Di awal penyelenggaraan Diklatpim
I, khususnya pada saat pengarahan program, saya menyampaikan usulan agar proses
pembelajaran selama Diklatpim I dapat didokumentasikan secara
digital/elektronik, dan disimpan di Arsip Nasional. Dasar pemikiran saya adalah
bahwa dari 30 peserta yang ada, dapat dipastikan diantaranya akan menduduki
posisi-posisi strategis di berbagai Kementerian/Lembaga dan instansi lainnya.
Apapun yang terjadi di sepanjang proses pembelajaran, saya yakini memiliki
nilai historis yang cukup tinggi. Pemikiran-pemikiran individual, kesepakatan
dalam kelompok, pro dan kontra dalam memandang sebuah situasi, jurnal-jurnal
yang dibacakan secara harian, dan sebagainya, sangat boleh jadi adalah
mutiara-mutiara yang dibutuhkan generasi mendatang.
Bagi generasi era 2050 atau
sesudahnya, tentu keberadaan kami adalah para pendahulu yang dianggap
berkontribusi atas baik buruknya situasi negara pada tahun 2050-an tersebut.
Dengan demikian, baik buruknya masa depan akan sangat ditentukan oleh cara
berpikir para pelaku kebijakan di era sekarang. Sebagaimana bunyi salah satu
hukum dalam learning organization,
masalah saat ini datang dari keputusan masa silam (today’s problem comes from yesterday’s solution or decision). Ini
sama artinya, masalah pada masa depan adalah hasil dari solusi atau keputusan
hari ini.
Nah, jika dinamika para pejabat
tidak direkam, akan terjadi keterputusan informasi, mengapa sebuah keputusan
lahir dan bagaimana prosesnya dijalankan, siapa yang bertanggungjawab terhadap
kebijakan tersebut, adakah vested
interest dalam perumusan kebijakan tersebut, dan sebagainya. Tanpa adanya
dokumentasi, sangat sulit bagi generasi mendatang untuk memahami dan melacak
masa silam.
Intinya, apapun yang terjadi
selama Diklatpim I, adalah sebuah rangkaian mengukir sejarah. Maka, kesadaran
tentang nilai historis (historical sense
and awareness) dari program diklat ini harus dimiliki oleh penyelenggara.
Dengan kesadaran ini, penyelenggara akan melakukan segala upaya untuk
menempatkan diklatpim kedalam simpul-simpul sejarah pembangunan aparatur. Tanpa
adanya kesadaran historis ini, maka diklatpim jenjang apapun dan berapapun
angkatan yang dilakukan, hanya berhenti sebagai proyek yang tidak bermakna
apa-apa, bahkan hanya menjadi by product
dari sistem administrasi negara. Disisi lain, peserta secara individual juga
harus memiliki kesadaran sejarah bahwa dirinya adalah pelaku sejarah. Apalagi
jika seseorang ingin menulis biografi, maka setiap aktivitas dalam diklat dan
interaksi antar peserta rasanya sangat layak untuk dituangkan dalam biokrafi
tersebut.
Sekilas memang tidak ada yang
istimewa dengan aktivitas peserta selama Diklatpim I, Namun seiring dengan
berlalunya waktu, sesuatu yang biasa-biasa saja bisa berubah menjadi luar
biasa. Bayangkan pada masa lalu ketika Jepang menyerah kepada Sekutu, yang
disusul oleh hasrat yang menggebu-gebu dari kalangan pemuda agar Soekarno
segera mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Pada waktu itu, para pemuda yang
terlibat pastilah tidak berpikir bahwa apa yang dilakukan adalah sebuah sejarah
besar negeri ini. Sayangnya, negeri ini tidak punya dokumentasi siapa saja para
pemuda itu selengkapnya dan peran apa saja yang mereka jalankan, apa yang telah
mereka lakukan dan ungkapkan, faktor apa yang menginspirasi mereka sehingga
memiliki keinginan merdeka begitu kuat, rumah-rumah siapa saja yang pernah
mereka gunakan untuk menggelar rapat atau merencanakan aksi, bagaimana rencana
detil dari gerakan mereka, dan sebagainya. Karena tidak ada dokumentasi tadi,
maka terjadilah “keterputusan sejarah” seperti saya katakan diatas. Ini hanyalah
satu contoh kecil, tentu saja masih banyak contoh-contoh lain yang lebih besar
yang bisa diangkat.
Belajar dari sejarah masa lalu,
maka mestinya kita yang hidup masa kini tidak lagi mengulang kesalahan yang
sama. Keterputusan sejarah masa silam dapat dipahami karena masih terbatasnya
teknologi komunikasi dan informatika, namun jika hal itu terjadi pada masa kini
rasanya hanya menunjukkan kebodohan kita. Apalagi, merekam persitiwa pada masa
sekarang tidak membutuhkan tumpukan kertas yang jika ditumpuk bisa setinggi
gedung bertingkat 10, namun cukup disimpan dalam sekeping CD. Pada saat yang
bersamaan, ANRI siap untuk memfasilitasi penyimpanan dokumen penyelenggaraan
Diklatpim I dalam folder/depo/group series khusus.
Jadi, yang harus dilakukan LAN
(cq. Pusdiklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan) hanyalah menjalin kerjasama dengan
ANRI dan menyiapkan memorandum of understanding
berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Semoga saja, apa yang saya
pandang sebagai nilai strategis dan nilai historis dari program Diklatpim I ini
sama seperti pandangan pimpinan LAN atau pandangan para peserta dan alumni
Diklatpim I, sehingga ide saya untuk mendokumentasikan setiap dinamika pada
Diklatpim di ANRI mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Dari
kamar B-315
Kampus
Pejompongan, 4 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar