Mendengarkan ceramah Prof. Emil
Salim dua hari yang lalu, membuat saya menengok kembali issu desentralisasi
yang cukup lama saya tinggalkan. Terakhir saya menggeluti issu desentralisasi
saat masih menjabat Kepala Bidang Kajian Aparatur hingga tahun 2010. Secara
substantif, sebenarnya tidak ada hal baru yang disampaikan Prof. Emil, namun
tetap saja menarik untuk diperbincangkan, terutama karena beliau mengkritik
konsep dasar desentralisasi baik berdasarkan UU No. 22/1999 maupun UU No.
32/2004.
Salah satu yang diungkapkan Ketua
Wantimpres ini adalah bahwa desentralisasi telah mengakibatkan beralihnya
berbagai perijinan ke daerah, misalnya sektor pertambangan. Sejak era desentralisasi
luas, berbagai daerah seperti Kalimantan ibarat wilayah yang di bom yang
menyebabkan lobang besar. Melihat fenomena ini, Pemerintah Pusat gemas karena
daerah seolah melakukan obral perijinan, dan tidak memperhatikan kepentingan
yang lebih besar. Uniknya, salah seorang peserta yang berasal dari daerah
justru menyalahkan Pemerintah Pusat yang dianggap tidak mengambil kebijakan
yang tepat untuk menyelamatkan kerusakan lingkungan yang semakin parah oleh
semakin tidak terkendalinya perijinan di daerah. Sistem desentralisasi di masa
reformasi ini, menurut Prof. Emil, mengakibatkan hilangnya back bone pemerintah hingga ke daerah (desa).
Selanjutnya, Prof. Emil juga
mengatakan bahwa desentralisasi telah mengakibatkan daerah ingin memberi
perhatian besar kepada putra daerah, sehingga Keluarga Berencana dianggap
sebagai program depopulasi yang mengancam tumbuhnya pada putra daerah. Itulah
sebabnya, laju pertumbuhan penduduk di era otonomi luas melonjak lagi, setelah
berhasil dikendalikan pada masa Orde Baru. Laju pertumbuhan yang tidak
terkendali ini, meski ada nilai positifnya seperti memberikan bonus demografi
bagi bangsa Indonesia, namun juga menyimpan time-bomb
seperti makin terbatasnya lapangan kerja, makin tingginya tuntutan
pelayanan dasar (pendidikan, kesehatan, infrastruktur), makin lemahnya daya
dukung lingkungan (carrying capacity),
makin sempitnya lahan untuk permukiman, makin tingginya beban anggaran, dan
sebagainya.
Hal lain yang menarik dari
ceramah Prof. Emil adalah soal perbandingan masa lalu dan sekarang. Pada jaman
Suharto dulu, ketika Presiden mengeluarkan perintah, maka seluruh Menteri dan
Gubernur langsung melaksanakan dan tidak menafsirkan secara berbeda. Kesatuan
komando dari pucuk pimpinan hingga lapisan terbawah, begitu kuat dan mudah
dikontrol. Namun di era desentralisasi sekarang ini, perintah Presiden seringkali
tidak bisa langsung dilaksanakan karena para Menteri dan Gubernur masih
menunggu arah kebijakan dari partai politiknya masing-masing. Jika garis
politik Parpol berbeda dengan arah kebijakan Presiden, sangat boleh jadi
kepentingan Parpol yang lebih diprioritaskan.
Dari
ketiga issu yang disampaikan diatas, saya mengambil kesimpulan bahwa Prof. Emil
menginginkan resentralisasi urusan-urusan yang telah didesentralisasikan.
Sayangnya, beliau tidak secara eksplisit menyatakan hal tersebut. Maka, ketika
sessi ceramah sudah selesai, saya temui beliau dan menanyakan apa konsep beliau
terhadap tiga issu yang dilontarkannya. Ternyata jawabannya cukup sederhana dan
sudah banyak diwacanakan, yakni bahwa otonomi semestinya tidak diberikan di
tingkat kabupaten/kota, namun di tingkat provinsi.
Ide
ini dilihat dari berbagai argumentasi sangat masuk akal. Sebagai negara
kesatuan (unitary state) yang telah
berpuluh tahun menerapkan prinsip dekonsentrasi (baca: sentralisasi), terlalu
jauh untuk melakukan giant leap atau leap-froging dengan langsung memberi
otonomi kepada daerah tingkat kedua. Secara empirik faktual, perjalanan lebih
dari satu dekade desentralisasi luas juga menyajikan banyak kegagalan seperti
rendahnya kinerja daerah otonom baru, porsi anggaran daerah yang sebagian besar
terserap untuk belanja aparatur, merebaknya kasus korupsi yang melibatkan
Kepala Daerah dan DPRD, dan sebagainya.
Namun
persoalannya, apakah mungkin Pemerintah Pusat menarik kembali urusan yang telah
didesentralisasikan? Mungkin saja hal ini dianggap sebagai langkah
resentralisasi yang sangat tidak populer dikalangan akademisi dalam dan luar
negeri. Bisa juga hal ini dicap sebagai “menjilat ludah sendiri” dan
mengingkari tuntutan reformasi 1998 yang melahirkan UU No. 22/1999. Resiko
melakukan “resentralisasi” tentu harus diantisipasi secara cermat, misalnya
kemungkinan munculnya perlawanan dari kabupaten/kota. Penarikan otonomi ke
tingkat provinsi juga bukan jaminan akan dapat diselesaikannya semua masalah.
Mungkin saja yang terjadi kemudian hanya sekedar memindahkan masalah.
Untuk
itu, melihat kebijakan desentralisasi yang sudah kadung seperti sekarang haruslah seimbang antara perspektif pusat
terhadap daerah dan perspektif daerah terhadap pusat. Jika yang terjadi selalu
pemaksaan dari satu perspektif atau dari satu pihak saja, dapat dipastikan
kebijakan itu tidak berumur lama dan rentan terhadap gugatan judicial review. Daerah harus menahan
diri untuk tidak “berulah” yang akan merepotkan Pusat. Jika daerah diibaratkan
anak, dan pusat adalah orang tua, harus dihindarkan jangan sampai terjadi
pepatah Jawa anak polah bapa kepradah (anak
berulah, orang tua yang menanggung akibat). Sebaliknya, jangan sampai pula pepatah
tadi berbalik menjadi bapa polah, anak
kepradah. Sebab faktanya, sudah terlalu banyak kasus pusat berulah dan
daerah yang menanggung beban. Contohnya, banyak instansi pusat yang membuat
aturan yang saling bertentangan dan membingungkan daerah. Banyak pula
permintaan data yang sama dari berbagai kementerian, sehingga menghabiskan
energi pejabat daerah. Belum lagi soal struktur kelembagaan pusat yang
berubah-ubah seperti dalam kasus Kementerian Pendidikan Nasional menjadi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, atau bergabung dan berpisahnya
Kementerian Perdagangan dan Perindustrian, yang sedikit banyak mempengaruhi
interaksi antara daerah dengan kementerian yang bersangkutan.
Oleh
karena itu, akan lebih bijaksana jika gagasan-gagasan reformasi dalam sistem
penyelenggaraan pemerintahan dan hubungan pusat-daerah dikaji lebih seksama
agar tidak terjebak pada situasi trial
and error yang tidak berkesudahan. Pergantian UU No. 22/1999 menjadi UU No.
32/2004, serta telah dilakukannya uji materiil oleh MK terhadap UU No. 32/2004
sebanyak 36 kali, menunjukkan sangat mentahnya materi yang diatur dalam UU
Pemerintahan Daerah tersebut. Saya pribadi dapat menyetujui ide Prof. Emil
Salim untuk membawa otonomi ke level provinsi, namun saya lebih mendukung untuk
mempertahankan “keterlanjuran” yang terjadi dengan memperbaiki sisi-siai yang
masih bermasalah.
Berwacana
memang menyenangkan, melempar gagasan-gagasan out of the box juga selalu menantang. Namun menciptakan produk
hukum yang mampu bertahan lama di tengah dinamika lingkungan yang turbulent, yang mampu memuaskan secara
relatif kepentingan berbagai kelompok, serta yang mampu menjabarkan nilai-nilai
dan semangat Konstitusi, adalah sebuah pekerjaan yang teramat berat. Tugas
pemerintah adalah melayani, bukan membebani masyarakat. Fungsi pemerintah
adalah untuk mempermudah, bukan mempersusah dan memperlemah masyarakat. Maka,
harus dijamin bahwa setiap peraturan perundang-undangan yang dihasilkan
pemerintah benar-benar merupakan cerminan dari kebutuhan dan harapan masyarakat
kebanyakan, bukan kepentingan segelintir golongan tertentu. Meminjam kalimat
dalam sebuah iklan televisi: masyarakat
kok dibuat coba-coba …
Dari
kamar B-315
Kampus
Pejompongan, 3 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar