Menulis jurnal harian selama
Diklatpim I itu gampang-gampang susah. Gampang, karena kita bisa menulis apapun
yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan kediklatan, bisa menulis
tentang ide-ide besar hingga perasaan sentimental, bisa menulis fakta atau
fiksi, juga bisa menulis tentang siapapun dengan gaya tulisan apapun. Namun,
menulis juga susah, karena menulis itu butuh inspirasi. Tanpa inspirasi,
penulis sekaliber Gunawan Mohammad sekalipun akan kesulitan merangkai kata-kata
penuh makna. Nah, ketika kita sedang blank
alias tidak punya ide apapun yang akan ditulis sementara kita dibatasi deadline harus menyetor satu catatan
harian, kita tidak bisa menunggu sang ide untuk datang. Kita harus menjemput,
mencari, bahkan kalau perlu mengais-ngais di setiap sudut dan di sepanjang
jalanan kompleks asrama. Ini pula yang saya lakukan. Begitu kehabisan ide, maka
saya “turba” (dalam arti denotatif benar-benar turun ke bawah dari lantai 3
asrama) untuk menemukan ide yang tak kunjung datang. Tapi lucunya, saya baru
bisa meralisasikan eksplorasi saya pada saat keberangkatan dan selama observasi
lapangan.
Sasaran saya adalah ingin
menggali apakah motif dari teman-teman yang rajin jogging setiap hari. Hal ini saya anggap penting untuk saya explore karena saya sangat tidak
tertarik untuk melakukannya. Sehabis shalat Subuh berjamaah yang dilanjutkan
dengan kultum (kuliah tujuh menit), saya jauh lebih memilih untuk membuat
jurnal harian dari pada capek dan keringatan jalan-jalan. Toh selama ini saya merasa sehat, dan
beberapa kali general checkup juga
menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Hasil eksplorasi saya cukup
mengejutkan. Ternyata teman-teman melakukan olahraga ringan di pagi hari bukan
sekedar melatih otot agar lebih kuat dan mampu menghasilkan reflex secara lebih
cepat. Mereka melakukan itu juga untuk memperkuat pikiran atau melatih
konsentrasi, karena mereka menghitung berapa putaran yang telah diselesaikan,
dan setiap putaran bisa menghasilkan berapa ratus dzikir. Mereka juga melatih
perasaan karena dalam setiap gerakan dilakukan dengan perasaan bahagia. Dan
yang paling mengejutkan, dalam setiap langkahnya,mereka sertai dengan
dzikrullah. Saking khusyuknya
berdzikir, mereka mengaku kadang lupa bahwa mereka sedang berjalan. Kaki-kaki
mereka telah berjalan seolah tanpa perintah dari pusat kendali manusia, yakni
otak. Baik fisik, hati, pikiran, dan jiwa mereka sudah menyatu kedalam
kalimat-kalimat dzikir yang mereka lantunkan seiring dengan langkah yang mereka
ayunkan. Itulah sebabnya, saya memberi istilah “senam 4 dimensi” untuk aksi
kecil mereka di pagi hari.
Dari temuan hasil eksplorasi saya
ini, kemudian memberi dua inspirasi kepada saya. Pertama, saya ingin mengikuti langkah mereka untuk “senam religi”
di hari-hari terakhir Diklatpim I. ketidaktertarikan saya terhadap senam fisik
tetap tidak berubah, namun saya ingin mencoba melakukan senam religi tadi.
Intinya adalah beribadah, namun kemasannya saja yang berbeda. Jika selama ini
ibadah dilakukan dengan memperbanyak shalat sunah atau dzikir secara bersila
seperti orang sedang bermeditasi, sekarang dilakukan dengan gerak yang lebih
dinamis dan secara berpindah-pindah sesuai track
yang kita inginkan sendiri. Inilah “meditasi” gaya baru yang sangat
menantang untuk dicoba dan ditradisikan. Kedua,
apapun yang kita lakukan, sejak pergi ke kantor hingga pulang ke rumah, sejak
bangun pagi hingga terlelap di malam hari, bisa terjadi dalam satu dimensi atau
dalam empat dimensi sekaligus. Semuanya tergantung kepada diri kita sendiri,
apakah kita cukup puas hanya hidup dalam satu dimensi saja, ataukah kita ingin
memberi nilai tambah terhadap segala aktivitas kita, kapanpun dan dimanapun.
Menulis jurnal inipun
sesungguhnya juga mengandung empat dimensi, ketika kita mengeluarkan tenaga/energi
untuk menghasilkan tulisan, melakukan olah pikiran, menikmati dan terdorong
untuk terus menulis, serta menjadikan aktivitas menulis sebagai bagian dari
menunaikan perintah agama untuk menuntut ilmu. Maka, merugilah peserta diklat
yang hanya menghasilkan catatan harian sebagai olah fisik belaka tanpa landasan
intelektual, emosional, dan spiritual.
Dari
kamar B-315
Kampus
Pejompongan, 8 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar