Pada hari pertama pelaksanaan
Diklatpim I Angkatan XXV/2013 kemaren, telah dilakukan pemetaan kepribadian
menggunakan instrumen Myers Briggs Tipe
Indicator (MBTI). Hasilnya, saya masuk dalam tipe kepribadian INFJ (Introvert – Intuition – Feeling – Judging).
Secara parsial, saya merasa bukan manusia dengan tipe introvert yang mengumpulkan informasi berdasarkan intuition, mengambil keputusan dengan mengandalkan feeling, serta memiliki gaya hidup judging. Namun secara keseluruhan, kepribadian INFJ dikatakan
sebagai kepribadian Most Contemplative,
yang nampaknya memang bersesuaian dengan diri saya pribadi.
Sebagai pegawai yang telah
“berkubang” di dunia penelitian selama hampir 20 tahun, wajar kiranya jika
terbentuk dalam diri saya kebiasaan untuk berpikir, berkontemplasi, bermimpi,
bahkan berandai-andai. Dan “hobby” berkontemplasi saya ini semakin menjadi setelah
saya mendapat musibah kehilangan mobil pada tanggal 22 Januari 2013 yang lalu.
Hanya, kontemplasi saya terhadap musibah ini bukan untuk mengembangkan banyak
alternatif dan merekomendasikan kebijakan terbaik sebagaimana yang saya
kerjakan selaku peneliti. Saya lebih mencoba mencari hikmah dan rahasia Ilahi
dibalik keputusan-Nya yang terasa amat pahit buat saya se-keluarga.
Dengan semangat berkontemplasi
itu pula, bermunculan ide-ide baru dalam benak saya tentang diklat aparatur,
khususnya Diklat Kepemimpinan. Tidak terhindarkan bahwa pandangan baru saya ini
banyak dipengaruhi oleh musibah yang saya alami, dan kebetulan juga memiliki keterkaitan
dengan zero mind process yang saya
tulis pada Jurnal #1 (Untuk Apa Saya
Disini?).
Pada jurnal sebelumnya saya
mempertanyakan, mengapa peserta Diklatpim (terutama jenjang Eselon 1) harus
dilengkapi dengan fasilitas yang cukup mewah? Mental model birokrasi kita
selama ini memandang lazim bahwa semakin tinggi jabatan identik dengan makin
banyak dan mewahnya fasilitas yang harus disediakan. Nah, sekarang saya telah mengubur
dalam-dalam pandangan seperti ini. Logikanya, jika semakin tinggi jabatan
seseorang maka semakin dalam dan besar tanggungawabnya untuk melayani
masyarakat, apakah penambahan fasilitas akan menjamin seseorang tersebut dapat
lebih baik dalam melayani masyarakat? Bagi saya ini sebuah logika yang kurang
pas, kalau tidak dikatakan keliru. Maka, mestinya tidak perlu ada penambahan
sarana atau privilege tertentu.
Pejabat yang baik sangat mungkin justru menanggalkan berbagai kemudahan yang
menjadi haknya berdasarkan aturan yang berlaku. Perilaku Gubernur DKI Jakarta
Jokowi barangkali bisa menjadi contoh, bahwa pejabat tinggi tidak selamanya
harus dikawal oleh ratusan orang dan puluhan mobil. Juga bahwa pejabat
sekaliber Gubernur bisa melakukan hal ekstrem seperti turun ke gorong-gorong,
turut membersihkan sampah di sungai, dan sebagainya.
Dalam konteks kediklatan, maka
fasilitas yang megah sebenarnya bukanlah atribut yang melekat pada sistem dan
program diklat, terlebih jika indahnya fasilitas semakin menjauhkan para
peserta diklat dari “konstituen” yang harus dipikirkan dan dilayani. Seorang
pejabat yang baik mestinya bisa membuktikan kepada siapapun bahwa dia tetap
mampu menjalankan kewajiban sebagai peserta diklat meski tanpa didukung sarana
yang berlebih, dan tetap tanpa keluhan (zero
complaint).
Bagi saya, seseorang yang masuk
dalam lingkungan pendidikan, lebih logis jika dihadapkan pada situasi yang
serba sulit, serba terbatas, dan serba kekurangan. Dari situasi seperti itulah
diharapkan muncul sikap dan perilaku tangguh, sekaligus membangun kompetensi
inovatif dalam dirinya. Sebaliknya dengan fasilitas yang serba nyaman, bukankah
hanya akan menciptakan para birokrat yang manja, cengeng, dan mudah mengeluh?
Dengan minimalnya sarana diklat
tadi (jika ide ini dapat diterima), maka metode penyampaian materi, penanaman
nilai-nilai, dan internalisasi doktrin (jika ada) juga perlu diubah.
Pembelajaran tidak harus berlangsung di dalam kelas, namun justru harus
diarahkan pada sistem pembelajaran di alam terbuka. Salah satu alam terbuka
yang bisa dijadikan sumber pembelajaran adalah kantong-kantong kemiskinan atau pemukiman
kumuh di sepanjang rel kereta. Atau bisa juga situasi di dalam kereta ekonomi.
Atau mungkin juga kehidupan sehari-hari tukang sapu, tukang ojeg, dan kelompok
masyarakat lain yang selama ini dianggap “terpinggirkan”.
Ide ini muncul dari pengalaman
pribadi saya menggunakan jasa KA jurusan Serpong – Tanah Abang. Sejak
kehilangan mobil, saya memang beralih ke moda transportasi rakyat ini. Dan
ternyata, begitu banyak pembelajaran yang saya peroleh dari “interaksi” saya
dengan wong cilik. Pertama kali saya
naik KA ekonomi, saya begitu terperanjat dengan begitu banyaknya penyandang
cacat yang tidak berkaki dari pangkal pahanya. Namun mereka tidak
memperlihatkan raut muka menyesal, marah, serakah, ataupun sedih. Mereka
terlihat enjoy menjalani takdirnya
dengan menjadi peminta atau pengamen. Saya sempat bertanya dalam hati: dimana negara saat dibutuhkan warganya?
Bukankah mereka bisa saja menuntut negara untuk menegakkan Pasal 33 dan 34 UUD
1945? Pertanyaan saya pun berlanjut: kemana
perginya para pejabat pemerintah sehingga tega menelantarkan saudara-saudara
kita yang membutuhkan uluran tangan? Mengapa justru ada larangan para pengemis,
pedagang asongan, dan pengamen untuk memasuki kereta dan peron? Bukankah ini
adalah kebijakan yang sangat tidak merakyat, diskriminatif, bahkan bertentangan
dengan konstitusi?
Pada kesempatan lain, saya
melihat sepasang suami istri yang buta keduanya, dengan membawa 3 anak, dengan
salah satunya masih bayi dan berada dalam gendongan sang ibu. Saya begitu
trenyuh melihat mereka dan tidak sanggup membayangkan bagaimana cara mereka
mengasuh anak, menyiapkan makanan, mencari nafkah, dan seterusnya? Sayapun mengutuk
diri saya dengan mengatakan pada diri sendiri betapa tidak bermanfaatnya saya
selaku pemangku jabatan Eselon II namun tidak berdaya melihat situasi
ketidakberdayaan masyarakat di depan mata. Saya memiliki angan-angan besar
untuk memuliakan manusia-manusia “terlantar” seperti mereka, namun yang mampu saya
berikan pada akhirnya hanyalah memberikan beberapa lembar uang ribuan. Sungguh
betapa malunya saya …
Di hari lain, saya mengamati para
penghuni pemukiman kumuh di sepanjang rel kereta yang begitu damai ditengah
kemiskinan yang menghimpit. Tanpa aliran listrik legal, tanpa saluran air
bersih, tanpa fasilitas MCK yang sehat, namun mereka bisa makan bersama
keluarga dan bercengkerama riang gembira. Saya pun kembali bertanya-tanya: apa sesungguhnya yang membuat mereka begitu
ikhlas dan bahagia? Sayapun terpikir, sudahkah para pejabat mengunjungi mereka
dan belajar makna kehidupan dari mereka?
Peristiwa-peristiwa seperti
itulah yang membentuk weltanschauung (worldview) baru dalam diri saya. Saya
sangat menganjurkan penyelenggara diklat untuk mengakomodir interaksi langsung
peserta dengan kelompok masyarakat yang kurang beruntung, on the spot. Disitulah para pejabat tadi harus mengenali kebutuhan
dan aspirasi rakyat, sekaligus menggali banyak hal agar dapat menemukan esensi
pembelajaran yang sejati. Saya juga berpikir bahwa pejabat sekaliber Menteri
dan Presiden sekalipun, hendaknya sekali-kali pergi ke kantornya dengan
menggunakan moda transportasi rakyat seadanya, agar mereka mengetahui itulah
kondisi faktual kehidupan rakyat kita, itulah kualitas pelayanan publik, dan
itulah tingkat kinerja mereka (para pejabat). Ketika mereka menyadari bahwa
kinerjanya selama ini mengecewakan rakyat, diharapkan segera merombak cara
kerja dan orientasi program, juga melakukan realokasi anggaran yang lebih tepat
sasaran.
Lebih ekstrem lagi, saya
membayangkan situasi dimana para peserta Diklat Kepemimpinan juga dibebani
tugas yang “mustahil”, misalnya dengan membersihkan WC, menyapu halaman,
mengepel lantai (bukan untuk kamarnya), membersihkan selokan, atau merawat
taman dan membuang sampah ke TPS/TPA. Mengapa tidak? Bukankah kita pernah
mendapat cerita ketika seorang ulama besar didatangi orang yang meminta
nasihat, dan setelah orang tersebut pulang, maka sang ulama kemudian
membersihkan WC dan mengepel lantai. Ketika ditanya mengapa ia melakukan hal
tersebut, sang ulama menjawab bahwa dia takut menjadi sombong dan merasa lebih
pandai dari pada orang yang meminta nasihat. Artinya, aktivitas yang
“menjijikkan” seperti menyikat kloset, sesungguhnya akan banyak menggugurkan sifat
sombong yang banyak menjangkiti para pejabat tinggi.
Bagi saya, metode ini adalah participatory technique (terlibat
langsung dalam sebuah situasi atau aktivitas tertentu), yang selama ini vacuum dari metodologi diklat aparatur. Dan
dengan metode yang baru ini, diharapkan Diklat Kepemimpinan akan menghasilkan
efek mendalam (deep impact), bukan
efek yang dahsyat (high impact). Deep impact adalah dampak yang
bersifat fundamental dan long lasting, sedangkan high-impact lebih
bersifat ledakan sesaat (temporary blasting). Dengan deep impact ini, Diklatpim 1 harus
menghasilkan dampak mendalam yang nyata melalui internalisasi nilai melalui eksperimentasi
partisipatoris. Teknik belajar dari orang miskin hanyalah salah satu
cara, dan terbuka teknik lain seperti enginap di penjara KPK, menjalankan tugas
sebagai orang miskin, menjalani kehidupan di wilayah konflik atau bencana, dan
sebagainya.
Keterlanjuran saya untuk suka berkontemplasi
juga mengantarkan saya pada pemikiran bahwa waktu penyelenggaraan diklat
sebaiknya tidak selalu berhimpit dengan jam kerja normal (antara jam 08.00 –
16.30). Mengapa tidak dicoba pembelajaran tengah malam? Bukankah Allah sendiri
sangat menganjurkan umatnya untuk bangun di sepertiga malam terakhir, karena
pada waktu itulah Allah akan menurunkan banyak hidayah, ilmu, dan segala macam
kebaikan kepada mereka yang bangkit dari tidurnya. Bukankah dari aspek
kesehatan hal ini juga sangat baik dan dianjurkan? Nah, jika kita memiliki
waktu-waktu istimewa, mengapa tidak dicoba diterapkan dalam mendesain jadual
Diklat Kepemimpinan? Mungkin sekali banyak diantara kita yang akan menolak ide
seperti ini. Namun penolakan terhadap kebaruan (novelty) hanya akan membuktikan bahwa kita resisten terhadap perubahan,
bahwa kita senang dengan kenyamanan yang telah kita rasakan, bahwa kita tidak
pernah maju meski hanya selangkah.
Dengan perubahan pada metodologi
dan penambahan content pembelajaran
yang saya sebutkan diatas, saya percaya bahwa alumni Diklatpim I akan
menghasilkan (calon) pemimpin yang memaknai kepemimpinan bukan hanya sebuah
seni dalam alam teori atau di ruang kantor, namun merupakan aksi di lapangan (action leadership).
Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 21 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar