Rabu, 01 Mei 2013

Meneladani yang Tua


Mendengarkan ceramah Prof. Emil Salim kemaren cukup membuat saya berdecak kagum. Diluar dugaan saya, ternyata beliau masih sanggup bicara hampir satu jam dengan berdiri. Beliau juga masih begitu logis, sistematis dan penuh makna dalam mengungkapkan pemikiran beliau. Lebih mengagumkan lagi, saat sessi tanya jawab saya perhatikan beliau tidak mencatat pertanyaan para peserta. Namun saat menjawab, sepertinya semua pertanyaan terjawab dengan baik tanpa ada yang terlewat. Dalam usia beliau yang 81 tahun, ternyata tidak mengurangi sama sekali kebugaran, konsentrasi, daya tahan, dan kecerdasannya. Saya sangat heran, bagaimana cara beliau menyimpan berbagai pertanyaan (storing), kemudian mengolah untuk menemukan jawaban yang tepat (processing), dan memanggil satu per satu (recalling) dalam bentuk jawaban yang runtut dan bahkan menjadi saling terkait dan saling menjelaskan (enriching). Sungguh beliau adalah sosok manusia langka dan asset nasional yang masih sangat layak untuk mengemban amanah strategis. Jangankan posisi Menteri, jabatan Wakil Presiden, bahkan Presiden sekalipun rasanya tidak akan memberatkan bagi orang sekaliber Emil Salim. 

Uniknya, selama penyelenggaraan Diklatpim 1 ini kami juga berhadapan dengan tokoh-tokoh sepuh yang hanya tua dari aspek biologisnya, namun tetap enerjik dan muda dari spirit dan dedikasinya. Dr. Purnaman Natakusumah yang sudah berusia 82 tahun dan Dr. Nusyirwan Zen yang berusia 78 tahun adalah contoh dari sosok istimewa tersebut. Dalam kamus hidup belian-beliau sepertinya tidak ada istilah pikun, manja, lelah, atau mengeluh. Cara bicara yang mengalir rapi, daya ingat yang tinggi terhadap teori dan konsep-konsep kontemporer, cara menjawab pertanyaan yang analitik, kecepatan dalam memberi respon atas respon, optimisme yang terpancar dari aura dan raut muka, dan sebagainya, mencerminkan kualitas pikiran mereka yang mengagumkan. 

Saya yakin, bukan hanya saya yang iri dengan beliau-beliau. Semua peserta tanpa kecuali, pasti memimpikan berumur panjang, yang bukan sekedar umur panjang, namun umur yang disertai dengan keunggulan pribadi yang tidak kalah dari anak-anak muda yang usianya puluhan tahun dibawah usia beliau. Mungkin ada baiknya jika dari seluruh alokasi waktu yang tersedia, beliau menyisihkan 10 persen saja untuk berbagi tentang tips dan rahasia untuk bisa menjalani hidup yang stabil selama puluhan dekade.  

Saya jadi berpikir bahwa selama ini kita terlanjur mendikotomikan antara tua – muda. Seolah-olah generasi tua adalah mereka yang hanya senang bernostalgia dengan kejayaan masa silam, yang tidak mau berubah dan tidak mau disaingi oleh generasi muda, yang telah kehilangan sebagian besar energinya sehingga menjadi sosok yang rapuh dan loyo, yang mudah lupa dan mudah emosi, yang gagap teknologi, serta sederet atribut lain yang terlanjur menjadi stigma. Dengan stigma itu, kemudian muncul “gugatan” terhadap orang-orang tua yang masih berambisi maju sebagai Presiden atau Kepala Daerah, misalnya. Seorang Presiden yang memilih para pembantunya dari kalangan tua juga sering dikritik sebagai anti pembaharuan dan memnunjukkan kegagalan melakukan kaderisasi calon pemimpin nasional.  

Dalam proses reformasi birokrasi, kita juga sering mendengar gagasan tentang “potong satu generasi”. Seolah-olah, generasi tua adalah generasi korup yang menjadi benalu dan parasit bagi pemerintahan nasional, yang harus dipotong beramai-ramai. Bahkan dalam pemerintahan ada konsep tentang Gerontocracy, yang didefinisikan sebagai masyarakat yang dikendalian oleh orang-orang berumur. Dalam pengertian yang lebih sempit, gerontokrasi juga bisa berarti “pemerintahan yang kekuasaannya berpusat pada dan dikendalikan oleh orang-orang tua”.  

Dalam kaitan ini, Eep Saifullah Fatah dalam tulisannya berjudul Melawan Gerontokrasi, menyatakan bahwa Setelah menjalani reformasi lebih dari delapan tahun, salah satu agenda yang belum dituntaskan hingga saat ini adalah perlawanan atas gerontocracy. Secara umum, politik Indonesia masih dikuasai oleh apa yang bisa kita sebut ”generasi pertama politisi reformasi”. Inilah generasi yang menerima tongkat estafet dari Orde Baru dan kemudian mengelola era baru demokrasi. Usia mereka sekarang 50 tahun ke atas. Selanjutnya Eep menulis bahwa gerontocracy juga melanda kehidupan partai politik secara sangat tegas. Umumnya partai politik dikuasai oleh politisi tua. Tak hanya itu, partai juga kerapkali dikendalikan secara personal sehingga anasir-anasir partai seolah-olah menjadi milik dari sang ketua umum. 

Nah, dengan melihat figur seperti Prof. Emil Salim, Dr. Purnaman, dan Dr. Nusyirwan, saya tidak terlalu mendukung pemikiran Eep. Sebab, faktanya tidak semua orang tua memenuhi kriteria gerontokrasi seperti disebut diatas. Sebaliknya, tidak semua anak muda selalu menyukai tantangan dan perubahan, selalu lebih kreatif dan inovatif, lebih cepat dan akurat dalam bekerja, lebih tahan banting, dan seterusnya. 

Soal tua – muda nampaknya tidak menjadi issu penting. Ini adalah soal mentalitas. Tidak ada jaminan bahwa yang muda selalu memiliki mentalitas lebih kuat. Boleh jadi justru orang tua yang memiliki mentalitas jauh lebih baik dan positif dibanding yang muda. Mentalitas ini terbentuk dan terbangun tidak dalam semalam, namun melalui proses yang panjang. Maka, sesungguhnya wajar belaka jika semakin tua seseorang maka semakin memiliki peluang untuk memiliki mentalitas lebih baik. Sosok seperti pak Emil, pak Purnaman, dan pak Nus, saya nilai telah lulus dari ujian sejarah kehidupan sehingga menjadi figur yang sangat pantas diteladani. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 2 Mei 2013

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Hari ini saya mencoba membaca dan menyerap tulisan bapak.. Luar biasa... stigma "tua" yang selama ini banyak di isukan tidak berlaku bagi sebagian orang, begitu juga stigma "muda" pada setiap orang muda pun juga tidak semua benar. kulaitas diri tidak bisa diukur dengan umur... terima kasih, kisah yang menginspirasi.. (Tarman Budianto)

Tri Widodo W Utomo mengatakan...

Pak Tarman, matur nuwun sanget atas komentarnya dan kunjungannya, yang secara langsung maupun tidak langsung sudah turut mengasah dan mengasuh diri saya. Salam hormat selalu!