Jumat, 29 Maret 2013

Kepemimpinan: Mengapa Selalu Berfokus Pada Pemimpin?


Pada hari Kamis, 28 Maret 2013, kelas kami mendiskusikan tema kepemimpinan dengan menggunakan metode SSM (Soft System Methodology). Pemimpin harus memiliki peran yang kuat untuk mampu membangun sistem pelayanan publik yang berkualitas, daya saing bangsa yang kuat, serta mewujudkan kedaulatan bangsa yang kokoh.  

Peran pemimpin sendiri sangat beragam dalam pandangan para ahli. Menurut Vadim Kotelnikov (http://www.1000ventures.com), ada tiga peran utama pemimpin seorang pemimpin, yakni: 1) Visioning and Setting an Example, yang dijabarkan dalam peran yang lebih spesifik seperti create and inspiring vision and shared values, lead change, lead by example, dan demonstrate confidence; 2) Empowering and Energizing, yang terbagi lagi dalam peran inspire and energize people, empower people, communicate openly, dan listen, support, and help; serta 3) Leading Team, yang lebih diaktualisasikan dalam peran involve everyone & use team approach, coach & bring out the best of your people, encourage group decision, dan monitor progress but don’t micromanage 

Senada dengan pendapat Vadim diatas, Dave Ulrich, Norm Smallwood, and Kate Sweetman (The Leadership Code: Five Rules to Lead, Harvard Business School Press, 2009) mengemukakan lima kompetensi inti kepemimpinan sebagai berikut: 1) Strategist – Leaders shape the future; 2) Executor – Leaders make things happen; 3) Talent manager – Leaders engage today’s talent; 4) Human capital developer – Leaders build the next generation; serta 5) Personal proficiency – Leaders invest in their own development. Pandangan ini sangat serupa dengan Dept. of Education, Training, and Employment, Queensland Government dalam publikasi berjudul Capability and Leadership Framework, yang menyebutkan kompetensi inti kepemimpinan sebagai berikut: 1) Shapes strategic thinking; 2) Achieves results; 3) Cultivates productive working relationships; 4) Exemplifies personal drive and integrity; serta 5) Communicates with influence. 

Sementara itu, Peter Senge ("The Leader's New Work: Building Learning Organizations," in Sloan Management Review, 1990), berpendapat bahwa dalam organisasi pembelajaran (learning organization), pemimpin mempunyai tiga peran sebagai designers, teachers, dan stewards. Ketiga peran ini membutuhkan keterampilan baru yakni kemampuan membangun shared vision, menantang model mental yang berlaku (surfacing and testing mental model), dan mendorong pola yang lebih sistemik berpikir (systems thinking). Sebagai designer, pemimpin bertugas mendesain governing ideas tentang tujuan, visi, dan nilai-nilai inti organisasi. Tugas kedua adalah menerjemahkan guiding ideas menjadi keputusan bisnis. Sebagai teacher, pemimpin bertugas membantu setiap orang dalam organisasi untuk memperoleh pandangan yang lebih dalam tentang realitas saat ini. Adapun sebagai steward, pemimpin berprinsip servant first, bukan leader first. Stewardship ini terdiri dari dua hal, yakni stewardship untuk orang-orang yang dipimpin, dan stewardship untuk tujuan yang lebih luas atau misi yang memperkuat organisasi. 

Intinya, seorang pemimpin haruslah serba bisa alias multi talenta dan multi kompetensi. Itulah konsekuensi seseorang yang memiliki pengikut (follower). Sayangnya, diskusi dan analisis tentang kepemimpinan seringkali hanya dilihat dari sisi si pemimpin, dan jarang yang bicara soal pengikut (followership). Buku-buku tentang kepemimpinan begitu berlimpah, sementara buku tentang kepengikutan sangat sulit didapatkan. Pengikut masih lebih diposisikan sebagai obyek terhadap pemimpin sebagai subyek. Memang peran pemimpin sangatlah penting, sebagaimana tersirat dari ungkapan “An army of sheep led by a lion, is better than an army of lions led by a sheep” (Alexander The Great). Namun bukan berarti peran pengikut dapat dikecilkan. Sebagaimana ungkapan Barbara Kellerman: “Followers are more important to leaders than leaders are to followers”. Singkatnya, harus ada proporsi yang seimbang antara pemimpin dan pengikut saat membahas tentang leadership. Ini sejalan juga dengan perkataan Edith Wharton (dalam Vesalius in Zante, 1564): “There are two ways of spreading light: to be the candle or the mirror that reflects it”. 

Karena soal kepemimpinan terus diperbincangkan sementara kepengikutan seolah terabaikan, yang terjadi kemudian justru adalah krisis kepemimpinan. Pengalaman Indonesia maupun berbagai negara menunjukkan bahwa suksesi kepemimpinan nasional hampir selalu diwarnai oleh intrik politik yang jahat. Bahkan dalam masa kepemimpinan formal, seorang pemimpin terus saja digoyang dan dipertanyakan legitimasinya. Siapa yang melakukan itu? Tentu saja kalangan pengikutnya. Dan hal ini terjadi karena dimensi kepengikutan tidak pernah dipikirkan secara serius, atau dikembangkan sistem, strategi, dan kebijakan yang lebih tepat untuk mendukung fungsi kepemimpinan. 

Dalam kaitan dengan Diklat Aparatur, maka Diklat Kepemimpinan pada berbagai level semestinya tidak hanya membekali peserta untuk menjadi (calon) pemimpin yang baik, namun juga harus dikembangkan kurikulum untuk membentuk alumni diklat sebagai para pengikut yang baik, patuh, dan inovatif. Kita bisa belajar dari Alexander Agung  yang menjadi follower yang baik dari gurunya, Aristoteles. Atau, kita bisa menengok kisah tentang Pandit Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri India pertama (1947-1964) yang merupakan murid utama Mahatma Gandhi. Mereka bisa menjadi pemimpin yang baik karena berhasil dengan gemilang ketika menjadi pengikut. Intinya, hanya mereka yang baik ketika menjadi follower yang memiliki probabilitas untuk menjadi leader yang baik.  

Maka, membangun kepemimpinan yang kuat sama pentingnya dengan menumbuhkan kepengikutan yang tangguh. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 1 April 2013

Tidak ada komentar: