Senin, 01 April 2013

Teknik Analisis Dalam Diklat Kepemimpinan


Kajian Falsafah Bangsa, Paradigma Pembangunan, dan Kepemimpinan Nasional (FBPPKN) hampir selesai. Selama sembilan hari terakhir, peserta dicekoki dengan berbagai insights yang bersumber dari ceramah nara sumber, kunjungan lapangan, dan bimbingan widyaiswara. Dalam menganalisis informasi yang diterima, dipilih dan digunakan SSM (soft system methodology) sebagai metodenya. Bagi kebanyakan peserta, metode SSM ini masih sangat baru dan menantang untuk menguasainya. Tentu saja ini akan memperkaya teknik analisis yang telah dikuasai sebelumnya dari Diklatpin tingkatan yang lebih rendah atau dari pendidikan formal. 

Tanpa bermaksud “menggugat” teknik analisis yang diterapkan pada setiap jenjang Diklatpim, ada pertanyaan menggelitik dan belum terjawab selama ini. Mengapa Diklatpim IV menerapkan teknik analisis Tree Analysis, Diklatpim III menggunakan SWOT Analysis, dan Diklatpim II memilih Systems Thinking dan System Dynamic. Seluruh teknik analisis ini tergolong pada hard system. Sedangkan Diklatpim I lebih menerapkan soft system methodology 

Diklat Kepemimpinan adalah diklat penjenjangan yang pesertanya berasal dari jenjang jabatan (Eselon) yang sesuai dengan jenjang diklat. Namun, rasanya tidak ada satupun teori yang menyatakan bahwa metode atau teknik analisis juga berjenjang sesuai dengan jenjang jabatan. Artinya, bukan hal yang haram sesungguhnya jika seorang (calon) pejabat Eselon I menggunakan analisis pohon (tree analysis) untuk mengurai permasalahan yang dihadapi unit kerjanya. Demikian pula, bukanlah hal yang menakjubkan seandainya seorang pejabat Eselon IV memakai SSM untuk menghasilkan rekomendasi aksi yang diperlukan dalam rangka memperbaiki situasi yang dianggap bermasalah (situation considered problematic) di instansinya. Sayangnya, karena teknik analisis tadi terlanjur identik dengan jenjang diklat tertentu, maka muncullah kesan bahwa SSM seakan lebih baik dari pada systems dynamic, atau SWOT seolah-olah lebih canggih dibanding tree analysis. 

Secara esensial, apapun metode atau teknik analisis yang digunakan, pada hakekatnya hanyalah alat untuk mempermudah proses pengambilan keputusan dan meningkatkan kualitas kebijakan. Pertanyaannya adalah, apakah karakter tugas, kompleksitas permasalahan, dan mekanisme pengambilan keputusan di jenjang jabatan Eselon I hanya tepat jika dipilih SSM? Pertanyaan yang sama berlaku pula untuk jenjang jabatan dibawahnya serta teknik analisis yang diajarkan.  

Saya pribadi masih percaya bahwa jenjang jabatan lebih mencerminkan adanya perbedaan fungsi, luasnya wewenang, panjangnya span of control, dan beratnya tanggungjawab jabatan, namun tidak ada kaitan sama sekali dengan metode analisis. Maka, “pemaksaan” penggunaan metode/teknik analisis tertentu untuk jenjang jabatan tertentu, adalah sebuah kesalahan yang tidak sepele. Kesalahan ini akan semakin membesar manakala terpenuhi dua situasi. Pertama, ketika widyaiswara yang mengampu tidak menguasai sepenuhnya metode yang diajarkan, dan cenderung menimbulkan kebingungan peserta. Saya sendiri telah mengingatkan rekan-rekan peserta bahwa jika kita sendiri belum yakin dengan metode SSM, bisa jadi akan ditertawakan jika akan kita jadikan sebagai tool of analysis pada Seminar Nasional di akhir program diklatpim I nantinya. Kedua, ketika metode yang kita pelajari dengan mati-matian di temporary system pada akhirnya tidak dapat diaplikasikan di permanent system karena berbagai alasan, seperti langkah-langkahnya yang kurang praktis, efektivitasnya yang belum teruji, sifatnya yang terlalu teoretik, dan sebagainya. 

Oleh karena itu, saya mengusulkan agar pemakaian metode analisis tertentu tidak mendominasi agenda pembelajaran Diklatpim. Sebagaimana dikatakan salah seorang rekan satu kelompok, bisa-bisa Diklatpim I akan terjebak menjadi diklat teknis SSM dan kehilangan sentuhan kepemimpinannya. Mungkin akan jauh lebih baik jika metode/teknik analisis sifatnya pilihan, sedangkan soal penggunaan dan kecocokannya diserahkan kepada peserta untuk memilih sesuai dengan minat dan kesesuaian dengan karakter tugas dan organisasinya. 

Selanjutnya, agar peserta Diklat Kepemimpinan di seluruh jenjang memiliki gambaran dan pilihan yang lengkap tentang beragam metode/teknik analisis, maka LAN harus menyusun modul khusus yang berisi berbagai metode/teknik analisis yang dapat diaplikasikan untuk keperluan menyusun produk-produk pembelajaran. Dan agar metode/teknik analisis ini bisa diaplikasikan, maka widyaiswara perlu memahami dengan utuh minimal tiga metode. Akan lebih baik lagi jika LAN mengembangkan diklat teknis tentang Teknik Analisis yang mendukung pembelajaran Diklatpim, dan dijadikan sebagai prerequisite (persyaratan) sebelum mengikuti Diklatpim, sehingga pada saat menganalisis kasus atau menulis kertas kerja, tidak perlu lagi ada perdebatan tentang substansi, tahapan, atau aplikasi metode/teknik analisis tertentu.

Satu hal yang pasti, sebagai pelaku kebijakan di levelnya masing-masing, peserta Diklatpim adalah “instrumen utama” dalam proses pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan, sehingga harus memiliki kemandirian penuh untuk memilih atau menentukan metode analisis. “Penggiringan” justru dikhawatirkan akan menyebabkan penurunan efektivitas rencana program kerja instansi sampai dengan implementasinya. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 2 April  2013

Tidak ada komentar: