Pada
pembacaan jurnal hari ini, banyak sekali kekecewaan teman-teman terhadap
pelaksanaan Observasi Lapangan (OL) dan Simulasi. Kekecewaam terhadap OL
bersumber dari beberapa hal, misalnya alasan pemilihan daerah lokus, waktu yang
terlalu singkat, serta “larangan” untuk menyeberang ke luar negeri (Kuching,
Malaysia untuk kelompok 1 dan Singapura untuk kelompok 2). Sedangkan kekecewaan
terhadap simulasi disebabkan oleh persiapan yang kurang matang, pemilihan peran
yang kurang tepat, penunjukan pemeran yang mendadak, dan ketidakjelasan tujuan
simulasi.
Kekecewaan
teman-teman sangat beralasan. Saya sendiri melihat bahwa dalam penyelenggaraan
Diklatpim 1 ini banyak hal yang kurang direncanakan secara baik, rinci, dan
matang, termasuk soal OL dan Simulasi tersebut. Untuk OL misalnya, idealnya
tema diklat sudah dirancang jauh hari sebelum pembukaan diklat, dan dari tema
ini kemudian bisa ditentukan pula lokasi OL yang paling tepat, sehingga OL
bukan hanya sekedar program untuk menyerap DIPA dan menjadi kegiatan yang
mubah, bahkan cenderung makruh. Selain itu penyelenggara harus memiliki konsep
yang kuat apa dasar filosofis dan akademis dari OL ini, dan apa bedanya Diklat
dengan OL dan tanpa OL? Jika tidak ada bedanya, maka sama artinya OL hanya
sebuah kesia-siaan karena “membuang” biaya, tenaga, dan waktu yang cukup besar
tanpa menghasilkan sesuatu yang signifikan.
Sayangnya,
baik penyelenggara maupun Widyiswara sering terlihat belum memiliki pemahaman
yang utuh tentang hakekat OL, dan terkesan masih mencari bentuk OL yang
terbaik. Sebagai contoh, pertanyaan: “jika KKA adalah kertas kerja berskala
nasional, apakah data daerah bisa mencerminkan kondisi nasional?” selalu muncul
di setiap angkatan. Selain itu, agenda OL sering didesain dengan sangat
mendadak, sementara aspek substansi yang ingin digalipun relatif lemah. Dengan
situasi seperti ini, saya merasakan bahwa OL dan laporan hasil analisisnya
kurang mampu menelorkan rekomendasi dan gagasan brilian, cerdas, dan orisinal
dalam rangka menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Paparan hasil OL dari
banyak kelompok dalam berbagai jenis dan jenjang diklat tidak jarang hanya
bersifat superficial belaka, dan
hampir tidak pernah disampaikan secara langsung kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.
Sangat
boleh jadi, penyelenggara perlu untuk memperjuangkan agar OL dilakukan di luar
negeri sebagaimana pada penyelenggaraan Spati (Sekolah Pimpinan Administrasi
tingkat Tinggi, model diklat aparatur sebelum berubah menjadi Diklatpim Tingkat
1). Hal ini terkait dengan standar kompetensi yang harus dikuasai oleh pejabat
Eselon I, yakni memiliki wawasan global, mampu berpikir visioner, dan sanggup
untuk menjadi pemimpin perubahan. Dengan kompetensi yang sudah sangat makro,
memang pemilihan lokus Diklatpim 1 di tingkat daerah (terutama kabupaten/kota)
terasa sangat kecil dan sempit. Meskipun saya bisa menjelaskan kepada
teman-teman bahwa itu adalah manifestasi dari ungkapan small is beautiful atau think
globally, act locally, tetap saja saya melihat urgensi peserta Diklatpim 1
untuk melihat secara langsung kondisi negara lain, terutama pada aspek
manajemen pemerintahan tertentu yang menjadi concern peserta. Sepanjang pengetahuan saya, tidak selalu pejabat Eselon
II sering bertugas ke luar negeri. Bahkan untuk pegawai LAN seperti saya, tugas
ke luar negeri diluar tugas belajar dan mencari peluang secara mandiri untuk
mengikuti seminar atau konferensi, sangatlah jarang dan menjadi kemewahan
tersendiri. Dari kunjungan itu, diharapkan peserta dapat mencari dan menemukan lesson learned, best practice, benchmark, dan
inovasi-inovasi yang berkembang, untuk selanjutnya dipikirkan probabilitasnya
untuk direplikasi atau diadopsi di Indonesia.
Senada
dengan OL, Simulasi-pun harus didasarkan pada argumentasi filosofis akademis
yang jelas dan kuat. Kompetensi apa yang ingin dibangun dengan simulasi ini,
dan apa manfaat yang ingin dihasilkan? Dari dua kali pelaksanaan simulasi, meskipun
meriah namun secara konseptual aktivitas ini terasa hambar karena tidak ada
pemahaman dan kesadaran baru yang muncul dari kegiatan role play ini.
Agar
lebih menggigit, perlu dilakukan redesain terhadap rancangan kegiatan simulasi
ini. Beberapa hal yang bisa saya sarankan adalah sebagai berikut. Pertama, simulasi sebaiknya tidak
dilakukan di dalam kelas, namun cukup dalam kelompok. Dengan simulasi yang
melibatkan banyak orang seperti yang kami alami, maka yang terjadi hanya
penggiliran kesempatan bicara untuk 30 orang, tanpa debat yang alot, tanpa
analisis terhadap opsi-opsi atau pemikiran yang diajukan peserta, dan tanpa
fokus yang jelas. Diskusi menjadi melebar kemana-mana, sangat sulit dan bahkan
mustahil untuk disimpulkan. Sebaliknya jika simulasi terjadi di tim kecil, maka
waktu yang tersedia bisa dioptimalkan, dan interaksi antar peserta bisa terjadi
lebih intens dan alamiah, dalam arti tidak mengada-ada dan tidak asal bicara. Kedua, simulasi sebaiknya didukung
dengan kasus yang kompleks. Dalam hal ini, diskusi kasus pada setiap Kajian
Diklatpim I dapat dikombinasikan dengan Simulasi, sehingga simulasi tidak
bersifat imajiner melainkan membumi dan kontekstual dengan situasi dunia yang
sebenarnya (real world). Ketiga, simulasi sebaiknya tidak
dilakukan secara instan. Paling tidak 2-3 hari sebelumnya, peserta sudah harus
mengetahui perannya, dan sudah membaca rincian kasus yang akan disimulasikan,
sehingga peserta memiliki tenggang waktu yang lebih luas untuk mempelajari
lebih dalam karakter dan tugas/fungsi jabatan yang diperankan, serta mencari
data-data pendukung yang relevan. Dengan mekanisme seperti ini, saya
membayangkan simulasi bisa mencerminkan dinamika di permanent system. Dan setelah selesai melakukan simulasi,
seyogyanya dilakukan refleksi tentang mengapa di permanent system sebuah perubahan begitu sulit dilakukan, mengapa
pejabat begitu angkuh untuk mendobrak rintangan koordinasi lintas lembaga,
mengapa kebijakan sering terlambat dan tidak bisa mengantisipasi tuntutan
publik, dan sebagainya.
Terlepas
dari berbagai kekurangan yang ada, sebenarnya saya dapat memaklumi adanya
kekurangan tersebut. Usulan tentang lokus OL apakah di dalam atau luar negeri,
sangat berkaitan dengan pagu anggaran LAN yang diterima dari Kementerian
Keuangan setiap tahunnya. Persepsi pejabat Kemkeu tentang tingkat kepentingan
OL di luar negeri seringkali jauh lebih menentukan dibanding proposal dari LAN
dengan seabreg argumentasinya. Beban pekerjaan penyelenggara yang teramat
tinggi juga menjadi kendala serius hingga mereka seringkali tidak sanggup
mengawal setiap agenda pada level yang idealnya. Belum lagi faktor sulitnya
mendesain kasus. Dalam hal ini, para Widyaiswara sebaiknya dikumpulkan pada
sebuah workshop untuk diberi
keterampilan menyusun kasus-kasus yang akan diangkat sebagai materi diskusi kelompok
maupun simulasi.
Namun,
dengan kesadaran adanya kelemahan ini, akan mempermudah upaya untuk melakukan
perbaikan. Berbagai kendala bukanlah alasan untuk membenarkan rendahnya kinerja
diklat, sehingga continuous improvement harus
tetap menjadi spirit terbesar bagi pengelola diklat. “Tiada hari tanpa
perbaikan”, itulah semboyan bagi seluruh penyelenggara diklat yang harus
ditaati selamanya.
Dari
kamar B-315
Kampus
Pejompongan, 29 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar