Senin, 06 Mei 2013

Desentralisasi Dipertanyakan


Mendengarkan ceramah Prof. Emil Salim dua hari yang lalu, membuat saya menengok kembali issu desentralisasi yang cukup lama saya tinggalkan. Terakhir saya menggeluti issu desentralisasi saat masih menjabat Kepala Bidang Kajian Aparatur hingga tahun 2010. Secara substantif, sebenarnya tidak ada hal baru yang disampaikan Prof. Emil, namun tetap saja menarik untuk diperbincangkan, terutama karena beliau mengkritik konsep dasar desentralisasi baik berdasarkan UU No. 22/1999 maupun UU No. 32/2004.  

Salah satu yang diungkapkan Ketua Wantimpres ini adalah bahwa desentralisasi telah mengakibatkan beralihnya berbagai perijinan ke daerah, misalnya sektor pertambangan. Sejak era desentralisasi luas, berbagai daerah seperti Kalimantan ibarat wilayah yang di bom yang menyebabkan lobang besar. Melihat fenomena ini, Pemerintah Pusat gemas karena daerah seolah melakukan obral perijinan, dan tidak memperhatikan kepentingan yang lebih besar. Uniknya, salah seorang peserta yang berasal dari daerah justru menyalahkan Pemerintah Pusat yang dianggap tidak mengambil kebijakan yang tepat untuk menyelamatkan kerusakan lingkungan yang semakin parah oleh semakin tidak terkendalinya perijinan di daerah. Sistem desentralisasi di masa reformasi ini, menurut Prof. Emil, mengakibatkan hilangnya back bone pemerintah hingga ke daerah (desa). 

Selanjutnya, Prof. Emil juga mengatakan bahwa desentralisasi telah mengakibatkan daerah ingin memberi perhatian besar kepada putra daerah, sehingga Keluarga Berencana dianggap sebagai program depopulasi yang mengancam tumbuhnya pada putra daerah. Itulah sebabnya, laju pertumbuhan penduduk di era otonomi luas melonjak lagi, setelah berhasil dikendalikan pada masa Orde Baru. Laju pertumbuhan yang tidak terkendali ini, meski ada nilai positifnya seperti memberikan bonus demografi bagi bangsa Indonesia, namun juga menyimpan time-bomb seperti makin terbatasnya lapangan kerja, makin tingginya tuntutan pelayanan dasar (pendidikan, kesehatan, infrastruktur), makin lemahnya daya dukung lingkungan (carrying capacity), makin sempitnya lahan untuk permukiman, makin tingginya beban anggaran, dan sebagainya.

Hal lain yang menarik dari ceramah Prof. Emil adalah soal perbandingan masa lalu dan sekarang. Pada jaman Suharto dulu, ketika Presiden mengeluarkan perintah, maka seluruh Menteri dan Gubernur langsung melaksanakan dan tidak menafsirkan secara berbeda. Kesatuan komando dari pucuk pimpinan hingga lapisan terbawah, begitu kuat dan mudah dikontrol. Namun di era desentralisasi sekarang ini, perintah Presiden seringkali tidak bisa langsung dilaksanakan karena para Menteri dan Gubernur masih menunggu arah kebijakan dari partai politiknya masing-masing. Jika garis politik Parpol berbeda dengan arah kebijakan Presiden, sangat boleh jadi kepentingan Parpol yang lebih diprioritaskan. 

Dari ketiga issu yang disampaikan diatas, saya mengambil kesimpulan bahwa Prof. Emil menginginkan resentralisasi urusan-urusan yang telah didesentralisasikan. Sayangnya, beliau tidak secara eksplisit menyatakan hal tersebut. Maka, ketika sessi ceramah sudah selesai, saya temui beliau dan menanyakan apa konsep beliau terhadap tiga issu yang dilontarkannya. Ternyata jawabannya cukup sederhana dan sudah banyak diwacanakan, yakni bahwa otonomi semestinya tidak diberikan di tingkat kabupaten/kota, namun di tingkat provinsi. 

Ide ini dilihat dari berbagai argumentasi sangat masuk akal. Sebagai negara kesatuan (unitary state) yang telah berpuluh tahun menerapkan prinsip dekonsentrasi (baca: sentralisasi), terlalu jauh untuk melakukan giant leap atau leap-froging dengan langsung memberi otonomi kepada daerah tingkat kedua. Secara empirik faktual, perjalanan lebih dari satu dekade desentralisasi luas juga menyajikan banyak kegagalan seperti rendahnya kinerja daerah otonom baru, porsi anggaran daerah yang sebagian besar terserap untuk belanja aparatur, merebaknya kasus korupsi yang melibatkan Kepala Daerah dan DPRD, dan sebagainya. 

Namun persoalannya, apakah mungkin Pemerintah Pusat menarik kembali urusan yang telah didesentralisasikan? Mungkin saja hal ini dianggap sebagai langkah resentralisasi yang sangat tidak populer dikalangan akademisi dalam dan luar negeri. Bisa juga hal ini dicap sebagai “menjilat ludah sendiri” dan mengingkari tuntutan reformasi 1998 yang melahirkan UU No. 22/1999. Resiko melakukan “resentralisasi” tentu harus diantisipasi secara cermat, misalnya kemungkinan munculnya perlawanan dari kabupaten/kota. Penarikan otonomi ke tingkat provinsi juga bukan jaminan akan dapat diselesaikannya semua masalah. Mungkin saja yang terjadi kemudian hanya sekedar memindahkan masalah. 

Untuk itu, melihat kebijakan desentralisasi yang sudah kadung seperti sekarang haruslah seimbang antara perspektif pusat terhadap daerah dan perspektif daerah terhadap pusat. Jika yang terjadi selalu pemaksaan dari satu perspektif atau dari satu pihak saja, dapat dipastikan kebijakan itu tidak berumur lama dan rentan terhadap gugatan judicial review. Daerah harus menahan diri untuk tidak “berulah” yang akan merepotkan Pusat. Jika daerah diibaratkan anak, dan pusat adalah orang tua, harus dihindarkan jangan sampai terjadi pepatah Jawa anak polah bapa kepradah (anak berulah, orang tua yang menanggung akibat). Sebaliknya, jangan sampai pula pepatah tadi berbalik menjadi bapa polah, anak kepradah. Sebab faktanya, sudah terlalu banyak kasus pusat berulah dan daerah yang menanggung beban. Contohnya, banyak instansi pusat yang membuat aturan yang saling bertentangan dan membingungkan daerah. Banyak pula permintaan data yang sama dari berbagai kementerian, sehingga menghabiskan energi pejabat daerah. Belum lagi soal struktur kelembagaan pusat yang berubah-ubah seperti dalam kasus Kementerian Pendidikan Nasional menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, atau bergabung dan berpisahnya Kementerian Perdagangan dan Perindustrian, yang sedikit banyak mempengaruhi interaksi antara daerah dengan kementerian yang bersangkutan. 

Oleh karena itu, akan lebih bijaksana jika gagasan-gagasan reformasi dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan dan hubungan pusat-daerah dikaji lebih seksama agar tidak terjebak pada situasi trial and error yang tidak berkesudahan. Pergantian UU No. 22/1999 menjadi UU No. 32/2004, serta telah dilakukannya uji materiil oleh MK terhadap UU No. 32/2004 sebanyak 36 kali, menunjukkan sangat mentahnya materi yang diatur dalam UU Pemerintahan Daerah tersebut. Saya pribadi dapat menyetujui ide Prof. Emil Salim untuk membawa otonomi ke level provinsi, namun saya lebih mendukung untuk mempertahankan “keterlanjuran” yang terjadi dengan memperbaiki sisi-siai yang masih bermasalah. 

Berwacana memang menyenangkan, melempar gagasan-gagasan out of the box juga selalu menantang. Namun menciptakan produk hukum yang mampu bertahan lama di tengah dinamika lingkungan yang turbulent, yang mampu memuaskan secara relatif kepentingan berbagai kelompok, serta yang mampu menjabarkan nilai-nilai dan semangat Konstitusi, adalah sebuah pekerjaan yang teramat berat. Tugas pemerintah adalah melayani, bukan membebani masyarakat. Fungsi pemerintah adalah untuk mempermudah, bukan mempersusah dan memperlemah masyarakat. Maka, harus dijamin bahwa setiap peraturan perundang-undangan yang dihasilkan pemerintah benar-benar merupakan cerminan dari kebutuhan dan harapan masyarakat kebanyakan, bukan kepentingan segelintir golongan tertentu. Meminjam kalimat dalam sebuah iklan televisi: masyarakat kok dibuat coba-coba  

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 3 Mei 2013

Tidak ada komentar: