah persoalan pembangunan karakter bangsa (nation building and character building),
yang membutuhkan proses panjang dan berkesinambungan. Maka, kunjungan sehari
dapat dipastikan tidak menimbulkan deep
impact bagi peserta. Repetisi (pengulangan) untuk menggaungkan pidato pada
tokoh kemerdekaan, kisah-kisah heroik para pejuang, promosi nilai-nilai
kepahlawanan, dan sebagainya, menjadi
kata kunci untuk mengembalikan rasa kebangsaan (sense of nationality) yang mulai hambar.
Metode
pengajaran sejarah perjuangan bangsa untuk anak-anak SD, SMP, dan SMA pun,
perlu ditinjau kembali. Menghapal saja tidaklah cukup. Mereka juga harus mampu
“menurunkan” hapalan sejarah (dimensi kognitif) menjadi penghayatan (dimensi
afentif), hingga akhirnya akan mempengaruhi perilaku kolektif generasi penerus
bangsa (dimensi psikomotorik). Untuk itu, pembelajaran di kelas juga tida
memadai lagi. Anak-anak itu harus sering-sering dibawa ke lokasi riil
terjadinya peristiwa bersejarah, agar mereka tidak lupa sejarah nenek moyangnya,
sekaligus menumbuhkan daya imajinasi dan visualisasi masa silam guna menangkap
“roh” para pejuang dan kemudian me-utilisasi untuk merancang pembangunan
nasional di masa depan berbasis karakter bangsa.
Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 25 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar