Rabu, 01 Mei 2013

Antara OL dan Simulasi


Pada pembacaan jurnal hari ini, banyak sekali kekecewaan teman-teman terhadap pelaksanaan Observasi Lapangan (OL) dan Simulasi. Kekecewaam terhadap OL bersumber dari beberapa hal, misalnya alasan pemilihan daerah lokus, waktu yang terlalu singkat, serta “larangan” untuk menyeberang ke luar negeri (Kuching, Malaysia untuk kelompok 1 dan Singapura untuk kelompok 2). Sedangkan kekecewaan terhadap simulasi disebabkan oleh persiapan yang kurang matang, pemilihan peran yang kurang tepat, penunjukan pemeran yang mendadak, dan ketidakjelasan tujuan simulasi. 

Kekecewaan teman-teman sangat beralasan. Saya sendiri melihat bahwa dalam penyelenggaraan Diklatpim 1 ini banyak hal yang kurang direncanakan secara baik, rinci, dan matang, termasuk soal OL dan Simulasi tersebut. Untuk OL misalnya, idealnya tema diklat sudah dirancang jauh hari sebelum pembukaan diklat, dan dari tema ini kemudian bisa ditentukan pula lokasi OL yang paling tepat, sehingga OL bukan hanya sekedar program untuk menyerap DIPA dan menjadi kegiatan yang mubah, bahkan cenderung makruh. Selain itu penyelenggara harus memiliki konsep yang kuat apa dasar filosofis dan akademis dari OL ini, dan apa bedanya Diklat dengan OL dan tanpa OL? Jika tidak ada bedanya, maka sama artinya OL hanya sebuah kesia-siaan karena “membuang” biaya, tenaga, dan waktu yang cukup besar tanpa menghasilkan sesuatu yang signifikan.  

Sayangnya, baik penyelenggara maupun Widyiswara sering terlihat belum memiliki pemahaman yang utuh tentang hakekat OL, dan terkesan masih mencari bentuk OL yang terbaik. Sebagai contoh, pertanyaan: “jika KKA adalah kertas kerja berskala nasional, apakah data daerah bisa mencerminkan kondisi nasional?” selalu muncul di setiap angkatan. Selain itu, agenda OL sering didesain dengan sangat mendadak, sementara aspek substansi yang ingin digalipun relatif lemah. Dengan situasi seperti ini, saya merasakan bahwa OL dan laporan hasil analisisnya kurang mampu menelorkan rekomendasi dan gagasan brilian, cerdas, dan orisinal dalam rangka menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Paparan hasil OL dari banyak kelompok dalam berbagai jenis dan jenjang diklat tidak jarang hanya bersifat superficial belaka, dan hampir tidak pernah disampaikan secara langsung kepada pihak-pihak yang berkepentingan.  

Sangat boleh jadi, penyelenggara perlu untuk memperjuangkan agar OL dilakukan di luar negeri sebagaimana pada penyelenggaraan Spati (Sekolah Pimpinan Administrasi tingkat Tinggi, model diklat aparatur sebelum berubah menjadi Diklatpim Tingkat 1). Hal ini terkait dengan standar kompetensi yang harus dikuasai oleh pejabat Eselon I, yakni memiliki wawasan global, mampu berpikir visioner, dan sanggup untuk menjadi pemimpin perubahan. Dengan kompetensi yang sudah sangat makro, memang pemilihan lokus Diklatpim 1 di tingkat daerah (terutama kabupaten/kota) terasa sangat kecil dan sempit. Meskipun saya bisa menjelaskan kepada teman-teman bahwa itu adalah manifestasi dari ungkapan small is beautiful atau think globally, act locally, tetap saja saya melihat urgensi peserta Diklatpim 1 untuk melihat secara langsung kondisi negara lain, terutama pada aspek manajemen pemerintahan tertentu yang menjadi concern peserta. Sepanjang pengetahuan saya, tidak selalu pejabat Eselon II sering bertugas ke luar negeri. Bahkan untuk pegawai LAN seperti saya, tugas ke luar negeri diluar tugas belajar dan mencari peluang secara mandiri untuk mengikuti seminar atau konferensi, sangatlah jarang dan menjadi kemewahan tersendiri. Dari kunjungan itu, diharapkan peserta dapat mencari dan menemukan lesson learned, best practice, benchmark, dan inovasi-inovasi yang berkembang, untuk selanjutnya dipikirkan probabilitasnya untuk direplikasi atau diadopsi di Indonesia.  

Senada dengan OL, Simulasi-pun harus didasarkan pada argumentasi filosofis akademis yang jelas dan kuat. Kompetensi apa yang ingin dibangun dengan simulasi ini, dan apa manfaat yang ingin dihasilkan? Dari dua kali pelaksanaan simulasi, meskipun meriah namun secara konseptual aktivitas ini terasa hambar karena tidak ada pemahaman dan kesadaran baru yang muncul dari kegiatan role play ini.  

Agar lebih menggigit, perlu dilakukan redesain terhadap rancangan kegiatan simulasi ini. Beberapa hal yang bisa saya sarankan adalah sebagai berikut. Pertama, simulasi sebaiknya tidak dilakukan di dalam kelas, namun cukup dalam kelompok. Dengan simulasi yang melibatkan banyak orang seperti yang kami alami, maka yang terjadi hanya penggiliran kesempatan bicara untuk 30 orang, tanpa debat yang alot, tanpa analisis terhadap opsi-opsi atau pemikiran yang diajukan peserta, dan tanpa fokus yang jelas. Diskusi menjadi melebar kemana-mana, sangat sulit dan bahkan mustahil untuk disimpulkan. Sebaliknya jika simulasi terjadi di tim kecil, maka waktu yang tersedia bisa dioptimalkan, dan interaksi antar peserta bisa terjadi lebih intens dan alamiah, dalam arti tidak mengada-ada dan tidak asal bicara. Kedua, simulasi sebaiknya didukung dengan kasus yang kompleks. Dalam hal ini, diskusi kasus pada setiap Kajian Diklatpim I dapat dikombinasikan dengan Simulasi, sehingga simulasi tidak bersifat imajiner melainkan membumi dan kontekstual dengan situasi dunia yang sebenarnya (real world). Ketiga, simulasi sebaiknya tidak dilakukan secara instan. Paling tidak 2-3 hari sebelumnya, peserta sudah harus mengetahui perannya, dan sudah membaca rincian kasus yang akan disimulasikan, sehingga peserta memiliki tenggang waktu yang lebih luas untuk mempelajari lebih dalam karakter dan tugas/fungsi jabatan yang diperankan, serta mencari data-data pendukung yang relevan. Dengan mekanisme seperti ini, saya membayangkan simulasi bisa mencerminkan dinamika di permanent system. Dan setelah selesai melakukan simulasi, seyogyanya dilakukan refleksi tentang mengapa di permanent system sebuah perubahan begitu sulit dilakukan, mengapa pejabat begitu angkuh untuk mendobrak rintangan koordinasi lintas lembaga, mengapa kebijakan sering terlambat dan tidak bisa mengantisipasi tuntutan publik, dan sebagainya. 

Terlepas dari berbagai kekurangan yang ada, sebenarnya saya dapat memaklumi adanya kekurangan tersebut. Usulan tentang lokus OL apakah di dalam atau luar negeri, sangat berkaitan dengan pagu anggaran LAN yang diterima dari Kementerian Keuangan setiap tahunnya. Persepsi pejabat Kemkeu tentang tingkat kepentingan OL di luar negeri seringkali jauh lebih menentukan dibanding proposal dari LAN dengan seabreg argumentasinya. Beban pekerjaan penyelenggara yang teramat tinggi juga menjadi kendala serius hingga mereka seringkali tidak sanggup mengawal setiap agenda pada level yang idealnya. Belum lagi faktor sulitnya mendesain kasus. Dalam hal ini, para Widyaiswara sebaiknya dikumpulkan pada sebuah workshop untuk diberi keterampilan menyusun kasus-kasus yang akan diangkat sebagai materi diskusi kelompok maupun simulasi. 

Namun, dengan kesadaran adanya kelemahan ini, akan mempermudah upaya untuk melakukan perbaikan. Berbagai kendala bukanlah alasan untuk membenarkan rendahnya kinerja diklat, sehingga continuous improvement harus tetap menjadi spirit terbesar bagi pengelola diklat. “Tiada hari tanpa perbaikan”, itulah semboyan bagi seluruh penyelenggara diklat yang harus ditaati selamanya. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 29 April  2013

Tidak ada komentar: