Minggu, 5 Mei 2013 kemaren, kami
berangkat menuju lokasi OL (observasi lapangan). Saya mendapat bagian ke Batam
untuk mengkaji soal ASEAN Economic Community. Sore kami tiba di hotel Novotel,
hanya beristirahat sejenak, malamnya kami langsung berdiskusi untuk membahas
persiapan hari ini. Dalam diskusi inilah muncul pertanyaan dalam hati sekaligus
rasa penasaran saya, apakah mungkin ASEAN Community ini merupakan wujud
kekalahan Indonesia dalam perang kebijakan global? (catatan: untuk memahami apa makna “perang kebijakan”, silakan baca
kembali Jurnal #26 tentang Perang Kebijakan, Korporatokrasi, dan Krisis Negara
Kesejahteraan).
Rasa curiosity saya ini bersumber pada prinsip-prinsip yang biasa
berlaku dalam zona perdagangan bebas. Salah satu prinsip perdagangan bebas
adalah reciprocity (timbal balik).
Ilustrasinya, dalam skema pasar tunggal tadi, Singapore Airlines boleh masuk ke
bandara manapun di Indonesia, dan sebaliknya maskapai penerbangan Indonesia
juga boleh masuk ke Changi Airport. Permasalahannya, kapasitas SQ untuk
beroperasi dan menciptakan jalur-jalur baru di Indonesia dan menghubungkannya
dengan Changi jauh lebih besar dibanding kapasitas maskapai domestik untuk
melakukan hal yang sama. Dalam kasus lain, perdagangan bebas juga memungkinkan
akuntan publik, dokter, atau pengacara Singapura, Malaysia, atau Thailand masuk
ke Indonesia. Meskipun akuntan publik, dokter, atau pengacara Indonesia juga
boleh masuk ke negara tetangga, namun tingkat penguasaan teknologi, kemampuan
berbahasa asing, dan tingkat profesionalismenya jauh dibanding kolega mereka
dari negara lain.
Prinsip lain dalam perdagangan
bebas adalah non discrimination, yang
menghendaki dihapuskannya hambatan tariff maupun non tariff (tariff and non-tariff barriers). Sebagai
contoh, harga gas harus sama tanpa membedakan asal negara pembelinya. Artinya,
jika harga gas di Indonesia lebih murah dari pada di Singapura, maka pihak
Singapura boleh membeli gas di Indonesia dalam volume berapapun dengan harga
sama di Indonesia. Ini akan “mengancam” terpenuhinya kebutuhan dalam negeri
jika stok yang ada terbatas dan “diborong” Singapura. Kemungkinan lain, jika
harga pasar harus sama sementara pasarnya adalah pasar ASEAN, maka harga di
seluruh negara ASEAN menjadi sama. Implikasinya, ada kemungkinan harga gas di Indonesia
akan melonjak mengikuti harga pasar, karena selama ini harga gas di dalam
negeri masih disubsidi oleh pemerintah. Dengan kata lain, pasar tunggal ASEAN
mensyaratkan pencabutan subsidi komoditas tertentu, dan ini akan berdampak
buruk bagi masyarakat yang masih hidup dibawa garis kemiskinan. Dilihat dari
indikator jumlah pengeluaran, maka kenaikan harga komoditas akan menyebabkab
bertambahnya penduduk miskin. Ini berarti pula pemberlakuan ASEAN Community
berpotensi meningkatkan tingkat kemiskinan di Indonesia.
Demikian pula untuk komoditas
lain seperti rumput laut. Jika Malaysia atau Thailand memborong rumput laut
yang belum diolah dari Indonesia dengan harga lokal tanpa bea masuk dan kendala
tariff lainnya, kemudia membawa ke negaranya untuk diolah menjadi produk-produk
dengan nilai tambah lebih, maka yang akan mendapat keuntungan adalah mereka,
sementara petani rumput laut hanya mendapat margin
keuntungan minimal. Sekali lagi, masyarakat dan pelaku ekonomi dalam negeri
tidak akan mampu meraih manfaat dari sistem pasar tunggal ASEAN.
Dengan
demikian, “bahaya” yang sesungguhnya dari ASEAN
Community adalah tiadanya batas-batas administratif maupun kedaulatan negara
ASEAN, sehingga “wilayah ekonomi” Singapura, Malaysia, dan Thailand juga meliputi
wilayah Indonesia, sementara “wilayah ekonomi” Indonesia mungkin saja tidak
pernah melebar dari wilayah spasial Indonesia.
Jika ilustrasi-ilustrasi diatas
benar terjadi, maka jelas sekali bahwa ASEAN Community hanya memberi dampak
buruk untuk bangsa kita. Dan jika ini yang terjadi, tidak berlebihan untuk
mengatakan bahwa Indonesia telah kalah dalam perang kebijakan, bahkan jauh hari
sebelum perang itu dimulai. Mestinya, sejak muncul ide awal tentang masyarakat
ASEAN ini, para tokoh politik, intelektual, dan pejabat pemerintahan sudah
mampu menghitung kekuatan diri dan menakar kekuatan “lawan”, untuk kemudian
menentukan “jurus-jurus maut” (baca:
kebijakan publik yang unggul) guna menaklukkan para “musuh” dan menempatkan
mereka dibawah hegemoni kita.
Namun bisa saja kekhawatiran
diatas tidak terbukti. Yang pasti, “prediksi” diatas tidak dimaksudkan sebagai
bentuk pesimisme memasuki era ASEAN Community, melainkan sebagai early warning system agar semua kalangan
di negeri ini lebih berhari-hati sehingga dapat mengambil kebijakan dan langkah
yang lebih jitu untuk self positioning
ditengah konstelasi ekonomi politik dan geo politik Asia Tenggara tahun 2015
mendatang.
Dari
kamar B-315
Kampus
Pejompongan, 6 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar