Kajian
Falsafah Bangsa, Paradigma Pembangunan, dan Kepemimpinan Nasional (FBPPKN)
hampir selesai. Selama sembilan hari terakhir, peserta dicekoki dengan berbagai
insights yang bersumber dari ceramah
nara sumber, kunjungan lapangan, dan bimbingan widyaiswara. Dalam menganalisis
informasi yang diterima, dipilih dan digunakan SSM (soft system methodology) sebagai metodenya. Bagi kebanyakan
peserta, metode SSM ini masih sangat baru dan menantang untuk menguasainya.
Tentu saja ini akan memperkaya teknik analisis yang telah dikuasai sebelumnya
dari Diklatpin tingkatan yang lebih rendah atau dari pendidikan formal.
Tanpa
bermaksud “menggugat” teknik analisis yang diterapkan pada setiap jenjang
Diklatpim, ada pertanyaan menggelitik dan belum terjawab selama ini. Mengapa
Diklatpim IV menerapkan teknik analisis Tree
Analysis, Diklatpim III menggunakan SWOT
Analysis, dan Diklatpim II memilih Systems
Thinking dan System Dynamic.
Seluruh teknik analisis ini tergolong pada hard
system. Sedangkan Diklatpim I lebih menerapkan soft system methodology.
Diklat
Kepemimpinan adalah diklat penjenjangan yang pesertanya berasal dari jenjang
jabatan (Eselon) yang sesuai dengan jenjang diklat. Namun, rasanya tidak ada
satupun teori yang menyatakan bahwa metode atau teknik analisis juga berjenjang
sesuai dengan jenjang jabatan. Artinya, bukan hal yang haram sesungguhnya jika
seorang (calon) pejabat Eselon I menggunakan analisis pohon (tree analysis) untuk mengurai
permasalahan yang dihadapi unit kerjanya. Demikian pula, bukanlah hal yang
menakjubkan seandainya seorang pejabat Eselon IV memakai SSM untuk menghasilkan
rekomendasi aksi yang diperlukan dalam rangka memperbaiki situasi yang dianggap
bermasalah (situation considered
problematic) di instansinya. Sayangnya, karena teknik analisis tadi terlanjur
identik dengan jenjang diklat tertentu, maka muncullah kesan bahwa SSM seakan
lebih baik dari pada systems dynamic,
atau SWOT seolah-olah lebih canggih dibanding tree analysis.
Secara
esensial, apapun metode atau teknik analisis yang digunakan, pada hakekatnya hanyalah
alat untuk mempermudah proses pengambilan keputusan dan meningkatkan kualitas
kebijakan. Pertanyaannya adalah, apakah karakter tugas, kompleksitas
permasalahan, dan mekanisme pengambilan keputusan di jenjang jabatan Eselon I
hanya tepat jika dipilih SSM? Pertanyaan yang sama berlaku pula untuk jenjang
jabatan dibawahnya serta teknik analisis yang diajarkan.
Saya
pribadi masih percaya bahwa jenjang jabatan lebih mencerminkan adanya perbedaan
fungsi, luasnya wewenang, panjangnya span
of control, dan beratnya tanggungjawab jabatan, namun tidak ada kaitan sama
sekali dengan metode analisis. Maka, “pemaksaan” penggunaan metode/teknik
analisis tertentu untuk jenjang jabatan tertentu, adalah sebuah kesalahan yang
tidak sepele. Kesalahan ini akan semakin membesar manakala terpenuhi dua
situasi. Pertama, ketika widyaiswara
yang mengampu tidak menguasai sepenuhnya metode yang diajarkan, dan cenderung
menimbulkan kebingungan peserta. Saya sendiri telah mengingatkan rekan-rekan
peserta bahwa jika kita sendiri belum yakin dengan metode SSM, bisa jadi akan
ditertawakan jika akan kita jadikan sebagai tool
of analysis pada Seminar Nasional di akhir program diklatpim I nantinya. Kedua, ketika metode yang kita pelajari
dengan mati-matian di temporary system pada
akhirnya tidak dapat diaplikasikan di permanent
system karena berbagai alasan, seperti langkah-langkahnya yang kurang
praktis, efektivitasnya yang belum teruji, sifatnya yang terlalu teoretik, dan
sebagainya.
Oleh
karena itu, saya mengusulkan agar pemakaian metode analisis tertentu tidak
mendominasi agenda pembelajaran Diklatpim. Sebagaimana dikatakan salah seorang
rekan satu kelompok, bisa-bisa Diklatpim I akan terjebak menjadi diklat teknis
SSM dan kehilangan sentuhan kepemimpinannya. Mungkin akan jauh lebih baik jika
metode/teknik analisis sifatnya pilihan, sedangkan soal penggunaan dan
kecocokannya diserahkan kepada peserta untuk memilih sesuai dengan minat dan
kesesuaian dengan karakter tugas dan organisasinya.
Selanjutnya,
agar peserta Diklat Kepemimpinan di seluruh jenjang memiliki gambaran dan
pilihan yang lengkap tentang beragam metode/teknik analisis, maka LAN harus
menyusun modul khusus yang berisi berbagai metode/teknik analisis yang dapat
diaplikasikan untuk keperluan menyusun produk-produk pembelajaran. Dan agar metode/teknik
analisis ini bisa diaplikasikan, maka widyaiswara perlu memahami dengan utuh
minimal tiga metode. Akan lebih baik lagi jika LAN mengembangkan diklat teknis
tentang Teknik Analisis yang mendukung pembelajaran Diklatpim, dan dijadikan
sebagai prerequisite (persyaratan)
sebelum mengikuti Diklatpim, sehingga pada saat menganalisis kasus atau menulis
kertas kerja, tidak perlu lagi ada perdebatan tentang substansi, tahapan, atau aplikasi
metode/teknik analisis tertentu.
Satu
hal yang pasti, sebagai pelaku kebijakan di levelnya masing-masing, peserta
Diklatpim adalah “instrumen utama” dalam proses pengambilan keputusan dan
perumusan kebijakan, sehingga harus memiliki kemandirian penuh untuk memilih atau
menentukan metode analisis. “Penggiringan” justru dikhawatirkan akan
menyebabkan penurunan efektivitas rencana program kerja instansi sampai dengan implementasinya.
Dari
kamar B-315
Kampus
Pejompongan, 2 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar