Selasa, 07 Mei 2013

ASEAN Community: Wujud Kekalahan Indonesia Dalam Perang Kebijakan?


Minggu, 5 Mei 2013 kemaren, kami berangkat menuju lokasi OL (observasi lapangan). Saya mendapat bagian ke Batam untuk mengkaji soal ASEAN Economic Community. Sore kami tiba di hotel Novotel, hanya beristirahat sejenak, malamnya kami langsung berdiskusi untuk membahas persiapan hari ini. Dalam diskusi inilah muncul pertanyaan dalam hati sekaligus rasa penasaran saya, apakah mungkin ASEAN Community ini merupakan wujud kekalahan Indonesia dalam perang kebijakan global? (catatan: untuk memahami apa makna “perang kebijakan”, silakan baca kembali Jurnal #26 tentang Perang Kebijakan, Korporatokrasi, dan Krisis Negara Kesejahteraan). 

Rasa curiosity saya ini bersumber pada prinsip-prinsip yang biasa berlaku dalam zona perdagangan bebas. Salah satu prinsip perdagangan bebas adalah reciprocity (timbal balik). Ilustrasinya, dalam skema pasar tunggal tadi, Singapore Airlines boleh masuk ke bandara manapun di Indonesia, dan sebaliknya maskapai penerbangan Indonesia juga boleh masuk ke Changi Airport. Permasalahannya, kapasitas SQ untuk beroperasi dan menciptakan jalur-jalur baru di Indonesia dan menghubungkannya dengan Changi jauh lebih besar dibanding kapasitas maskapai domestik untuk melakukan hal yang sama. Dalam kasus lain, perdagangan bebas juga memungkinkan akuntan publik, dokter, atau pengacara Singapura, Malaysia, atau Thailand masuk ke Indonesia. Meskipun akuntan publik, dokter, atau pengacara Indonesia juga boleh masuk ke negara tetangga, namun tingkat penguasaan teknologi, kemampuan berbahasa asing, dan tingkat profesionalismenya jauh dibanding kolega mereka dari negara lain. 

Prinsip lain dalam perdagangan bebas adalah non discrimination, yang menghendaki dihapuskannya hambatan tariff maupun non tariff (tariff and non-tariff barriers). Sebagai contoh, harga gas harus sama tanpa membedakan asal negara pembelinya. Artinya, jika harga gas di Indonesia lebih murah dari pada di Singapura, maka pihak Singapura boleh membeli gas di Indonesia dalam volume berapapun dengan harga sama di Indonesia. Ini akan “mengancam” terpenuhinya kebutuhan dalam negeri jika stok yang ada terbatas dan “diborong” Singapura. Kemungkinan lain, jika harga pasar harus sama sementara pasarnya adalah pasar ASEAN, maka harga di seluruh negara ASEAN menjadi sama. Implikasinya, ada kemungkinan harga gas di Indonesia akan melonjak mengikuti harga pasar, karena selama ini harga gas di dalam negeri masih disubsidi oleh pemerintah. Dengan kata lain, pasar tunggal ASEAN mensyaratkan pencabutan subsidi komoditas tertentu, dan ini akan berdampak buruk bagi masyarakat yang masih hidup dibawa garis kemiskinan. Dilihat dari indikator jumlah pengeluaran, maka kenaikan harga komoditas akan menyebabkab bertambahnya penduduk miskin. Ini berarti pula pemberlakuan ASEAN Community berpotensi meningkatkan tingkat kemiskinan di Indonesia. 

Demikian pula untuk komoditas lain seperti rumput laut. Jika Malaysia atau Thailand memborong rumput laut yang belum diolah dari Indonesia dengan harga lokal tanpa bea masuk dan kendala tariff lainnya, kemudia membawa ke negaranya untuk diolah menjadi produk-produk dengan nilai tambah lebih, maka yang akan mendapat keuntungan adalah mereka, sementara petani rumput laut hanya mendapat margin keuntungan minimal. Sekali lagi, masyarakat dan pelaku ekonomi dalam negeri tidak akan mampu meraih manfaat dari sistem pasar tunggal ASEAN.  

Dengan demikian, “bahaya” yang sesungguhnya dari ASEAN Community adalah tiadanya batas-batas administratif maupun kedaulatan negara ASEAN, sehingga “wilayah ekonomi” Singapura, Malaysia, dan Thailand juga meliputi wilayah Indonesia, sementara “wilayah ekonomi” Indonesia mungkin saja tidak pernah melebar dari wilayah spasial Indonesia. 

Jika ilustrasi-ilustrasi diatas benar terjadi, maka jelas sekali bahwa ASEAN Community hanya memberi dampak buruk untuk bangsa kita. Dan jika ini yang terjadi, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa Indonesia telah kalah dalam perang kebijakan, bahkan jauh hari sebelum perang itu dimulai. Mestinya, sejak muncul ide awal tentang masyarakat ASEAN ini, para tokoh politik, intelektual, dan pejabat pemerintahan sudah mampu menghitung kekuatan diri dan menakar kekuatan “lawan”, untuk kemudian menentukan “jurus-jurus maut” (baca: kebijakan publik yang unggul) guna menaklukkan para “musuh” dan menempatkan mereka dibawah hegemoni kita. 

Namun bisa saja kekhawatiran diatas tidak terbukti. Yang pasti, “prediksi” diatas tidak dimaksudkan sebagai bentuk pesimisme memasuki era ASEAN Community, melainkan sebagai early warning system agar semua kalangan di negeri ini lebih berhari-hati sehingga dapat mengambil kebijakan dan langkah yang lebih jitu untuk self positioning ditengah konstelasi ekonomi politik dan geo politik Asia Tenggara tahun 2015 mendatang. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 6 Mei 2013

Tidak ada komentar: