Tulisan ini mungkin sedikit
provokatif. Sebab, keberhasilan seseorang seringkali diraih dengan kerja keras
selama puluhan tahun tanpa rehat. Bagaimana mungkin waktu yang hanya 5 menit
memberi kontribusi signifikan bagi keberhasilan seseorang? Nah, disinilah
menariknya menafsirkan makna “5 menit” ini. Bagi saya, 5 menit sesungguhnya
identik dengan total waktu hidup seseorang. Bagaimana logikanya? Saya akan
mencoba menguraikan dalam konteks kediklatan, karena inspirasi tulisan inipun
saya peroleh selama mengikuti Diklatpim I.
Harus diakui bahwa penugasan
kepada peserta sudah sangat banyak dan memberatkan. Dalam satu kajian saja
misalnya, kelompok harus melakukan dua kali diskusi untuk menghasilkan dua
paparan. Kelompok yang sama juga harus membaca buku wajib, meringkasnya,
kemudian mempresenatsikan. Tidak cukup sampai disini, peserta juga masih harus
membuat analisis kasus – yang lagi-lagi – harus dipaparkan. Diakhir kajian, peserta
masih harus melakukan aktivitas yang disebut pembulatan, yang tentu saja juga
wajib disajikan di depan kelas. Ini belum termasuk tugas-tugas lain seperti
membuat jurnal harian, visitasi, simulasi dan laporannya, bahkan juga menulis
KKA dan KTP-2.
Meskipun frekuensi, jumlah, dan
beban dari tugas-tugas tersebut nampak sedikit tidak logis, tetap saja ada
waktu-waktu yang saya lihat kurang produktif. Pada jam makan malam, misalnya,
banyak peserta yang melanjutkan dengan ngobrol-ngobrol dan ber-karaoke. Ada
juga yang memilih jalan-jalan ke luar kampus untuk mencari makan atau minum di
tempat-tempat favorit mereka. Atau saat ada materi yang kosong karena pembicara
berhalangan. Atau saat kami harus menunggu cukup lama di bandara menunggu
pesawat yang delay yang akan
mengantarkan kami ke lokasi Observasi Lapangan atau mengantar kami pulang
kembali ke Jakarta. Bahkan, saya melihat banyak waktu-waktu emas yang dibiarkan
oleh peserta sebagai waktu yang terbuang sia-sia atau mubadzir, yakni waktu
menjelang subuh dimana kita sudah harus bangun namun kita malah menikmati
kehangatan selimut.
Katakanlah dalam satu hari kita
ambil 5 menit dari waktu ngobrol kita, ditambah 5 menit dari waktu tidur kita,
dan 5 menit dari ketidakjelasan agenda kita, maka dalam 1 hari kita memiliki 15
menit extra dari biasanya. Jika sebulan terdiri dari 30 hari, maka waktu ekstra
yang kita miliki adalah 15 menit x 30 = 450 menit = 7,5 jam. Jika rata-rata
menulis jurnal harian seperti ini adalah 1 jam, maka dalam satu bulan bisa
dihasilkan 7 hingga 8 jurnal. Dalam satu tahun, maka kita dapat membuat 96
jurnal. Inilah perbedaan yang dibuat oleh waktu yang hanya “5 menit”. Bayangkan
seandainya kita bisa invest lebih
banyak waktu, berapa banyak karya-karya baru yang bisa kita buat dibanding jika
kita hambur-hamburkan waktu tersebut.
Disisi lain, jangan lihat “5
menit” sebagai akumulasi dari 300 detik. Lihatlah juga “nilai mutu” yang sering
muncul dalam waktu yang sedemikian singkat itu. Ide-ide besar seringkali tidak muncul
dari sebuah diskusi panjang dan analisis yang melelahkan, namun justru terlahir
dari renungan sekejap mata atau exercise pikiran
secara tidak disengaja. Inilah yang disebut ilham, yang bisa datang tanpa
dicari dan susah ditemukan meski terus digali. Namun, probabilitas datangnya
ilham jauh lebih besar pada kumparan otak yang terus berputar, dibanding otak
yang diistirahatkan dalam tenang. Maka, siapkan otak kita untuk menerima ilham,
wahyu, wangsit, pulung, atau inspirasi, dengan “mencuri-curi” 5 menit dari setiap
aktivitas kita yang tidak produktif.
Tentu saja, jangan seluruh waktu
ngobrol kita curi untuk berpikir, jangan pula kita curi seluruh waktu tidur
kita untuk kontemplasi dan menuliskan hasil kontemplasi. Silakan anda akan
ngobrol apapun bahkan omong-omong kosong, silakan pula anda hang-out untuk menikmati dunia luar
sambil makan minum bersama teman, bahkan silakan anda untuk istirahat dan tidur
senyenyak mungkin. Namun ketika berbagai aktivitas tadi sudah menghambat anda
untuk menjadi lebih produktif, segeralah berhenti, dan curilah 5 menit
diantaranya untuk berolah-pikir, berolah-rasa, dan berolah-karsa agar anda
selalu membuat perbedaan dan kemajuan dalam hidup anda.
Ingatlah bahwa sesungguhnya
setiap manusia memiliki “mata uang” yang selalu dibelanjakan setiap harinya.
Ada yang mendapatkan sesuatu yang bernilai tinggi melampaui nilai “mata uang”
yang dimiliki, namun banyak diantara manusia yang justru hanya membuang-buang
“mata uang”nya tanpa mendapatkan apapun yang bermanfaat bagi dirinya dan orang
lain. “Mata uang” itu adalah usia. Setiap hari kita membuang usia hanya untuk
ngobrol, jalan-jalan, atau tidur dan tidak mendapat apapun. Bukankah lebih baik
manakala usia kita sama-sama berkurang, namun kita dapat menghasilkan sesuatu
yang mengandung nilai lebih tinggi baik secara agamis, ekonomis, akademis,
maupun humanis?
Inilah barangkali tafsir mbeling terhadap Surat Al-Ashr …
Sungguh merugilah orang-orang yang membuang waktu dalam hidupnya secara
sia-sia, yang bicara sia-sia, melakukan sesuatu yang sia-sia, dan akhirnya
membuat hidup mereka sia-sia. Naudzubillahi min dzalik.
Dari
kamar B-315
Kampus
Pejompongan, 14 Mei 2013