Jumat, 22 Maret 2013

(Mencoba) Berpikir Berbeda tentang Diklat Kepemimpinan


Pada hari pertama pelaksanaan Diklatpim I Angkatan XXV/2013 kemaren, telah dilakukan pemetaan kepribadian menggunakan instrumen Myers Briggs Tipe Indicator (MBTI). Hasilnya, saya masuk dalam tipe kepribadian INFJ (Introvert – Intuition – Feeling – Judging). Secara parsial, saya merasa bukan manusia dengan tipe introvert yang mengumpulkan informasi berdasarkan intuition, mengambil keputusan dengan mengandalkan feeling, serta memiliki gaya hidup judging. Namun secara keseluruhan, kepribadian INFJ dikatakan sebagai kepribadian Most Contemplative, yang nampaknya memang bersesuaian dengan diri saya pribadi. 

Sebagai pegawai yang telah “berkubang” di dunia penelitian selama hampir 20 tahun, wajar kiranya jika terbentuk dalam diri saya kebiasaan untuk berpikir, berkontemplasi, bermimpi, bahkan berandai-andai. Dan “hobby” berkontemplasi saya ini semakin menjadi setelah saya mendapat musibah kehilangan mobil pada tanggal 22 Januari 2013 yang lalu. Hanya, kontemplasi saya terhadap musibah ini bukan untuk mengembangkan banyak alternatif dan merekomendasikan kebijakan terbaik sebagaimana yang saya kerjakan selaku peneliti. Saya lebih mencoba mencari hikmah dan rahasia Ilahi dibalik keputusan-Nya yang terasa amat pahit buat saya se-keluarga. 

Dengan semangat berkontemplasi itu pula, bermunculan ide-ide baru dalam benak saya tentang diklat aparatur, khususnya Diklat Kepemimpinan. Tidak terhindarkan bahwa pandangan baru saya ini banyak dipengaruhi oleh musibah yang saya alami, dan kebetulan juga memiliki keterkaitan dengan zero mind process yang saya tulis pada Jurnal #1 (Untuk Apa Saya Disini?).  

Pada jurnal sebelumnya saya mempertanyakan, mengapa peserta Diklatpim (terutama jenjang Eselon 1) harus dilengkapi dengan fasilitas yang cukup mewah? Mental model birokrasi kita selama ini memandang lazim bahwa semakin tinggi jabatan identik dengan makin banyak dan mewahnya fasilitas yang harus disediakan. Nah, sekarang saya telah mengubur dalam-dalam pandangan seperti ini. Logikanya, jika semakin tinggi jabatan seseorang maka semakin dalam dan besar tanggungawabnya untuk melayani masyarakat, apakah penambahan fasilitas akan menjamin seseorang tersebut dapat lebih baik dalam melayani masyarakat? Bagi saya ini sebuah logika yang kurang pas, kalau tidak dikatakan keliru. Maka, mestinya tidak perlu ada penambahan sarana atau privilege tertentu. Pejabat yang baik sangat mungkin justru menanggalkan berbagai kemudahan yang menjadi haknya berdasarkan aturan yang berlaku. Perilaku Gubernur DKI Jakarta Jokowi barangkali bisa menjadi contoh, bahwa pejabat tinggi tidak selamanya harus dikawal oleh ratusan orang dan puluhan mobil. Juga bahwa pejabat sekaliber Gubernur bisa melakukan hal ekstrem seperti turun ke gorong-gorong, turut membersihkan sampah di sungai, dan sebagainya. 

Dalam konteks kediklatan, maka fasilitas yang megah sebenarnya bukanlah atribut yang melekat pada sistem dan program diklat, terlebih jika indahnya fasilitas semakin menjauhkan para peserta diklat dari “konstituen” yang harus dipikirkan dan dilayani. Seorang pejabat yang baik mestinya bisa membuktikan kepada siapapun bahwa dia tetap mampu menjalankan kewajiban sebagai peserta diklat meski tanpa didukung sarana yang berlebih, dan tetap tanpa keluhan (zero complaint).  

Bagi saya, seseorang yang masuk dalam lingkungan pendidikan, lebih logis jika dihadapkan pada situasi yang serba sulit, serba terbatas, dan serba kekurangan. Dari situasi seperti itulah diharapkan muncul sikap dan perilaku tangguh, sekaligus membangun kompetensi inovatif dalam dirinya. Sebaliknya dengan fasilitas yang serba nyaman, bukankah hanya akan menciptakan para birokrat yang manja, cengeng, dan mudah mengeluh? 

Dengan minimalnya sarana diklat tadi (jika ide ini dapat diterima), maka metode penyampaian materi, penanaman nilai-nilai, dan internalisasi doktrin (jika ada) juga perlu diubah. Pembelajaran tidak harus berlangsung di dalam kelas, namun justru harus diarahkan pada sistem pembelajaran di alam terbuka. Salah satu alam terbuka yang bisa dijadikan sumber pembelajaran adalah kantong-kantong kemiskinan atau pemukiman kumuh di sepanjang rel kereta. Atau bisa juga situasi di dalam kereta ekonomi. Atau mungkin juga kehidupan sehari-hari tukang sapu, tukang ojeg, dan kelompok masyarakat lain yang selama ini dianggap “terpinggirkan”.  

Ide ini muncul dari pengalaman pribadi saya menggunakan jasa KA jurusan Serpong – Tanah Abang. Sejak kehilangan mobil, saya memang beralih ke moda transportasi rakyat ini. Dan ternyata, begitu banyak pembelajaran yang saya peroleh dari “interaksi” saya dengan wong cilik. Pertama kali saya naik KA ekonomi, saya begitu terperanjat dengan begitu banyaknya penyandang cacat yang tidak berkaki dari pangkal pahanya. Namun mereka tidak memperlihatkan raut muka menyesal, marah, serakah, ataupun sedih. Mereka terlihat enjoy menjalani takdirnya dengan menjadi peminta atau pengamen. Saya sempat bertanya dalam hati: dimana negara saat dibutuhkan warganya? Bukankah mereka bisa saja menuntut negara untuk menegakkan Pasal 33 dan 34 UUD 1945? Pertanyaan saya pun berlanjut: kemana perginya para pejabat pemerintah sehingga tega menelantarkan saudara-saudara kita yang membutuhkan uluran tangan? Mengapa justru ada larangan para pengemis, pedagang asongan, dan pengamen untuk memasuki kereta dan peron? Bukankah ini adalah kebijakan yang sangat tidak merakyat, diskriminatif, bahkan bertentangan dengan konstitusi? 

Pada kesempatan lain, saya melihat sepasang suami istri yang buta keduanya, dengan membawa 3 anak, dengan salah satunya masih bayi dan berada dalam gendongan sang ibu. Saya begitu trenyuh melihat mereka dan tidak sanggup membayangkan bagaimana cara mereka mengasuh anak, menyiapkan makanan, mencari nafkah, dan seterusnya? Sayapun mengutuk diri saya dengan mengatakan pada diri sendiri betapa tidak bermanfaatnya saya selaku pemangku jabatan Eselon II namun tidak berdaya melihat situasi ketidakberdayaan masyarakat di depan mata. Saya memiliki angan-angan besar untuk memuliakan manusia-manusia “terlantar” seperti mereka, namun yang mampu saya berikan pada akhirnya hanyalah memberikan beberapa lembar uang ribuan. Sungguh betapa malunya saya … 

Di hari lain, saya mengamati para penghuni pemukiman kumuh di sepanjang rel kereta yang begitu damai ditengah kemiskinan yang menghimpit. Tanpa aliran listrik legal, tanpa saluran air bersih, tanpa fasilitas MCK yang sehat, namun mereka bisa makan bersama keluarga dan bercengkerama riang gembira. Saya pun kembali bertanya-tanya: apa sesungguhnya yang membuat mereka begitu ikhlas dan bahagia? Sayapun terpikir, sudahkah para pejabat mengunjungi mereka dan belajar makna kehidupan dari mereka? 

Peristiwa-peristiwa seperti itulah yang membentuk weltanschauung (worldview) baru dalam diri saya. Saya sangat menganjurkan penyelenggara diklat untuk mengakomodir interaksi langsung peserta dengan kelompok masyarakat yang kurang beruntung, on the spot. Disitulah para pejabat tadi harus mengenali kebutuhan dan aspirasi rakyat, sekaligus menggali banyak hal agar dapat menemukan esensi pembelajaran yang sejati. Saya juga berpikir bahwa pejabat sekaliber Menteri dan Presiden sekalipun, hendaknya sekali-kali pergi ke kantornya dengan menggunakan moda transportasi rakyat seadanya, agar mereka mengetahui itulah kondisi faktual kehidupan rakyat kita, itulah kualitas pelayanan publik, dan itulah tingkat kinerja mereka (para pejabat). Ketika mereka menyadari bahwa kinerjanya selama ini mengecewakan rakyat, diharapkan segera merombak cara kerja dan orientasi program, juga melakukan realokasi anggaran yang lebih tepat sasaran. 

Lebih ekstrem lagi, saya membayangkan situasi dimana para peserta Diklat Kepemimpinan juga dibebani tugas yang “mustahil”, misalnya dengan membersihkan WC, menyapu halaman, mengepel lantai (bukan untuk kamarnya), membersihkan selokan, atau merawat taman dan membuang sampah ke TPS/TPA. Mengapa tidak? Bukankah kita pernah mendapat cerita ketika seorang ulama besar didatangi orang yang meminta nasihat, dan setelah orang tersebut pulang, maka sang ulama kemudian membersihkan WC dan mengepel lantai. Ketika ditanya mengapa ia melakukan hal tersebut, sang ulama menjawab bahwa dia takut menjadi sombong dan merasa lebih pandai dari pada orang yang meminta nasihat. Artinya, aktivitas yang “menjijikkan” seperti menyikat kloset, sesungguhnya akan banyak menggugurkan sifat sombong yang banyak menjangkiti para pejabat tinggi. 

Bagi saya, metode ini adalah participatory technique (terlibat langsung dalam sebuah situasi atau aktivitas tertentu), yang selama ini vacuum dari metodologi diklat aparatur. Dan dengan metode yang baru ini, diharapkan Diklat Kepemimpinan akan menghasilkan efek mendalam (deep impact), bukan efek yang dahsyat (high impact). Deep impact adalah dampak yang bersifat fundamental dan long lasting, sedangkan high-impact lebih bersifat ledakan sesaat (temporary blasting). Dengan deep impact ini, Diklatpim 1 harus menghasilkan dampak mendalam yang nyata melalui internalisasi nilai melalui eksperimentasi partisipatoris. Teknik belajar dari orang miskin hanyalah salah satu cara, dan terbuka teknik lain seperti enginap di penjara KPK, menjalankan tugas sebagai orang miskin, menjalani kehidupan di wilayah konflik atau bencana, dan sebagainya. 

Keterlanjuran saya untuk suka berkontemplasi juga mengantarkan saya pada pemikiran bahwa waktu penyelenggaraan diklat sebaiknya tidak selalu berhimpit dengan jam kerja normal (antara jam 08.00 – 16.30). Mengapa tidak dicoba pembelajaran tengah malam? Bukankah Allah sendiri sangat menganjurkan umatnya untuk bangun di sepertiga malam terakhir, karena pada waktu itulah Allah akan menurunkan banyak hidayah, ilmu, dan segala macam kebaikan kepada mereka yang bangkit dari tidurnya. Bukankah dari aspek kesehatan hal ini juga sangat baik dan dianjurkan? Nah, jika kita memiliki waktu-waktu istimewa, mengapa tidak dicoba diterapkan dalam mendesain jadual Diklat Kepemimpinan? Mungkin sekali banyak diantara kita yang akan menolak ide seperti ini. Namun penolakan terhadap kebaruan (novelty) hanya akan membuktikan bahwa kita resisten terhadap perubahan, bahwa kita senang dengan kenyamanan yang telah kita rasakan, bahwa kita tidak pernah maju meski hanya selangkah. 

Dengan perubahan pada metodologi dan penambahan content pembelajaran yang saya sebutkan diatas, saya percaya bahwa alumni Diklatpim I akan menghasilkan (calon) pemimpin yang memaknai kepemimpinan bukan hanya sebuah seni dalam alam teori atau di ruang kantor, namun merupakan aksi di lapangan (action leadership). 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 21 Maret 2013

Tidak ada komentar: