Jumat, 10 Mei 2013

K a s u s


Ada yang terlewat dari proses pembelajaran pada kajian 1, 2, dan 3 yang belum sempat saya angkat dalam jurnal, padahal merupakan elemen penting dalam diklatpim untuk membangun kompetensi tertentu peserta diklat. Elemen tersebut adalah Kasus. Penyelenggara dan widyaiswara nampaknya belum firm betul mengenai pengertian kasus, komponen minimal sebuah kasus, serta format laporan dan expose analisis kasus. Karena pemahaman penyelenggara dan widyaiswara yang belum bulat ini, maka praktek yang diberikan pada setiap kajian juga berbeda-beda dan menimbulkan perdebatan yang cukup “panas”.  

Pada kajian kedua misalnya, widyaiswara memberi daftar issu terkait ASEAN Community yang dibagi menjadi tiga kelompok, yakni politik keamanan, ekonomi, serta sosial budaya. Tidak ada sama sekali data pendukung berupa opini, fakta, permasalahan, ataupun statistik terkait ketiga elemen ASEAN Community tersebut. Widyaiswara mempersilahkan peserta untuk memilih satu atau beberapa issu yang ada dalam daftar untuk dikembangkan sebagai kasus, yang tentu membuat sebagian peserta bingung. Kontan saja salah seorang peserta menyatakan dengan tegas bahwa issu bukanlah kasus, sementara tugas peserta adalah menganalisis kasus, bukan membuat kasus.  

Kebingungan lain adalah soal penggunaan istilah yang saling bertukar antara kasus dengan studi kasus, padahal keduanya jelas memiliki makna yang jauh berbeda. “Kasus” adalah peristiwa atau kumpulan persitiwa, fakta atau kumpulan fakta, masalah atau kumpulan masalah yang belum dianalisis sehingga belum diketahui pokok/inti masalahnya serta solusi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sedangkan “studi kasus” adalah salah satu metode yang sering digunakan terutama pada penelitian kualitatif yang bersifat spesifik dan berskala lokal. Adapun definisi baku tentang studi kasus Robert K. Yin (“Case Study Research: Design and Methods”, dalam Applied Social Research Method Series, Volume 5, California: Sage Publications, 2002) sebagai berikut: A Case study is an empirical inquiry that investigate a contemporary phenomenon within its real-life context, when the boundaries between phenomenon and context are not clearly evident, and in which multiple sources of evidence are used. Singkatnya, “kasus” pada setiap kajian di Diklatpim I bukanlah “studi kasus”, cukup disebut dengan “analisis kasus” atau “bedah kasus”. 

Untuk itu, agar tidak terjebak pada debat yang berkepanjangan, maka perlu dibuat kriteria tentang makna “kasus” ini. Dalam hal ini, saya menyarankan beberapa kriteria kasus yang baik seperti dibawah ini, siapa tahu dapat diterapkan untuk pembelajaran Diklatpim I yang akan datang.  

·         Kasus harus memiliki keterkaitan dengan tema;
·         Kasus harus faktual dan aktual (bukan kasus imajiner) sehingga hasil analisis harus sedekat mungkin memenuhi kebutuhan ;
·         Kasus sebaiknya bersifat kronologis agar dapat diketahui hubungan antar peristiwa dalam kasus tersebut;
·         Hindar keragu-raguan dalam analisis dan pemaparan kasus (“katanya”, “konon”, “mungkin”, dan lain-lain) agar tidak menjadi fitnah atau sarat dengan konflik kepentingan;
·         Jika kasusnya kompleks, lebih baik dipilih dan difokuskan pada bagian tertentu dari kasus tersebut.
·         Kasus dapat bersumber dari berita media, laporan, hasil penelitian, pengaduan masyarakat, kasus hukum, dan lain-lain. 

Masalah selanjutnya mengenai cara penyajian. Widyaiswara membebaskan format, metode yang dipakai, atau tentang apapun, sementara penyelenggara juga tidak memiliki panduan yang jelas bagaimana menganalisis hingga mempresentasikan “kasus” tersebut. Alhasil, sempat timbul perdebatan yang semestinya tidak diperlukan. Untuk menghindari disorientasi pada penyelenggaraan Diklatpim angkatan yang akan datang, maka terkait dengan sistematika penyajian “kasus” ini saya sarankan sebagai berikut: 

1.      Ringkasan Kasus, merupakan intisari dari rangkaian peristiwa/deretan angka statistik/ kumpulan fakta dan opini yang belum terstruktur, menjadi paparan yang lebih singkat namun condensed, compact, dan systemic. Dalam pembelajaran Diklatpim II, ini bisa disamakan dengan story line;
2.      Pokok Permasalahan, adalah masalah terbesar yang akan dipecahkan atau situasi paling pro blematis yang akan ditingkatkan sesuai dengan prioritas dan kemampuan dari policy maker dan policy implementator;
3.      Kerangka Berpikir / Rujukan Teoretik (jika dibutuhkan dan jika waktu yang tersedia mencukupi);
4.      Analisis / Pembahasan, antara lain berisi jawaban terhadap pertanyaan tentang:
·         Faktor apa saja yg menjadi penyebab masalah?
·         Apa dampak masalah tersebut (sekarang dan masa mendatang)?
·         Langkah apa saja yang pernah dilakukan?
·         Siapa saja yang terlibat dan/atau bertanggung jawab terhadap masalah tersebut baik secara individu maupun institusional)?
·         Mengapa upaya-upaya diatas belum berhasil sehingga masalah belum terpecahkan?
5.      Alternatif Pemecahan Masalah. Pada bagian ini dapat digunakan metode atau teknik analisis tertentu seperti soft system methodology, scenario planning, problem tree analysis, SWOT analysis, force field analysis, dan sebagainya, sesuai kebutuhan analisis dan judgment dari analis;
6.      Lesson Learned / Policy Implication, berisi hal-hal yang diperlukan untuk mencegah agar masalah yang sama tidak terjadi lagi di kemudian hari. 

Dengan sistematika yang bernuansa sangat academic ini, maka tidak mungkin kasus hanya disusun dalam waktu 1 sessi (3x45 menit). Analisis kasus sebaiknya tidak hanya menjadi formalitas belaka, namun harus didesain untuk benar-benar menjadi “laboratorium semu” dari pusat-pusat perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan. 

Hal terakhir yang dapat dipertimbangkan adalah, apakah analisis kasus benar-beanr dibutuhkan untuk mengasah kemampuan analitis peserta? Atau kemungkinan lain, analisis kasus dipertahankan namunelemen pembelajaran lain yakni diskusi 1 dan 2 pada setiap kajian yang ditiadakan. Faktanya, apa yang terjadi pada diskusi 1 dan 2 dengan analisis kasus tidak ada bedaya sama sekali alias setali tiga uang. Secara pribadi, saya mendukung jika diskusi 1 dan 2 dihapus, sehingga dalam satu kajian akan terdapat elemen Ceramah Isu Aktual (CIA). Tugas Baca, Analisis Kasus, Pembulatan, serta Evaluasi. Dengan demikian, maka durasi Diklatpim dapat dipersingkat tanpa mengurangi esensi dan kualitas proses pembelajaran. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 10 Mei 2013

Tidak ada komentar: