Ada yang terlewat dari proses
pembelajaran pada kajian 1, 2, dan 3 yang belum sempat saya angkat dalam
jurnal, padahal merupakan elemen penting dalam diklatpim untuk membangun
kompetensi tertentu peserta diklat. Elemen tersebut adalah Kasus. Penyelenggara
dan widyaiswara nampaknya belum firm betul
mengenai pengertian kasus, komponen minimal sebuah kasus, serta format laporan dan
expose analisis kasus. Karena pemahaman
penyelenggara dan widyaiswara yang belum bulat ini, maka praktek yang diberikan
pada setiap kajian juga berbeda-beda dan menimbulkan perdebatan yang cukup “panas”.
Pada kajian kedua misalnya,
widyaiswara memberi daftar issu terkait ASEAN Community yang dibagi menjadi
tiga kelompok, yakni politik keamanan, ekonomi, serta sosial budaya. Tidak ada
sama sekali data pendukung berupa opini, fakta, permasalahan, ataupun statistik
terkait ketiga elemen ASEAN Community tersebut. Widyaiswara mempersilahkan
peserta untuk memilih satu atau beberapa issu yang ada dalam daftar untuk dikembangkan
sebagai kasus, yang tentu membuat sebagian peserta bingung. Kontan saja salah
seorang peserta menyatakan dengan tegas bahwa issu bukanlah kasus, sementara tugas
peserta adalah menganalisis kasus, bukan membuat kasus.
Kebingungan
lain adalah soal penggunaan istilah yang saling bertukar antara kasus dengan
studi kasus, padahal keduanya jelas memiliki makna yang jauh berbeda. “Kasus”
adalah peristiwa atau kumpulan persitiwa, fakta atau kumpulan fakta, masalah atau
kumpulan masalah yang belum dianalisis sehingga belum diketahui pokok/inti
masalahnya serta solusi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sedangkan
“studi kasus” adalah salah satu metode yang sering digunakan terutama pada penelitian
kualitatif yang bersifat spesifik dan berskala lokal. Adapun definisi baku
tentang studi kasus Robert K. Yin (“Case Study Research: Design and Methods”, dalam Applied
Social Research Method Series, Volume 5, California:
Sage Publications,
2002) sebagai berikut: A Case study is an
empirical inquiry that investigate a
contemporary phenomenon within its real-life context, when the boundaries between phenomenon and context are not
clearly evident, and in which multiple sources of evidence are used. Singkatnya, “kasus” pada setiap kajian di
Diklatpim I bukanlah “studi kasus”, cukup disebut dengan “analisis kasus” atau “bedah
kasus”.
Untuk
itu, agar tidak terjebak pada debat yang berkepanjangan, maka perlu dibuat
kriteria tentang makna “kasus” ini. Dalam hal ini, saya menyarankan beberapa
kriteria kasus yang baik seperti dibawah ini, siapa tahu dapat diterapkan untuk
pembelajaran Diklatpim I yang akan datang.
·
Kasus harus memiliki keterkaitan dengan tema;
·
Kasus harus faktual dan aktual (bukan kasus imajiner)
sehingga hasil analisis harus sedekat mungkin memenuhi kebutuhan ;
·
Kasus sebaiknya bersifat kronologis agar dapat
diketahui hubungan antar peristiwa dalam kasus tersebut;
·
Hindar keragu-raguan dalam analisis dan pemaparan
kasus (“katanya”, “konon”, “mungkin”, dan lain-lain) agar tidak menjadi fitnah
atau sarat dengan konflik kepentingan;
·
Jika kasusnya kompleks, lebih baik dipilih dan
difokuskan pada bagian tertentu dari kasus tersebut.
·
Kasus dapat bersumber dari berita media, laporan,
hasil penelitian, pengaduan masyarakat, kasus hukum, dan lain-lain.
Masalah
selanjutnya mengenai cara penyajian. Widyaiswara membebaskan format, metode
yang dipakai, atau tentang apapun, sementara penyelenggara juga tidak memiliki
panduan yang jelas bagaimana menganalisis hingga mempresentasikan “kasus” tersebut.
Alhasil, sempat timbul perdebatan yang semestinya tidak diperlukan. Untuk
menghindari disorientasi pada penyelenggaraan Diklatpim angkatan yang akan
datang, maka terkait dengan sistematika penyajian “kasus” ini saya sarankan
sebagai berikut:
1.
Ringkasan
Kasus, merupakan intisari dari rangkaian peristiwa/deretan angka statistik/ kumpulan
fakta dan opini yang belum terstruktur, menjadi paparan yang lebih singkat
namun condensed, compact, dan systemic. Dalam pembelajaran Diklatpim
II, ini bisa disamakan dengan story line;
2.
Pokok
Permasalahan, adalah masalah terbesar yang akan dipecahkan atau situasi paling pro
blematis yang akan ditingkatkan sesuai dengan prioritas dan kemampuan dari policy maker dan policy implementator;
3.
Kerangka
Berpikir / Rujukan Teoretik (jika dibutuhkan dan jika waktu yang tersedia
mencukupi);
4.
Analisis
/ Pembahasan, antara lain berisi jawaban terhadap pertanyaan tentang:
·
Faktor
apa saja yg menjadi penyebab masalah?
·
Apa
dampak masalah tersebut (sekarang dan masa mendatang)?
·
Langkah
apa saja yang pernah dilakukan?
·
Siapa
saja yang terlibat dan/atau bertanggung jawab terhadap masalah tersebut baik
secara individu maupun institusional)?
·
Mengapa
upaya-upaya diatas belum berhasil sehingga masalah belum terpecahkan?
5.
Alternatif
Pemecahan Masalah. Pada bagian ini dapat digunakan metode atau teknik analisis
tertentu seperti soft system methodology,
scenario planning, problem tree analysis,
SWOT analysis, force field analysis, dan sebagainya, sesuai kebutuhan
analisis dan judgment dari analis;
6.
Lesson Learned /
Policy Implication,
berisi hal-hal yang diperlukan untuk mencegah agar masalah yang sama tidak
terjadi lagi di kemudian hari.
Dengan
sistematika yang bernuansa sangat academic
ini, maka tidak mungkin kasus hanya disusun dalam waktu 1 sessi (3x45
menit). Analisis kasus sebaiknya tidak hanya menjadi formalitas belaka, namun
harus didesain untuk benar-benar menjadi “laboratorium semu” dari pusat-pusat perumusan
kebijakan dan pengambilan keputusan.
Hal
terakhir yang dapat dipertimbangkan adalah, apakah analisis kasus benar-beanr
dibutuhkan untuk mengasah kemampuan analitis peserta? Atau kemungkinan lain,
analisis kasus dipertahankan namunelemen pembelajaran lain yakni diskusi 1 dan
2 pada setiap kajian yang ditiadakan. Faktanya, apa yang terjadi pada diskusi 1
dan 2 dengan analisis kasus tidak ada bedaya sama sekali alias setali tiga uang. Secara pribadi, saya
mendukung jika diskusi 1 dan 2 dihapus, sehingga dalam satu kajian akan
terdapat elemen Ceramah Isu Aktual (CIA). Tugas Baca, Analisis Kasus,
Pembulatan, serta Evaluasi. Dengan demikian, maka durasi Diklatpim dapat
dipersingkat tanpa mengurangi esensi dan kualitas proses pembelajaran.
Dari
kamar B-315
Kampus
Pejompongan, 10 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar