Saya sungguh beruntung mendapat
penugasan mengikuti Diklat Kepemimpinan Tingkat I. Sebagai seorang yang selalu
mengaku sebagai pembelajar dan haus dengan kebaruan diberbagai bidang, saya
sangat antusias untuk menjalani seluruh agenda yang ditawarkan penyelenggara.
Sayapun telah menyiapkan diri 100 persen baik secara fisik maupun mental untuk
mengambil manfaat terbesar bagi diri saya. Dari kemanfaatan diri ini, saya
berharap akan dapat berbuat jauh lebih baik untuk institusi yang telah
membesarkan saya selama 20 tahunan terakhir.
Pada saat upacara pembukaan, kami
dapat informasi bahwa salah satu agenda yang didalami pada Diklatpim Tingkat I
adalah Kajian Falsafah Bangsa, Paradigma Pembangunan, dan Kepemimpinan
Nasional. Bukan berarti agenda lain tidak penting, namun saya memberi perhatian
lebih untuk soal kebangsaan. Dan setelah mendengarkan ceramah Dr. Yudi Latif
tadi pagi, saya semakin yakin bahwa pembangunan nilai-nilai kebangsaan (cinta
tanah air, pride sebagai warga
negara, tekad untuk mendarmabaktikan diri demi negeri) semakin urgen di era
globalisasi dan demokrasi sekarang ini.
Banyak alasan yang mendasari
pemikiran saya mengapa soal kebangsaan ini penting, terutama dalam konteks
penyelenggaraan Diklatpim I. Pertama,
peserta Diklatpim I adalah para pegawai yang hampir mendekati puncak karier.
Artinya, cara pandang yang dimiliki tidak lagi berada pada level institusi apalagi
unit kerja. Kapasitas (calon) pemangku jabatan Eselon I tentu tidak lagi pada
tataran operasional, namun telah berpindah ke wilayah yang lebih strategis,
yang menuntut keluasan perspektif dalam melihat suatu masalah serta kemampuan
menganalisis kompleksitas permasalahan secara substansial.
Kedua, ada
kecenderungan permasalahan kebangsaan dewasa ini semakin membesar. Di tingkat
elite politik, terlihat secara kasat mata pertikaian antar politisi baik dalam
parpol yang sama ataupun antar parpol. Koalisi yang tidak pernah sehati dan
saling menyandera juga mewarnai perjalanan politik nasional 5 tahun terakhir. Di
lingkungan eksekutif diwarnai oleh pertikaian para pembantu Presiden yang
saling mengancam, misalnya terkait issu kongkalikong anggaran. Para Gubernur se
Kalimantan juga pernah bersatu untuk memboikot pengiriman batu bara ke pulau
Jawa sebagai bentuk kebijakan pembatasan kuota BBM bersubsidi. Di tataran akar
rumput, konflik jauh lebih massive dan
beragam, sejak kasus Sampit, Poso, dan Ambon, hingga kasus Ahmadiyah dan Gereja
Yasmin. Singkatnya, konflik di Indonesia tidak hanya terjadi antara rakyat vs
rakyat, namun juga rakyat vs negara, dan bahkan negara vs negara.
Belum
lagi persoalan generasi muda yang semakin jauh dari nilai-nilai kebangsan dan
religiositas sebagaimana terlihat dari kasus-kasus penyalahgunaan narkoba, seks
bebas, dan yindakan hedonism lainnya. Hal inipun masih diperparah dengan semakin
merebaknya kriminalitas di sekitar kita.
Berbagai
fenomena diatas memberi alarm yang kuat bahwa ke-Indonesia-an kita sudah mulai
retak dan semakin rapuh. Padahal, kurang apa dengan negeri yang terkenal gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta
raharja ini? Dalam bahasa Jawa
sering kita dengan ungkapan murah kang sarwa tinuku, tukhul kang sarwa
tinandur, yang mengilustrasikan bahwa negeri ini diberkahi Sang Pencipta
dengan karunia berlimpah. Perjuangan melawan kolonialisme Portugis, Belanda,
dan Jepang, juga telah membentuk semangat kesatuan sebangsa dan setanahair,
serta menumbuhkan rasa senasib sepenanggungan kebangsan yang begitu kuat,
hingga terwadahi dalam prinsip Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa,
Jika
dilacak jauh ke masa silam, bibit-bibit nasionalisme sudah terlihat ketika Kertanegara
(Raja Singasari) pada tahun 1275 M memperkenalkan konsep Cakrawala Mandala
Dwipantara. Inilah embrio awal dari “nusantara” yang kita kenal dewasa ini.
Konsep Kertanegara tersebut diperkuat lagi dengan Sumpah Palapa dari Mahapatih
Gadjah Mada tahun 1336 M yang tidak akan melepaskan puasanya sebelum seluruh
nusantara bersatu. Di awal abad 20, Ki Hajar Dewantara telah melontarkan semboyan
“Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" (satu untuk semua, tetapi
semua untuk satu juga,
1913). Ini jelas sekali merujuk pada aneka ragam suku dan budaya yang tersebar
dan terbentang di seluruh penjuru nusantara. Jika dewasa ini kita sering
mendengar semboyan The Three Musketeers yakni
“One for All, All for One”, maka jauh
hari sebelumnya bangsa kita telah mempraktekkannya.
Tidak
ketinggalan dengan para pendahulunya, para pemuda di tahun 1928 telah mendeklarasikan
Sumpah Pemuda yang semakin memperkuat tekad mewujudkan kesatuan tumpah darah,
kesatuan bangsa, dan kesatuan bahasa, Indonesia. Akhirnya, berbagai tautan
historis tadi diukir dengan tinta emas dalam naskah Proklamasi 17-8-1945 dan
UUD 1945 tanggal 18-8-1945.
Menjadi
pertanyaan bagi seluruh pewaris kemerdekaan, mengapa perjuangan yang sedemikian
panjang dan telah berhasil membentuk identitas kebangsaan bernama Indonesia,
tiba-tiba goyah dan limbung? Apakah gejala dekadensi nilai kebangsaan adalah
hal yang lumrah dalam iklim globalisasi, sebagaimana juga dialami oleh India? Menurut
Yudi Latif dalam ceramahnya, India adalah negara yang memproduksi Doktor
terbanyak di dunia, namun tidak memiliki nilai kebangsaan yang kuat. Bahkan untuk
menetapkan pakaian tradisional sebagai pakaian nasional harus dikatakan oleh
orang lain (khususnya Inggris sebagai bekas penjajahnya). Erosi dan krisis
kebangsaan telah begitu dalam mwabah di India, hingga akhirnya muncul gagasan
untuk menulis ulang sejarah mereka (Re-write
Indian History).
Sayangnya,
Yudi Latif tidak menjawab pertanyaan saya, apakah Indonesia juga harus
melakukan penulisan kembali sejarah kebangsaannya? Jika ya, bagaimana melakukan
penulisan ulang sejarah itu, dan apa muatan yang harus ditulis? Namun meski
tidak mendapat jawaban, saya pribadi yakin bahwa harus ada Rewriting Indonesia history.
Ini adalah bagian dari proses nation
building and character building, agar Indonesia dapat mengembalikan
semangat kebangsaan dan bersatu padu menatap masa depan mewujudkan cita-cita
bersama, yakni Indonesia yang adil dan makmur. Bagaimana menulis ulang sejarah
Indonesia itu, semoga saya dapat meng-explore
pada kesempatan yang lain …
Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 22 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar