Mendengarkan ceramah Prof. Emil
Salim kemaren cukup membuat saya berdecak kagum. Diluar dugaan saya, ternyata
beliau masih sanggup bicara hampir satu jam dengan berdiri. Beliau juga masih begitu
logis, sistematis dan penuh makna dalam mengungkapkan pemikiran beliau. Lebih
mengagumkan lagi, saat sessi tanya jawab saya perhatikan beliau tidak mencatat
pertanyaan para peserta. Namun saat menjawab, sepertinya semua pertanyaan
terjawab dengan baik tanpa ada yang terlewat. Dalam usia beliau yang 81 tahun,
ternyata tidak mengurangi sama sekali kebugaran, konsentrasi, daya tahan, dan
kecerdasannya. Saya sangat heran, bagaimana cara beliau menyimpan berbagai
pertanyaan (storing), kemudian
mengolah untuk menemukan jawaban yang tepat (processing), dan memanggil satu per satu (recalling) dalam bentuk jawaban yang runtut dan bahkan menjadi
saling terkait dan saling menjelaskan (enriching).
Sungguh beliau adalah sosok manusia langka dan asset nasional yang masih sangat
layak untuk mengemban amanah strategis. Jangankan posisi Menteri, jabatan Wakil
Presiden, bahkan Presiden sekalipun rasanya tidak akan memberatkan bagi orang sekaliber
Emil Salim.
Uniknya, selama penyelenggaraan
Diklatpim 1 ini kami juga berhadapan dengan tokoh-tokoh sepuh yang hanya tua dari aspek biologisnya, namun tetap enerjik
dan muda dari spirit dan dedikasinya. Dr. Purnaman Natakusumah yang sudah
berusia 82 tahun dan Dr. Nusyirwan Zen yang berusia 78 tahun adalah contoh dari
sosok istimewa tersebut. Dalam kamus hidup belian-beliau sepertinya tidak ada istilah
pikun, manja, lelah, atau mengeluh. Cara bicara yang mengalir rapi, daya ingat
yang tinggi terhadap teori dan konsep-konsep kontemporer, cara menjawab
pertanyaan yang analitik, kecepatan dalam memberi respon atas respon, optimisme
yang terpancar dari aura dan raut muka, dan sebagainya, mencerminkan kualitas pikiran
mereka yang mengagumkan.
Saya yakin, bukan hanya saya yang
iri dengan beliau-beliau. Semua peserta tanpa kecuali, pasti memimpikan berumur
panjang, yang bukan sekedar umur panjang, namun umur yang disertai dengan keunggulan
pribadi yang tidak kalah dari anak-anak muda yang usianya puluhan tahun dibawah
usia beliau. Mungkin ada baiknya jika dari seluruh alokasi waktu yang tersedia,
beliau menyisihkan 10 persen saja untuk berbagi tentang tips dan rahasia untuk bisa menjalani hidup yang stabil selama
puluhan dekade.
Saya
jadi berpikir bahwa selama ini kita terlanjur mendikotomikan antara tua – muda.
Seolah-olah generasi tua adalah mereka yang hanya senang bernostalgia dengan
kejayaan masa silam, yang tidak mau berubah dan tidak mau disaingi oleh
generasi muda, yang telah kehilangan sebagian besar energinya sehingga menjadi
sosok yang rapuh dan loyo, yang mudah lupa dan mudah emosi, yang gagap
teknologi, serta sederet atribut lain yang terlanjur menjadi stigma. Dengan stigma
itu, kemudian muncul “gugatan” terhadap orang-orang tua yang masih berambisi
maju sebagai Presiden atau Kepala Daerah, misalnya. Seorang Presiden yang
memilih para pembantunya dari kalangan tua juga sering dikritik sebagai anti
pembaharuan dan memnunjukkan kegagalan melakukan kaderisasi calon pemimpin
nasional.
Dalam
proses reformasi birokrasi, kita juga sering mendengar gagasan tentang “potong
satu generasi”. Seolah-olah, generasi tua adalah generasi korup yang menjadi benalu
dan parasit bagi pemerintahan nasional, yang harus dipotong beramai-ramai. Bahkan
dalam pemerintahan ada konsep tentang Gerontocracy,
yang didefinisikan sebagai masyarakat yang
dikendalian oleh orang-orang berumur. Dalam pengertian yang lebih sempit,
gerontokrasi juga bisa berarti “pemerintahan yang kekuasaannya berpusat pada
dan dikendalikan oleh orang-orang tua”.
Dalam
kaitan ini, Eep Saifullah Fatah dalam tulisannya berjudul Melawan Gerontokrasi, menyatakan bahwa Setelah menjalani reformasi
lebih dari delapan tahun, salah satu agenda yang belum dituntaskan hingga saat
ini adalah perlawanan atas gerontocracy.
Secara umum, politik Indonesia masih dikuasai oleh apa yang bisa kita sebut
”generasi pertama politisi reformasi”. Inilah generasi yang menerima tongkat
estafet dari Orde Baru dan kemudian mengelola era baru demokrasi. Usia mereka
sekarang 50 tahun ke atas. Selanjutnya Eep menulis bahwa gerontocracy juga melanda kehidupan partai politik secara sangat
tegas. Umumnya partai politik dikuasai oleh politisi tua. Tak hanya itu, partai
juga kerapkali dikendalikan secara personal sehingga anasir-anasir partai
seolah-olah menjadi milik dari sang ketua umum.
Nah,
dengan melihat figur seperti Prof. Emil Salim, Dr. Purnaman, dan Dr. Nusyirwan,
saya tidak terlalu mendukung pemikiran Eep. Sebab, faktanya tidak semua orang
tua memenuhi kriteria gerontokrasi seperti disebut diatas. Sebaliknya, tidak
semua anak muda selalu menyukai tantangan dan perubahan, selalu lebih kreatif
dan inovatif, lebih cepat dan akurat dalam bekerja, lebih tahan banting, dan
seterusnya.
Soal
tua – muda nampaknya tidak menjadi issu penting. Ini adalah soal mentalitas. Tidak
ada jaminan bahwa yang muda selalu memiliki mentalitas lebih kuat. Boleh jadi justru
orang tua yang memiliki mentalitas jauh lebih baik dan positif dibanding yang
muda. Mentalitas ini terbentuk dan terbangun tidak dalam semalam, namun melalui
proses yang panjang. Maka, sesungguhnya wajar belaka jika semakin tua seseorang
maka semakin memiliki peluang untuk memiliki mentalitas lebih baik. Sosok seperti
pak Emil, pak Purnaman, dan pak Nus, saya nilai telah lulus dari ujian sejarah
kehidupan sehingga menjadi figur yang sangat pantas diteladani.
Dari
kamar B-315
Kampus
Pejompongan, 2 Mei 2013
2 komentar:
Hari ini saya mencoba membaca dan menyerap tulisan bapak.. Luar biasa... stigma "tua" yang selama ini banyak di isukan tidak berlaku bagi sebagian orang, begitu juga stigma "muda" pada setiap orang muda pun juga tidak semua benar. kulaitas diri tidak bisa diukur dengan umur... terima kasih, kisah yang menginspirasi.. (Tarman Budianto)
Pak Tarman, matur nuwun sanget atas komentarnya dan kunjungannya, yang secara langsung maupun tidak langsung sudah turut mengasah dan mengasuh diri saya. Salam hormat selalu!
Posting Komentar