Di dua minggu terakhir Diklatpim
I yang tidak lagi ada keharusan menulis jurnal harian, saya mencoba untuk tetap
menulisnya, terutama untuk mengangkat issu-issu yang cukup penting namun
terlewat karena terkalahkan oleh agenda lain yang lebih penting. Sama seperti
catatan saya sebelumnya (#36 Kasus), jurnal yang saya tulis kali inipun juga
upaya me-recall kembali pengalaman
yang telah lewat pada kajian pertama hingga ketiga. Kali ini saya ingin bicara
soal Pembulatan.
Pembulatan adalah elemen terakhir
dari sebuah tahap yang disebut dengan kajian. Dari namanya saja kita bisa
menebak bahwa pembulatan dimaksudkan untuk merangkum dan mencari keterhubungan
antara satu elemen dengan elemen lainnya, sehingga diperoleh pemahaman yang
utuh dan tepat terhadap seluruh agenda pembelajaran. Dengan pembulatan, yang
masih bengkok dapat diluruskan, kesalahan tafsir dapat diperbaiki, dan kekurangan
pemahaman dapat ditutupi.
Namun faktanya, pembulatan justru
sering memunculkan konsep baru, pemahaman baru, dan bahkan kebingungan baru. Hal
ini bermula dari ketiadaan panduan yang jelas tentang makna pembulatan,
cara/teknik melakukan pembulatan, dimensi substansial yang dibulatkan, serta output dan format pembulatan. Sebagaimana
pada penulisan “analisis kasus”, widyaiswara-pun memiliki pandangan yang
berbeda tentang pembulatan, sehingga materi paparan kelompok berbeda-beda meski
elemen yang dipelajari sejak awal hingga akhir sama. Selain itu, muncul juga “protes”
dari salah seorang peserta yang menyatakan bahwa pembulatan tidak sama dengan “kasus”.
Jika dalam pembulatan hanya bicara satu issu spesifik dan dengan tool of analysis yang spesifik pula, apa
bedanya dengan analisis kasus?
Bagi saya, pembulatan hakikatnya adalah
upaya untuk mengevaluasi apakah seluruh rangkaian materi yang diberikan dapat
dipahami oleh peserta. Dalam melakukan evaluasi ini, penyelenggara dan/atau
widyaiswara mencari umpan balik (feedback)
dari peserta, antara lain melalui kuis yang terstruktur, menanyakan issu-issu
utama secara acak (random), atau
dengan diskusi interaktif antara peserta dengan penyelenggara/widyaiswara. Selain
melakukan evaluasi, penyelenggara/widyaiswara juga dapat meggali sejauhmana
peserta memiliki rencana untuk menerapkan ilmu yang telah diperoleh kedalam
praktek kepemimpinan dan organisasional di instansinya. Dengan demikian,
pembulatan sesungguhnya bukan aktivitas sepihak peserta, namun lebih merupakan aktivitas
segi tiga (triangle activity) antara
peserta, widyaiswara, dan penyelenggara. Tercapainya tujuan instruksional
diklat bukan hanya urusan dan kebutuhan peserta semata, namun juga menyangkut kepentingan
penyelenggara.
Sehubungan
dengan hal tersebut, agar pembulatan benar-benar bisa “kunci” terakhir dalam
memahami ilmu secara benar, beberapa prakondisi berikut ini sangat mungkin
harus dipenuhi. Pertama, harus
tersedia kerangka pikir logis (logical framework)
tentang diklat secara keseluruhan. Konsep besar ini singkatnya berisi alasan
mengapa diklat diperlukan, dan apa yang akan terjadi jika diklat tersebut tidak
dilakukan. Selanjutnya, pada level messo diperlukan
pula framework yang menjadi dasar
mengapa sekelompok materi pembelajaran diberikan pada kajian tertentu, dan bagaimana
berbagai materi tersebut secara bersama-sama dapat membangun kompetensi yang
diharapkan. Kemudian pada level mikro-pun
harus ada framework mengapa sebuah
materi/mata diklat/agenda diberikan dan seperti apa posisinya terhadap rancang
bangun program diklat secara holistik?
Kedua, ketiga framework tadi harus dikomunikasikan
sejak awal diklat dan dipahami secara sama oleh peserta, widyaiswara, dan
penyelenggara. Tanpa adanya kesamaan dalam memahami kerangka pikir ini, maka
pembulatan tidak akan pernah terwujud, dan selalu menjadi bangun persegi yang
asimetris.
Dari
kamar B-315
Kampus
Pejompongan, 13 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar